Friday 29 June 2012

JESUS: THE GOOD SHEPHERD (JOHN 10.1-21)

Gambaran mengenai seorang gembala sering dilekatkan kepada Tuhan, bukan hanya di dalam Perjanjian Baru, tetapi juga sepanjang Perjanjian Lama. Di dalam Yohanes 10.1-5, Tuhan Yesus menceritakan sebuah perumpamaan mengenai seorang gembala dan domba-dombanya. Gembala itu adalah Tuhan Yesus (ay. 11, 14). Domba-domba itu adalah umat percaya yang dikasihi-Nya (ay 7-18). Tuhan Yesus juga menggambarkan dirinya sebagai pintu (ay. 7-11) menuju ke tempat di mana domba-domba merasakan keamanan, keselamatan dan kenyamanan. Dengan kata lain, Tuhan Yesus adalah jalan satu-satunya bagi manusia untuk mengalami keselamatan dan hidup yang kekal. Namun demikian bacaan kita hari ini menyatakan kebenaran yang lebih dalam lagi: Tuhan Yesus bukan hanya menganugerahkan keselamatan kepada mereka yang percaya kepada-Nya, Ia juga memelihara dan melindungi mereka dari tangan si jahat.

Gembala yang baik berbeda dari seorang pencuri atau perampok. Pencuri dan perampok masuk ke dalam kandang tidak melalui pintu, karena pintu itu adalah Tuhan Yesus sendiri. Pencuri dan perampok masuk dengan maksud mengambil domba-domba untuk membunuh dan membinasakan mereka. Gembala yang baik sebaliknya ada di sana untuk memberikan kehidupan bagi domba-domba-Nya. Bukan kehidupan yang biasa-biasa saja, tetapi kehidupan yang penuh dengan limpah (ay. 10).

Gembala yang baik juga berbeda dengan seorang gembala upahan (ay. 11-13). Gembala yang baik melakukan segala sesuatu dan membayar harga untuk keselamatan domba-domba-Nya. Gembala upahan sebaliknya melarikan diri dan menyelamatkan diri sendiri ketika ancaman datang. Kasih yang diberikan oleh seorang gembala yang baik tidak terbatas dan tidak bersyarat: Ia bahkan memberikan nyawanya sendiri demi keselamatan domba-domba-Nya (ay.11).

Gembala yang baik mengenal dan dikenali oleh domba-domba-Nya (ay. 8; 14-16). Relasi antara Gembala yang baik dan domba-domba-Nya itu hidup. Domba-domba mendengarkan dan taat kepada Gembala yang baik itu. Relasi sehat seperti ini sebenarnya adalah penanda mana domba-domba yang sungguh-sungguh menjadi milik sang Gembala yang baik, dan mana domba-domba palsu yang datang hanya untuk mengenyangkan perutnya saja. Domba asli dan domba palsu tidak dibedakan berdasarkan asal-usulnya. Tuhan menerima siapa saja yang datang dan percaya kepada-Nya (ay. 16). Domba asli dan domba palsu dibedakan berdasarkan ketaatan kepada suara Tuhan, sang Gembala yang baik.

Wednesday 27 June 2012

HIDUP YANG BERDAMPAK (LUKAS 19.1-10)

Manusia diciptakan Tuhan untuk hidup menyembah Tuhan. Penyembahan kepada Tuhan dapat dilakukan di dalam bentuk ibadah, mengasihi sesama manusia dan hidup bertanggung jawab terhadap dunia ciptaan Tuhan. Ketiga peran tersebut seharusnya dilakukan dengan seimbang dan utuh. Ketika Tuhan menciptakan kita, Ia melengkapi kita untuk melakukan pekerjaan dan panggilan-Nya yang khusus di dalam hidup kita.

Zakheus adalah seorang konglomerat dan birokrat yang hidup pada jaman Tuhan Yesus. Ia dianugerahi dengan kekayaan materi dan otoritas. Hidup kerohanian Zakheus tidak perlu diragukan lagi. Ia berusaha keras untuk mencari Tuhan Yesus, bahkan sampai naik ke atas pohon – tindakan konyol yang memalukan untuk seorang pejabat kaya. Yesus sendiri mengatakan bahwa Zakheus adalah anak Abraham dan berhak untuk menerima keselamatan. Namun demikian, ayat kunci dari cerita Zakheus adalah Lukas 19.8. Zakheus memberikan setengah dari hartanya untuk orang-orang miskin. Dan lagi sebagai tanda pertobatannya, ia mengembalikan empat kali lipat kepada orang-orang yang pernah diperasnya. Apa yang kita dapat pelajari dari seorang Zakheus?

