Thursday, 27 October 2011

EKKLESIA (MATIUS 16.16-19; LUKAS 15.1-10)

Gereja adalah satu-satunya institusi  yang pernah didirikan oleh Tuhan Yesus (Mat 16.18). Gereja dianggap oleh Tuhan Yesus sebagai kendaraan untuk menggenapkan rencana-Nya bagi dunia ini. Tuhan Yesus memberikan kuasa yang besar kepada gereja, sehingga tidak ada kuasa manapun, termasuk alam maut yang dapat menaklukkannya. Dengan kata lain, gereja adalah sebuah institusi dengan kekuatan yang tidak dapat dibendung. 

Jika Rasul Petrus dihubungkan dengan gereja, maka institusi ini bukan saja memiliki daya tahan yang kuat, namun juga otoritas yang besar. Jika gereja benar-benar memegang kunci Kerajaan Surga – maka Gereja adalah kunci penyelesaian dari segala permasalahan di dunia (Mat 16.19).

Lukas 15.1-10 menjelaskan bahwa Tuhan memanggil gereja untuk mencari yang hilang, meskipun jumlahnya sedikit. Jumlah yang sedikit menunjukkan bahwa pelayanan ini tidak populer, namun demikian berharga di hadapan Tuhan. Mencari yang hilang tidak terbatas kepada usaha penjangkauan jiwa-jiwa yang belum percaya, karena manusia juga banyak yang kehilangan kesehatan, kesempatan pendidikan,  kesempatan hidup layak dan bahkan kehilangan harkat dan martabat hidup.

Gereja yang memiliki daya tahan dan kuasa yang luar biasa dimulai dari fondasi yang sederhana: pengakuan akan Tuhan Yesus sebagai Mesias, Anak Allah yang hidup. Dengan kata lain, dasar kekuatan gereja adalah pengakuan akan ketuhanan Tuhan Yesus (the divinity of Christ and the lordship of Jesus). Selama gereja mengakui bahwa Yesus adalah Tuhan, gereja itu tidak akan mati. Ketika Tuhan Yesus semakin ditinggikan di dalam gereja, maka gereja tersebut akan menjadi gereja yang ‘berkuasa’: yang bertumbuh, yang memberkati, yang memuliakan Tuhan dan yang menyelesaikan banyak permasalahan (Mat 16.16).

Realita kehidupan di gereja tidak selalu menggembirakan. Cukup banyak pekerja gereja yang tidak dipersiapkan dengan sungguh-sungguh. Celakanya ada juga pekerja gereja yang jatuh ke dalam dosa-dosa yang memalukan. Dan tidak jarang kesombongan menjadi pemicu konflik di dalam tubuh gereja. Cukup banyak gereja yang menjadi sepi, mengalami pergumulan finansial, dan masalah-masalah lainnya. Apakah Tuhan Yesus telah ingkar dengan janji-Nya di dalam Matius 16.16-19? Tidak!

Yang perlu kita lakukan adalah: (1) memeriksa fondasi; (2) mempertebal komitmen; (3) menguatkan karakter; dan (4) meningkatkan keterampilan. Ingatlah, bahwa fondasi yang kuat saja tidak cukup untuk membangun bangunan yang megah dan indah?

Sunday, 23 October 2011

MENGAPA TUJUAN YANG MULIA SERING BERAKHIR DENGAN KEGAGALAN? (ROMA 9.30-10.3)

Pada umumnya manusia memiliki tujuan di dalam segala tindakan yang dilakukannya. Bahkan tindakan-tindakan yang tidak direncanakanpun biasanya memiliki tujuan. Manusia yang berakal sehat, sekalipun dia adalah pencuri maupun perampok tetap diberi kemampuan untuk memiliki tujuan yang baik dibalik segala tindakan yang dilakukannya. Seorang pencuri ayam misalnya, mungkin saja mencuri ayam karena membutuhkan uang untuk anak-anaknya yang sudah dua hari tidak makan. Seorang pelacur misalnya, mungkin sekali menjual dirinya supaya anak-anaknya bisa bertahan hidup, berpendidikan layak, dan tidak bernasib buruk seperti dirinya sendiri.

