Jika ada manusia yang merasa diri paling benar, hal tersebut bukanlah sesuatu yang aneh. Jika ada manusia yang merasa pendapatnya adalah yang paling baik, hal tersebut adalah sesuatu yang lumrah saja. Dan jangan lupa, manusia yang merasa diri lebih baik atau lebih benar, paling baik atau paling benar itu mungkin saja memang benar-benar seorang yang baik dan benar. Jadi, jika kita sering merasa diri menjadi yang lebih benar atau paling baik, jangan kuatir, itu adalah hal yang wajar-wajar saja.
Pada jaman ketika Tuhan Yesus hidup ada sekelompok orang Yahudi yang disebut sebagai orang-orang Farisi. Mereka mewakili kelompok elit yang terhormat dan sangat dihormati oleh masyarakat. Di dalam pengetahuan mengenai Taurat Tuhan, mereka inilah jagoannya. Di dalam melakukan Taurat Tuhan, mereka juga nomor satu – meskipun mereka melakukannya secara hurufiah dan ritualistik. Karenanya, kelompok Farisi melihat dirinya sebagai yang lebih benar dan baik, karena alasan-alasan obyektif yang dapat dilihat oleh mata telanjang.
Persoalannya, apa yang dilihat manusia sebagai sesuatu yang lebih benar ternyata tidak dibenarkan Tuhan. Di dalam sebuah insiden di Bait Allah (Lukas 18.9-14), seorang Farisi yang benar-benar BENAR ternyata tidak dibenarkan oleh Tuhan. Dan seorang pemungut cukai yang benar-benar SALAH justru dibenarkan oleh Tuhan. Apakah Tuhan menyukai dosa dan kesalahan manusia dibandingkan dengan kebajikan dan hal-hal yang benar? Tentu tidak! Yang menjadi pokok penting di dalam kisah ini adalah kerendahan hati. Orang Farisi merasa – bukan hanya merasa, tetapi memang benar-benar – BENAR, dan karenanya menjadi percaya diri karena kebenaran yang dilakukannya itu. Orang yang demikian tidak lagi memerlukan Tuhan. Si Farisi datang kepada Tuhan hanya sekedar melaporkan segala prestasi baiknya. Sebaliknya si pemungut cukai yang pada waktu itu menjadi salah satu simbol dosa yang dibenci masyarakat, mengungkapkan segala kelemahan, kekurangan dan dosa-dosanya, berteriak: ‘Tuhan tolonglah aku!’ Ia mencari Tuhan karena ia sungguh-sungguh memerlukan Tuhan. Dan untuk itu, Tuhan membenarkannya.
Renungan bagi kita semua: (1) Jika kita sering merasa diri baik dan benar, atau lebih baik dan lebih benar, atau paling baik dan paling benar itu adalah sesuatu yang wajar. (2) Jika perasaan benar, lebih benar atau paling benar tersebut didukung oleh fakta-fakta yang obyektif, maka kita memiliki kualitas sebaik orang Farisi. Jika perasaan tersebut tidak disertai bukti-bukti nyata, maka kita memiliki kualitas lebih buruk dibanding orang Farisi. (3) Jika kita memiliki kepercayaan diri yang kuat karena segala prestasi dan performa kebenaran yang kita lakukan, dan karenanya tidak lagi membutuhkan Tuhan, kita setara dengan tingkat kerohanian orang Farisi. (4) Jika kita datang kepada Tuhan dengan kesadaran bahwa kita memerlukan kasih karunia dan pengampunan Tuhan, maka kita akan dibenarkan oleh-Nya. (5) Pertanyaan terakhir: ‘Apakah yang menjadi motif utama kita di dalam beribadah kepada Tuhan di dalam Ibadah Minggu, Care Group/Bible Study, Persekutuan Doa dan ibadah-ibadah lainnya?
No comments:
Post a Comment