Pertama, apa yang diberikan Tuhan kepadanya, diberikannya kepada orang-orang yang membutuhkan. Ini adalah kunci utama dari hidup yang berdampak. Hidup Kristen adalah seperti air sungai yang mengalir ke tempat-tempat yang rendah. Hidup Kristen tidak seperti kubangan lumpur yang menyerap segala sesuatu tanpa ada saluran pembuangannya. Sadarkah kita bahwa semua yang Tuhan berikan seharusnya dipakai untuk memberkati orang-orang lain?

Kedua, Zakheus tidak mencintai apa yang dimilikinya lebih dari Tuhan. Zakheus memahami bahwa Tuhan mengasihi orang-orang miskin. Itu karenanya, ia memberikan hartanya kepada orang-orang miskin. Untuk membuka kunci bagi hidup yang berdampak, kita perlu menghancurkan kecintaan kepada diri sendiri dan mengutamakan kepentingan diri sendiri yang di luar kewajaran. Ketika kita melihat (dan memikirkan tentang, dan berbuat untuk) diri sendiri terlalu lama, maka kita akan menjadi buta dan gagal untuk mengerti isi hati Tuhan dan mengasihi orang-orang lain.

Ketiga, terkadang untuk menjadikan hidup ini berdampak, kita perlu untuk berenang melawan arus (sometimes we need to swim against the stream). Apa yang dilakukan oleh Zakheus di luar akal sehat manusia. Seorang pejabat kaya naik ke atas pohon? Namun itulah permulaan dari pertobatannya. Mengembalikan empat kali lipat kepada orang-orang yang diperasnya? Mengapa sampai empat kali lipat? Memberikan setengah dari hartanya untuk orang-orang miskin? Sebesar itukah yang dilakukannya? Hidup berdampak sering menuntut radikalisme. Hidup dari orang-orang seperti Mahatma Gandhi, Mother Teresa, dan Tuhan Yesus sendiri adalah contoh kehidupan yang tidak  biasa dan melawan arus. Hidup memberi dampak sering membutuhkan bukan saja kemurahan dan kerelaan untuk menolong – tetapi sebuah TEKAD dan KEBERANIAN.

Thursday 21 June 2012

JESUS: THE TRUE VINE (JOHN 15.1-8)

Ranting yang telah mati atau terlepas dari pohonnya tidak lagi menghasilkan buah. Sebaliknya ranting yang masih melekat pada pohon induknya masih mungkin untuk berbuah. Jika pohon induknya sehat dan subur, maka ranting-rantingnya dapat berbuah lebat. Tuhan Yesus mengatakan bahwa diri-Nya adalah bak pokok anggur yang benar (ay. 1). Tuhan Yesus adalah bagaikan pohon induk – namun bukan sembarang pohon induk, Ia adalah yang benar. Manusia adalah ranting-ranting. Ada ranting-ranting yang berbuah dan ada ranting-ranting yang tidak berbuah. Ranting-ranting yang tidak berbuah dipotongnya. Mengapa demikian? Memelihara ranting yang tidak berbuah adalah pemborosan. Sedangkan ranting-ranting yang berbuah dibersihkan supaya semakin lebat berbuah (ay. 2).

Kunci dari berbuah lebat di dalam perumpamaan ini adalah terhubung dengan pohon induk yang benar tadi. Penghubungnya adalah firman Tuhan (ay. 3, 7). Jika demikian kunci hidup yang berbuah lebat adalah persekutuan di dalam firman Tuhan. Nah, apakah yang dimaksud dengan buah yang lebat tadi? Buah-buah yang dihasilkan, tentunya adalah kehidupan yang sesuai dengan firman Tuhan dan di dalam ketaatan kepada-Nya. Jika ada orang yang banyak membaca firman Tuhan, namun tidak taat kepada-Nya, maka ia akan bernasib seperti ranting yang tidak menghasilkan buah. Dengan kata lain, ia akan dipotong dan dicampakkan ke dalam api (ay. 6). Kunci kehidupan orang percaya yang sejati tidak terletak pada berapa banyak ia bersekutu dengan firman Tuhan saja, tetapi berapa banyak hidupnya mencerminkan nilai-nilai firman Tuhan itu sendiri. Sebaliknya, kebajikan semata, tanpa persekutuan di dalam firman Tuhan berarti kehidupan yang sama sekali tidak terhubung dengan pokok anggur yang benar tadi.