Di dalam kehidupannya orang Yahudi juga memiliki tujuan yang mulia. Tujuan tersebut adalah mencari, menemukan dan mendapatkan kebenaran (9.31), yang oleh Paulus diterjemahkan sebagai ‘keselamatan’ (10.1; cf. 10.9-13). Namun demikian tujuan yang mulia ini, meskipun telah diusahakan dengan sungguh-sungguh dan giat tidak membuahkan hasil. Mengapa demikian? Paulus menemukan setidaknya tiga alasan dibalik kegagalan bangsa Yahudi di dalam meraih tujuan mulia tersebut: 

Pertama, karena mereka memilih cara yang salah (wrong methodology). Mereka mengejarnya bukan karena iman, tetapi karena perbuatan (9.32).  Kedua, pemahaman mereka akan hakikat kebenaran itu sendiri adalah salah (wrong substance/ideology). Mereka giat beribadah, namun tidak disertai dengan pengertian yang benar (10.2). Ketiga, motivasi ibadah mereka adalah salah (wrong motivation). Mereka berusaha untuk mendirikan kebenaran mereka sendiri (10.3).

Ketiga alasan di atas sesungguhnya dapat dijabarkan dalam bentuk diskusi teologi yang menarik. Namun, ketika merenungkan ayat-ayat tersebut, saya teringat (atau mungkin diingatkan) akan hal-hal yang sangat praktis di dalam kehidupan kita sehari-hari. Di dalam kehidupan ini, kita sering memiliki berbagai tujuan yang mulia, dan tidak jarang kita gagal mencapai tujuan tersebut. Sebagai orang Kristen dan yang berakal sehat, kita tentu memiliki tujuan yang mulia di dalam pernikahan, pekerjaan, pelayanan dan kesibukan-kesibukan kita yang lainnya. Ketika tujuan yang mulia tersebut tidak tercapai, mungkin ada baiknya kita sejenak menoleh ke belakang dan memeriksa diri sendiri.

Apakah saya telah memilih untuk menggunakan cara yang benar? Cara yang salah di satu sisi sering membuahkan hasil dengan kualitas tidak baik seberapapun tenaga yang dikeluarkan. Di sisi lain cara yang salah harus dihindari, karena iman Kristen tidak mengajarkan prinsip-prinsip yang ‘menghalalkan segala cara’ – sekalipun hasilnya sempurna. 

Apakah saya telah memiliki pemahaman yang benar mengenai apa yang saya lakukan? Ambilah sebuah contoh dari sebuah pernikahan. Adalah penting bagi pasangan Kristen yang hendak menikah untuk memahami  apa hakikat pernikahan menurut Alkitab. Itu sebabnya kelas-kelas konseling dibutuhkan di dalam mempersiapkan dua insan manusia untuk memasuki kehidupan yang baru dengan pengertian yang benar. Semeriah apapun pesta pernikahannya, sebanyak apapun tamunya, semulia apapun tujuannya, jika dasar pemahaman pernikahannya tidak ada atau salah, maka bahtera keluarga yang dibangun akan goyah dan jauh dari keberhasilan untuk mencapai tujuan yang mulia itu. 

Apakah saya telah memiliki motivasi yang benar di dalam segala tindakan saya? Well, hanya Tuhan dan kita sendiri yang tahu. Dua orang yang sama-sama melayani Tuhan – dan sama giatnya di dalam pekerjaan Tuhan sangat mungkin memiliki motivasi yang berbeda. Motif yang disinggung Paulus di dalam Roma 10.3, berhubungan dengan merasa benar sendiri (self-righteous) dan kesombongan (pride). Dan bukan rahasia lagi, bahwa blunder motivasi seperti itu (self-righteous dan pride) termasuk penyakit menular yang paling ganas di dalam kehidupan manusia, tidak terkecuali di dalam kehidupan bergereja juga.

