Pada umumnya manusia memiliki tujuan di
dalam segala tindakan yang dilakukannya. Bahkan tindakan-tindakan yang tidak
direncanakanpun biasanya memiliki tujuan. Manusia yang berakal sehat, sekalipun
dia adalah pencuri maupun perampok tetap diberi kemampuan untuk memiliki tujuan
yang baik dibalik segala tindakan yang dilakukannya. Seorang pencuri ayam
misalnya, mungkin saja mencuri ayam karena membutuhkan uang untuk anak-anaknya yang
sudah dua hari tidak makan. Seorang pelacur misalnya, mungkin sekali menjual
dirinya supaya anak-anaknya bisa bertahan hidup, berpendidikan layak, dan tidak
bernasib buruk seperti dirinya sendiri.
Di dalam kehidupannya orang Yahudi juga memiliki
tujuan yang mulia. Tujuan tersebut adalah mencari, menemukan dan
mendapatkan kebenaran (9.31), yang oleh Paulus diterjemahkan sebagai ‘keselamatan’
(10.1; cf. 10.9-13). Namun demikian tujuan yang mulia ini, meskipun telah diusahakan
dengan sungguh-sungguh dan giat tidak membuahkan hasil. Mengapa demikian? Paulus
menemukan setidaknya tiga alasan dibalik kegagalan bangsa Yahudi di dalam meraih
tujuan mulia tersebut:
Pertama, karena mereka
memilih cara yang salah (wrong
methodology). Mereka mengejarnya bukan karena iman, tetapi karena perbuatan
(9.32). Kedua, pemahaman mereka akan hakikat kebenaran itu sendiri adalah salah (wrong substance/ideology). Mereka giat
beribadah, namun tidak disertai dengan pengertian yang benar (10.2). Ketiga, motivasi ibadah mereka adalah salah (wrong motivation). Mereka berusaha untuk
mendirikan kebenaran mereka sendiri (10.3).
Ketiga alasan di atas sesungguhnya dapat dijabarkan dalam bentuk diskusi teologi yang menarik. Namun, ketika
merenungkan ayat-ayat tersebut, saya teringat (atau mungkin diingatkan) akan
hal-hal yang sangat praktis di dalam kehidupan kita sehari-hari. Di dalam
kehidupan ini, kita sering memiliki berbagai tujuan yang mulia, dan tidak
jarang kita gagal mencapai tujuan tersebut. Sebagai orang Kristen
dan yang berakal sehat, kita tentu memiliki tujuan yang mulia di dalam
pernikahan, pekerjaan, pelayanan dan kesibukan-kesibukan kita yang lainnya. Ketika
tujuan yang mulia tersebut tidak tercapai, mungkin ada baiknya kita sejenak
menoleh ke belakang dan memeriksa diri sendiri.
Apakah saya telah memilih untuk menggunakan cara yang benar? Cara yang salah di satu sisi sering membuahkan hasil
dengan kualitas tidak baik seberapapun tenaga yang dikeluarkan. Di sisi lain cara yang
salah harus dihindari, karena iman Kristen tidak mengajarkan prinsip-prinsip
yang ‘menghalalkan segala cara’ – sekalipun hasilnya sempurna.
Apakah saya telah memiliki pemahaman yang benar mengenai apa
yang saya lakukan? Ambilah sebuah contoh dari sebuah pernikahan.
Adalah penting bagi pasangan Kristen yang hendak menikah untuk memahami apa hakikat pernikahan menurut Alkitab. Itu
sebabnya kelas-kelas konseling dibutuhkan di dalam mempersiapkan dua insan
manusia untuk memasuki kehidupan yang baru dengan pengertian yang benar.
Semeriah apapun pesta pernikahannya, sebanyak apapun tamunya, semulia apapun
tujuannya, jika dasar pemahaman pernikahannya tidak ada atau salah, maka
bahtera keluarga yang dibangun akan goyah dan jauh dari keberhasilan untuk mencapai
tujuan yang mulia itu.
Apakah saya telah memiliki motivasi yang benar di dalam
segala tindakan saya? Well,
hanya Tuhan dan kita sendiri yang tahu. Dua orang yang sama-sama melayani Tuhan – dan sama giatnya di dalam
pekerjaan Tuhan sangat mungkin memiliki motivasi yang berbeda. Motif yang
disinggung Paulus di dalam Roma 10.3, berhubungan dengan merasa benar
sendiri (self-righteous) dan
kesombongan (pride). Dan bukan
rahasia lagi, bahwa blunder motivasi seperti itu (self-righteous dan pride)
termasuk penyakit menular yang paling ganas di dalam kehidupan manusia, tidak
terkecuali di dalam kehidupan bergereja juga.
Kita dapat menggunakan model evaluasi ini untuk berbagai
aspek kehidupan, termasuk pernikahan, pekerjaan, pelayanan dan
keputusan-keputusan penting lainnya. Ambilah
waktu teduh sekitar 30 menit untuk memeriksa diri dan mengambil komitmen
untuk memperbaiki apa yang salah. Saya berharap model evaluasi
seperti ini boleh menolong di dalam mewujudkan lebih banyak lagi
tujuan-tujuan mulia nan ilahi, yang Tuhan pernah letakan di dalam hati kita
yang paling dalam.
No comments:
Post a Comment