Firman Tuhan perlu tinggal di dalam kita dan kita perlu tinggal di dalam Tuhan (ay. 7-8). Renungkan hal ini: (1) Adakah kita menyediakan tempat bagi firman Tuhan untuk hidup di dalam kita? Adakah waktu membaca, merenungkan dan mempraktekkan firman Tuhan di dalam keseharian kita? Adakah tekad untuk taat sepenuhnya kepada apa yang kit abaca di dalam firman Tuhan? (2) Adakah kita lebih senang tinggal di dalam Tuhan atau di tempat lain? Tempat-tempat apakah yang paling menarik untuk dikunjungi? Adakah tempat-tempat tersebut lebih indah dibandingkan hidup di dalam hadirat Tuhan?

Perhatikanlah dengan seksama: (1) Jawaban doa yang paling ampuh bukan diberikan kepada seseorang yang banyak berkotbah, aktif pelayanan dan suka berbuat baik. Jawaban doa diberikan langsung dan manjur kepada mereka yang taat kepada firman Tuhan; (2) Cara yang paling ampuh untuk memuliakan Tuhan bukanlah dengan aktif melayani, menjadi pendeta, menyanyi atau membagi-bagikan harta, sebaliknya Tuhan sendiri berkata bahwa Nama-Nya dimuliakan ketika kita hidup berbuah sesuai dengan firman Tuhan. Dan itulah tanda utama murid-murid Tuhan yang sejati.

Sunday 10 June 2012

PILAR-PILAR HUBUNGAN IKAT JANJI: LANDASAN BAGI GEREJA YANG TRANSFORMATIF (PILLARS OF COVENANT RELATIONSHIP: FOUNDATION FOR TRANSFORMATIVE CHURCH)


