Sunday, 23 October 2011

MENGAPA TUJUAN YANG MULIA SERING BERAKHIR DENGAN KEGAGALAN? (ROMA 9.30-10.3)

Pada umumnya manusia memiliki tujuan di dalam segala tindakan yang dilakukannya. Bahkan tindakan-tindakan yang tidak direncanakanpun biasanya memiliki tujuan. Manusia yang berakal sehat, sekalipun dia adalah pencuri maupun perampok tetap diberi kemampuan untuk memiliki tujuan yang baik dibalik segala tindakan yang dilakukannya. Seorang pencuri ayam misalnya, mungkin saja mencuri ayam karena membutuhkan uang untuk anak-anaknya yang sudah dua hari tidak makan. Seorang pelacur misalnya, mungkin sekali menjual dirinya supaya anak-anaknya bisa bertahan hidup, berpendidikan layak, dan tidak bernasib buruk seperti dirinya sendiri.

Di dalam kehidupannya orang Yahudi juga memiliki tujuan yang mulia. Tujuan tersebut adalah mencari, menemukan dan mendapatkan kebenaran (9.31), yang oleh Paulus diterjemahkan sebagai ‘keselamatan’ (10.1; cf. 10.9-13). Namun demikian tujuan yang mulia ini, meskipun telah diusahakan dengan sungguh-sungguh dan giat tidak membuahkan hasil. Mengapa demikian? Paulus menemukan setidaknya tiga alasan dibalik kegagalan bangsa Yahudi di dalam meraih tujuan mulia tersebut: 

Pertama, karena mereka memilih cara yang salah (wrong methodology). Mereka mengejarnya bukan karena iman, tetapi karena perbuatan (9.32).  Kedua, pemahaman mereka akan hakikat kebenaran itu sendiri adalah salah (wrong substance/ideology). Mereka giat beribadah, namun tidak disertai dengan pengertian yang benar (10.2). Ketiga, motivasi ibadah mereka adalah salah (wrong motivation). Mereka berusaha untuk mendirikan kebenaran mereka sendiri (10.3).

Ketiga alasan di atas sesungguhnya dapat dijabarkan dalam bentuk diskusi teologi yang menarik. Namun, ketika merenungkan ayat-ayat tersebut, saya teringat (atau mungkin diingatkan) akan hal-hal yang sangat praktis di dalam kehidupan kita sehari-hari. Di dalam kehidupan ini, kita sering memiliki berbagai tujuan yang mulia, dan tidak jarang kita gagal mencapai tujuan tersebut. Sebagai orang Kristen dan yang berakal sehat, kita tentu memiliki tujuan yang mulia di dalam pernikahan, pekerjaan, pelayanan dan kesibukan-kesibukan kita yang lainnya. Ketika tujuan yang mulia tersebut tidak tercapai, mungkin ada baiknya kita sejenak menoleh ke belakang dan memeriksa diri sendiri.

Apakah saya telah memilih untuk menggunakan cara yang benar? Cara yang salah di satu sisi sering membuahkan hasil dengan kualitas tidak baik seberapapun tenaga yang dikeluarkan. Di sisi lain cara yang salah harus dihindari, karena iman Kristen tidak mengajarkan prinsip-prinsip yang ‘menghalalkan segala cara’ – sekalipun hasilnya sempurna. 

Apakah saya telah memiliki pemahaman yang benar mengenai apa yang saya lakukan? Ambilah sebuah contoh dari sebuah pernikahan. Adalah penting bagi pasangan Kristen yang hendak menikah untuk memahami  apa hakikat pernikahan menurut Alkitab. Itu sebabnya kelas-kelas konseling dibutuhkan di dalam mempersiapkan dua insan manusia untuk memasuki kehidupan yang baru dengan pengertian yang benar. Semeriah apapun pesta pernikahannya, sebanyak apapun tamunya, semulia apapun tujuannya, jika dasar pemahaman pernikahannya tidak ada atau salah, maka bahtera keluarga yang dibangun akan goyah dan jauh dari keberhasilan untuk mencapai tujuan yang mulia itu. 

Apakah saya telah memiliki motivasi yang benar di dalam segala tindakan saya? Well, hanya Tuhan dan kita sendiri yang tahu. Dua orang yang sama-sama melayani Tuhan – dan sama giatnya di dalam pekerjaan Tuhan sangat mungkin memiliki motivasi yang berbeda. Motif yang disinggung Paulus di dalam Roma 10.3, berhubungan dengan merasa benar sendiri (self-righteous) dan kesombongan (pride). Dan bukan rahasia lagi, bahwa blunder motivasi seperti itu (self-righteous dan pride) termasuk penyakit menular yang paling ganas di dalam kehidupan manusia, tidak terkecuali di dalam kehidupan bergereja juga.

Kita dapat menggunakan model evaluasi ini untuk berbagai aspek kehidupan, termasuk pernikahan, pekerjaan, pelayanan dan keputusan-keputusan penting lainnya. Ambilah waktu teduh sekitar 30 menit untuk memeriksa diri dan mengambil komitmen untuk memperbaiki apa yang salah. Saya berharap model evaluasi seperti ini boleh menolong di dalam mewujudkan lebih banyak lagi tujuan-tujuan mulia nan ilahi, yang Tuhan pernah letakan di dalam hati kita yang paling dalam.

No comments:

Post a Comment