Kita dapat menggunakan model evaluasi ini untuk berbagai aspek kehidupan, termasuk pernikahan, pekerjaan, pelayanan dan keputusan-keputusan penting lainnya. Ambilah waktu teduh sekitar 30 menit untuk memeriksa diri dan mengambil komitmen untuk memperbaiki apa yang salah. Saya berharap model evaluasi seperti ini boleh menolong di dalam mewujudkan lebih banyak lagi tujuan-tujuan mulia nan ilahi, yang Tuhan pernah letakan di dalam hati kita yang paling dalam.

Friday, 21 October 2011

GENERASI BARU YANG PERKASA DI BUMI (MAZMUR 112.1-3)

Mazmur 112 berbicara mengenai (1) orang-orang yang takut akan Tuhan dan yang kesukaannya adalah perintah Tuhan, dan (2) keturunan mereka yang perkasa di muka bumi. Mazmur 112 tidak berbicara mengenai pendeta, penginjil, pemimpin agama dan rohaniwan semata, tetapi orang yang takut akan Tuhan dan mencintai perintah-Nya.

Pertama, Mazmur 112.1-3 menyatakan bahwa kita turut di dalam menentukan nasib keturunan kita. Tentu orangtua yang takut akan Tuhan dan mencintai perintah Tuhan tidak secara magical melahirkan keturunan yang perkasa di muka bumi. Namun, mereka yang takut akan Tuhan dan mencintai perintah Tuhan bekerja keras membimbing, mendidik dan memimpin anak-anaknya di dalam firman Tuhan. Itulah investasi terbesar yang dapat diberikan orangtua kepada anaknya. 

Kedua, Mazmur 112.1-3 memperlihatkan bahwa pengaruh orang yang takut akan Tuhan dan mencintai firman-Nya bukan terbatas pada keturunannya saja, tetapi juga satu generasi dimana keturunannya hidup. Kata ‘perkasa’ dalam ayat ke-2 berarti ‘berhasil,’ ‘berdampak,’ dan ‘berpengaruh,’ sehingga seluruh generasi diberkati oleh Tuhan. Pemazmur tidak mengatakan bahwa satu generasi akan diselamatkan, tetapi satu generasi merasakan kemuliaan Tuhan melalui keturunan yang perkasa tadi.

Ketiga, Mazmur 112.1-3 memperlihatkan bahwa kita tidak dapat mengubah generasi pendahulu kita, namun kita dapat mengubah generasi penerus kita. Tidak ada gunanya menyesali nasib generasi kita, sebaliknya kita perlu melahirkan dan membina generasi ilahi di masa depan. Ingatlah bahwa kehancuran suatu generasi menurut Mazmur 112 disebabkan oleh kesalahan generasi sebelumnya. Kita yang sudah berumur, mungkin tidak lagi mampu melakukan banyak hal. Tapi anak-anak muda memiliki tenaga dan kesempatan yang sedemikian hebatnya untuk mengubah dunia ini – tentu dengan bimbingan dan dukungan kita. 

Di dalam sebuah penelitian beberapa tahun yang lalu, dihasilkanlah penemuan yang menakjubkan: sebagian besar orang Kristen, bertobat ketika mereka berusia di antara 4-14 Tahun (80%). Data-data di atas menunjukkan betapa berharganya pelayanan kepada generasi penerus kita. Setiap kali saya melihat anak-anak saya dan orang-orang dari generasi yang lebih muda, saya selalu diingatkan bahwa ‘I am not what I wear; I am not what I say, I am not what I do, I am not what I accomplished –but  I am my legacy.’