Di dalam suatu acara pemberkatan pernikahan kira-kira seperempat abad yang lalu saya mendengarkan Kak Yer (Jerimia Rim) berkata di hadapan mempelai dan tamu-tamu yang hadir: ‘Tuhan kita adalah Tuhan atas Perjanjian (baca: Covenant).’ Kata-kata itu mengawali nasihat pernikahan bagi kedua mempelai yang berbahagia tersebut. Singkatnya, Kak Yer menjelaskan bahwa pernikahan adalah sesungguhnya sebuah hubungan ikat janji (covenant relationship). Pada waktu itu saya tidak sadar bahwa covenant relationship bukan saja menjadi dasar dari suatu hubungan pernikahan, tetapi juga menjadi landasan utama dari Gereja Kristen Perjanjian Baru Masa Depan Cerah yang lahir di kota Surabaya.
Beberapa pilar mendasar di dalam hubungan ikat janji adalah sebagai berikut. Pertama, pilar utama dari sebuah hubungan ikat janji adalah kasih tanpa syarat. Kasih yang bukan sekedar perasaan, tetapi kasih yang berdasarkan sebuah keputusan yang diambil secara sadar: ‘Aku memutuskan untuk mengasihimu tidak peduli apa keadaanmu di masa lampau, dan apa yang akan terjadi padamu di masa mendatang.’ Kasih yang demikian tidak pernah mundur (no point of return). Di tengah perjalanan, kita bisa disakiti dan dilukai, namun kasih yang tanpa syarat tidak pernah menyangkali dan membatalkan suatu hubungan yang dilandasi oleh sebuah perjanjian.
Pilar kedua di dalam sebuah hubungan ikat janji adalah kesetiaan dan kesetiakawanan. Salah satu perbedaan mendasar antara kepemimpinan Kristen dan kepemimpinan ala dunia adalah di dalam hal kesetiaan dan kesetiakawanan. Iman Kristen mengajar kita untuk menjadi pemimpin yang berdiri bersama dengan mereka yang kita pimpin, sekalipun mereka lemah, sakit dan tersingkir (ministry of presence). Pemimpin duniawi sebaliknya meninggalkan segala sesuatu dan siapa saja yang menghalangi dirinya untuk pencapaian diri dan ketenaran pribadi.
Pilar Ketiga bagi seseorang yang terlibat di dalam sebuah hubungan ikat janji adalah tanggung-jawab seseorang terhadap keputusan dan tindakan yang dilakukannya. Ketika seseorang memutuskan untuk masuk di dalam sebuah hubungan ikat janji, entah itu dalam konteks pernikahan ataupun jemaat, maka sejak saat itulah ia seharusnya sadar bahwa apapun yang diputuskan dan dilakukannya tidak lagi berdampak bagi dirinya sendiri tetapi juga bagi pihak-pihak lain yang terikat di dalam perjanjian tersebut. Hubungan ikat janji mendorong kita untuk melakukan bukan saja yang terbaik, tetapi juga yang membawa kebaikan, kemajuan, kesejahteraan dan keberhasilan  bagi saudara-saudari seperjanjian. Semangat yang demikian perlu dikembangkan.
 Keempat, sebuah hubungan ikat janji selalu didasarkan pada hati yang rela – bukan karena paksaan. Pernikahan paksa bukan pernikahan alkitabiah. Menjadi anggota sebuah gereja karena dipaksa atau karena terpaksa juga bukan sebuah kesaksian kristiani. Ketika kita masuk ke dalam sebuah hubungan ikat janji – di dalam konteks keluarga besar Masa Depan Cerah misalnya – kita merelakan diri kita menjadi bagian dari sebuah keluarga. Kita merelakan diri untuk dibentuk dan dilebur di dalam sebuah komunitas yang memiliki visi dan misi yang sama. Tanpa dipaksa, seluruh anggota yang terlibat di dalam hubungan ikat janji berlari mengejar tujuan yang sama. Tanpa dipaksa setiap anggota menyembuhkan saudara saudari yang terluka, membantu mereka yang kesusahan, menopang mereka yang kelelahan, menghibur mereka yang berduka – semuanya bukan karena dipaksa atau terpaksa, tetapi karena sebuah kerelaan dan ketulusan. Jika seseorang menjadi bagian dari sebuah relasi karena dipaksa, hidupnya akan dipenuhi oleh keluhan dan sungut-sungut. Namun jika seseorang masuk ke dalam sebuah hubungan ikat janji karena kerelaan, hidupnya akan dipenuhi semangat dan kerelaan untuk melayani dan membangun sesamanya dan juga komunitas yang lebih luas.
Pilar terakhir dari sebuah hubungan ikat janji adalah tanggung jawab untuk menumbuhkan dan mengembangkan sebuah relasi yang sehat. Memutuskan untuk memasuki sebuah hubungan ikat janji adalah sebuah keputusan yang sangat baik, namun permulaan yang baik tidak akan menjadi lebih baik atau menjadi tetap baik, jika kita tidak membina dan mengembangkannya. Seperti yang dikatakan oleh Paulus di dalam Efesus 4.3, 13, kesatuan itu tidak pernah berakhir. Kita bertanggung jawab untuk memeliharanya dan mengembangkannya ke tingkat-tingkat yang lebih tinggi. Di dalam konteks pernikahan Kristen, hari pernikahan seharusnya bukanlah the happiest day in life. Jika hari pernikahan adalah saat paling bahagia di dalam hidup ini, maka saya memilih untuk tidak menikah, Saya menikah karena ada pengharapan bahwa hari-hari berikutnya akan menjadi lebih bahagia lagi. Demikian pula menjadi bagian dari suatu jemaat yang diikat oleh perjanjian, keputusan di awal seharusnya disertai dengan pengharapan akan sukacita yang lebih besar di hari-hari mendatang. Namun demikian sukacita dan kebahagiaan di hari depan tidak datang dengan sendirinya. Kita perlu mengusahakannya dan bekerja keras mewujudkannya.
Tahun ini, Keluarga Masa Depan Cerah di Surabaya merayakan hari kelahirannya yang ke-25. Pertanyaan mengenai ‘DAMPAK’ dari suatu keberadaan dan pelayanan gereja adalah selalu pantas untuk dihormati: (1) Apakah DAMPAK dari pelayanan gereja ini sepanjang seperempat abad pertama keberadaannya? (2) Bagaimana gereja ini dapat memberikan DAMPAK yang lebih hebat lagi dan dipakai Tuhan dengan lebih dahsyat lagi di tahun-tahun mendatang? Pertanyaan-pertanyaan tersebut begitu penting, karena tanpanya, gereja akan kehilangan arah, atau bahkan menjadi sebuah organisasi yang mati dan tidak lagi ‘mengasinkan.’ Banyak gereja yang telah berusia puluhan bahkan ratusan tahun lupa untuk menanyakan mengenai dampak keberadaannya di dunia ini? Bukankah kenyataan tersebut menjadi tragedi yang sangat mengerikan? Karenanya sikap positif Keluarga Masa Depan Cerah di Surabaya perlu disambut hangat. Saya mengajak segenap jemaat Masa Depan Cerah di Surabaya untuk hidup, menghasilkan dampak yang positif dan transformatif, bukan saja bagi gereja, tetapi juga kotanya, bangsanya dan dunia – di dalam sebuah keluarga yang dilandasi oleh kekuatan hubungan ikat janji.

Friday 8 June 2012

JESUS: THE LIGHT OF THE WORLD (JOHN 8.12-20)

Jika roti gandum berbicara mengenai makanan jasmani, dan Roti Hidup berbicara mengenai makanan rohani (keselamatan), maka Terang Dunia berbicara mengenai tuntunan hidup. Tuhan Yesus mengatakan: ‘Aku adalah terang dunia; barangsiapa mengikut Aku ia tidak akan berjalan dalam kegelapan, melainkan ia akan mempunyai terang hidup’ (Yoh 8.12).

Pertanyaan yang harus kita jawab adalah makna dari ‘berjalan dalam kegelapan.’ Kegelapan pertama-tama adalah gambaran dari kesesatan dan kejahatan. Berjalan di dalam kegelapan, karenanya setara dengan hidup di dalam kejahatan. Berjalan di dalam kegelapan berarti hidup tanpa moralitas dan jauh dari kesucian hidup (1 Sam 2.9; Ef 5.11; 1 Yoh 1.6; 1 Tes 5.5; Rom 13.12). 

Kedua, ‘berjalan dalam kegelapan’ juga berarti berjalan menuju kebinasaan. Berjalan di dalam kegelapan berarti hidup tanpa pengharapan yang pasti akan keselamatan jiwani dan rohani (Maz 107.14; Ko 1.13; Yoh 12.46). Jika di dalam kegelapan tidak ada pengharapan, maka di dalam terang, pengharapan itu nyata dan pasti. Betapa malangnya hidup yang tidak disertai oleh pengharapan akan masa depan yang lebih baik.  

Terakhir, ‘berjalan di dalam kegelapan’ juga berarti berjalan tanpa tuntunan dan arah yang jelas. Jika demikian orang-orang yang berjalan di dalam kegelapan hidup jauh dari kehendak Tuhan dan hikmat ilahi (Dan 2.22). Ketika Tuhan Yesus mengatakan bahwa diri-Nya adalah Terang Dunia, sesungguhnya Ia mengatakan bahwa barangsiapa mengikut Yesus akan (1) hidup seperti Yesus; (2) memiliki pengharapan yang pasti akan keselamatan; dan (3) dikaruniai hikmat untuk memahami kehendak Tuhan di dalam hidupnya.

Di dalam Matius 5.14, Tuhan Yesus secara menarik mengatakan bahwa umat percaya adalah juga terang dunia. Orang-orang yang percaya dan mengikuti Terang Dunia diutus menjadi terang dunia. Tentu saja orang percaya tidak dapat menyediakan keselamatan, namun demikian orang percaya dapat menyaksikan dan memberitakan injil keselamatan. Manusia memang bukan tolak ukur kesempurnaan moralitas, namun mereka yang percaya kepada Tuhan Yesus dapat menjadi saksi betapa murninya nilai-nilai kehidupan yang diajarkan oleh Tuhan Yesus. Kehendak manusia juga tidak mutlak seperti kehendak Tuhan, namun umat percaya yang hidup di dalam kehendak-Nya dapat menjadi pemimpin bagi umat yang lebih luas untuk hidup menuju arah yang sesuai dengan yang dikehendaki-Nya. Seperti yang dikatakan Tuhan melalui Nabi Yeremia dan Rasul Paulus, rencana Tuhan itu selalu indah dan baik (Yer 29.11; Rom 8.28). Karenanya, jika kita hidup mengikut Terang Hidup, kita akan hidup di dalam rencana-Nya yang indah.