Saturday, 15 October 2011

KERELAAN UNTUK MELEPASKAN..... (LUKAS 14.25-35)

Saya telah menyaksikan cukup banyak orang yang berjuang sedemikian kerasnya untuk memperoleh kepandaian, kekayaan, kesehatan, kecantikan, kebahagiaan, ketenaran, kedudukan, pekerjaan dan bahkan pasangan hidup. Namun demikian perjuangan yang lebih berat dari memperoleh sesuatu adalah kerelaan untuk melepaskannya. 

Sekitar dua ribu tahun yang lalu ada ribuan orang-orang yang mengikuti Tuhan Yesus, sebagian besar dari mereka adalah kaum opportunist yang mengikut Tuhan sekedar mengharapkan mujizat dan berkat Tuhan. Mereka bukan murid Tuhan Yesus yang sejati. Murid Tuhan Yesus harus pertama-tama memikul salib (14.26). Memikul salib adalah kerelaan untuk melepaskan sesuatu, bahkan yang paling kita cintai sekalipun. Menjadi murid Tuhan Yesus mensyaratkan loyalitas yang total. 

Pertama, ternyata di dalam kehidupan sehari-hari banyak orang yang merasa diri murid Tuhan Yesus, tetapi ternyata bukan. Orang-orang ini salah perhitungan. Mereka memulai sesuatu dan tidak menyelesaikannya dengan baik karena kehabisan ongkos. Mereka pikir menjadi murid Tuhan Yesus itu sesuatu keputusan yang murah, yang bisa dibayar dengan kelebihan uang belanja bulanan. Mereka tidak sadar bahwa menjadi murid Tuhan menuntut bagian yang paling berharga yang kita miliki (14.28-30).

Kedua, bukan itu saja: ternyata banyak juga yang merasa menjadi murid, namun hidupnya tidak berkemenangan, dan bahkan tertawan, lagi-lagi gara-gara salah perhitungan. Untuk menjadi murid Tuhan Yesus yang bebas, merdeka dan berkemangan, kita perlu dilepaskan, bukan saja dari dosa-dosa yang membelenggu kita, tetapi – kita juga perlu untuk memiliki kerelaan melepaskan segala milik yang kita cintai (14.31-33).

Yang ketiga, ternyata banyak orang merasa diri sebagai murid Tuhan Yesus, namun sesungguhnya tempat mereka adalah di dalam bak sampah. Hidup mereka tidak lagi ada dampaknya dan tidak menjadi kesaksian yang memberkati orang lain (14.34-35). 

Gereja adalah sekumpulan dari murid-murid Tuhan Yesus, tidak kurang dan tidak lebih. Tugas dan misi utama gereja adalah pemuridan, tidak kurang dan tidak lebih. Murid Tuhan Yesus (1) menyelesaikan pekerjaannya dengan baik, (2) hidup di dalam kemenangan, dan (3) memberikan dampak bagi orang lain – dimulai dengan kerelaan untuk melepaskan bahkan yang paling dicintainya.

DOA MAKAN

Di dalam perjalanan hidup saya sebagai orang Kristen, entah sudah berapa ratus kali (atau mungkin berapa ribu kali) saya diminta untuk memimpin doa makan. Dan yang tidak kalah serunya, saya bahkan telah mendengarkan orang lain berdoa untuk makan lebih dari doa makan yang pernah saya ucapakan sendiri. Kira-kira variasinya adalah sebagai berikut:

  1. Tuhan, kami bersyukur atas makanan yang telah Engkau sediakan/berikan (motif: ucapan syukur)
  2. Tuhan, berkatilah orang-orang miskin yang tidak dapat menikmati makanan seperti ini (motif: belas kasihan/compassion)
  3. Tuhan, berkatilah dengan limpah mereka yang telah bekerja keras menyediakan dan menyiapkan makanan ini (motif: penghargaan/appreciation)
  4. Tuhan, kuduskanlah dan berkatilah makanan ini - maksudnya kira-kira: hindarkanlah kami dari segala racun yang membahayakan (motif: perlindungan/protection)
  5. Tuhan, jadikanlah makanan ini kekuatan bagi tubuh kami - maksudnya supaya tidak sekedar membuat kenyang/gemuk, tetapi juga bermanfaat seperti vitamin (motif: nilai tambah/added value)
  6. Tuhan, tolonglah kami untuk dapat menikmati makanan ini - kira-kira artinya meminta Tuhan untuk mengontrol perasaan appetite kita (motif: I want more - but please do it for me God!)
  7. Tuhan, tolonglah supaya makanan yang sedikit dan sederhana ini boleh memuaskan/mengenyangkan semua yang hadir - ingat mujizat 2 ikan dan 5 roti (motif: takut/fear karena makanan yang tersedia sedikit dan yang hadir banyak)
  8. Tuhan, ....., ....., ....., ...... setelah sepuluh menit berdoa, si pendoa mengatakan 'Amin' - Semua mata terbuka dan mereka sadar bahwa pemimpin doa lupa mendoakan makanannya (motif: mungkin yang memimpin doa sedang tidak lapar, jadi lack of motivation)

Monday, 10 October 2011

RELASI YANG SEHAT DENGAN TUHAN DAN SESAMA (LUKAS 14.7-24)

Pada jaman dimana teknologi komunikasi belum semaju sekarang ini, jamuan makan adalah sebuah peristiwa yang sangat penting di dalam hubungan antar manusia. Peristiwa-peristiwa penting diakhiri atau diawali dengan jamuan makan. Sampai hari inipun, jamuan makan tetaplah penting di dalam mengeratkan relasi antar manusia. Di dalam Lukas 14.7-24, Tuhan Yesus mengajarkan tiga perumpamaan mengenai perjamuan makan untuk menggambarkan bagaimana relasi antara manusia dengan Tuhan dan sesamanya dapat dibangun dengan sehat.

Pertama, manusia yang ingin memiliki relasi yang sehat dengan Tuhan dan sesamanya perlu memiliki sikap yang rendah hati (14.7-11). Rendah hati berarti tidak merasa diri lebih penting, lebih baik, dan lebih terhormat dibandingkan yang lainnya. Orang yang rendah hati bukan saja disayang oleh sesamanya, tetapi juga disayang oleh Tuhan (14.10-11; Ams 25.6-7). Sebaliknya orang yang sombong direndahkan, dipermalukan dan dihancurkan reputasinya. Kita tidak pernah dapat menjadi berkat bagi orang lain, jika kita merasa lebih baik dibandingkan dengan orang lain tersebut.

Kedua, manusia yang ingin memiliki relasi yang sehat dengan Tuhan dan sesamanya dituntut untuk tidak membeda-bedakan sesamanya dan tidak hidup dengan mentalitas ‘parasit’ (14.12-14). Tuhan Yesus mengajarkan supaya kita tidak membangun hubungan dengan orang-orang yang mampu saja, tetapi juga orang-orang yang miskin dan cacat. Lalu, apa yang dimaksud dengan mentalitas ‘parasit’? Mentalitas ‘parasit’ adalah sikap yang menjalin hubungan hanya untuk mendatangkan keuntungan bagi dirinya sendiri. Semua hubungan dinilai dari besarnya keuntungan yang akan didapatkan. Mentalitas ‘parasit’ membangun relasi yang semu.. Sebaliknya ketika kita memberkati orang-orang yang tidak mampu, Tuhan sendiri yang akan menyayangi kita (14.14b).

Ketiga, manusia yang ingin memiliki relasi yang sehat dengan Tuhan dan sesamanya dituntut untuk taat kepada panggilan Tuhan: tidak pernah menolak maupun menundanya (14.15-24). Jika ada hal-hal yang menjadi lebih penting dibandingkan Tuhan, maka di situlah akar dari segala permasalahan hidup: bukan saja di dalam relasi kita dengan Tuhan, tetapi juga dengan sesama.