Terhadap pernyataan ini (Yesus adalah Terang Dunia), orang-orang Farisi membantah dan menolaknya. Itu sebabnya, meskipun hidup mereka dipenuhi oleh symbol-simbol keagamaan, sesungguhnya mereka hidup di dalam kegelapan. Mereka tidak percaya dan mengikuti Terang Dunia, sebaliknya mereka menyalibkan Dia. Kiranya ‘roh’ Farisi tidak hinggap di dalam hidup kita. Menyerahlah kepada Sang Terang Dunia, maka hidup kita akan dipenuhi dengan kesucian, kepastian, pengharapan dan tuntunan hidup yang sesuai dengan kehendak-Nya yang indah.

Saturday 2 June 2012

JESUS: THE BREAD OF LIFE (JOHN 6.25-59)

Di antara kebutuhan pokok, makanan adalah kebutuhan paling mendasar. Sesuai dengan kebiasaan makan di Palestina, makanan pokok dilambangkan dengan roti. Mujizat yang dilakukan Tuhan Yesus ketika memberi makan lima ribu orang melibatkan roti dan ikan (Yoh 6.1-15). Pada pasal yang sama, Yesus memperkenalkan diri-Nya sebagai ROTI HIDUP (Yoh 6.25-59). 

Beberapa karakteristik Roti Hidup adalah: (1) Roti biasa dibuat manusia dan dapat dibeli di supermarket – Roti Hidup datang dari surga dan diutus oleh Allah Bapa (ay. 32-33, 51, 61); (2) Berbeda dengan roti yang biasanya kita makan, roti hidup bersifat kekal, memuaskan dan menghidupkan (ay. 32-33, 35, 51, 58); (3) Roti biasa mengenyangkan perut, Roti Hidup menyelamatkan manusia melalui pengorbanan Yesus di atas kayu salib (ay. 51-58).

Yang menarik dari pengajaran Tuhan Yesus mengenai Roti Hidup adalah respon manusia yang berbeda-beda. Pertama, manusia pada umumnya berburu roti yang mengenyangkan perut – bukan ‘roti’ yang menyelamatkan hidup (ay. 26-27). Manusia yang mengaku Kristen sekalipun sering melalui sebuah kehidupan yang berorientasi pada benda dan kekayaan materi semata. Kedua, ada juga orang-orang yang secara sadar menolak klaim Tuhan Yesus sebagai roti hidup. Sikap ini diwakili oleh orang-orang Yahudi (ay. 41-42). Secara jelas, mereka menolak bahwa Yesus adalah Anak Allah. Bagi orang Yahudi, Tuhan Yesus adalah manusia biasa. Dengan mengaku sebagai yang diutus oleh Bapa, Yesus dituduh telah menghujat Allah. Orang-orang Yahudi yang demikian berpengetahuan teologi luar biasa. Bukannya percaya, mereka saling berbantah dan senang melakukan analisis terhadap kata-kata Tuhan Yesus (ay. 52).

Ketiga, ada orang-orang yang meminta tanda (ay. 30-31). Tidak seperti orang Yahudi yang secara terang-terangan menolak. Kelompok ini adalah orang-orang yang ragu-ragu. Mereka tidak percaya tanpa tanda lahiriah. Lebih buruk dari itu, Yesus mengatakan bahwa setelah bertemu dengan diri-Nya sekalipun, mereka tetap tidak percaya (ay. 36-37). Keempat, adalah kelompok orang yang ‘percaya’ kepada sang Roti Hidup dan menerima-Nya (ay. 29. 39, 47, 58). Kata ‘percaya’ saya tuliskan di dalam tanda baca, karena Tuhan Yesus mengisyaratkan bahwa kepercayaan manusia bukanlah usahanya sendiri, namun karena kehendak Bapa yang penuh kasih karunia. Ingatlah: Bapa memberikan roti (ay. 32); Bapa yang memimpin orang datang kepada Yesus (ay. 37); Tuhan Yesus berjanji untuk tidak membuang orang-orang ini (ay. 37); Bapa yang menarik orang untuk percaya kepada Yesus (ay. 44). Di dalam semua proses, ini tugas manusia adalah semata-mata percaya (ay.29). Bagaimana dengan kita?