Manusia pada umumnya senang dipuji dan dihormati, entah itu karena status sosialnya, derajat pendidikannya, atau kemampuan ekonominya. Di dalam Injil, figur seperti ini diwakili oleh orang Farisi. Kelompok Farisi adalah sekte yang secara moral terbaik di kalangan orang Yahudi pada jaman Yesus. Sesungguhnya memang orang-orang Farisi itu baik dan benar. Kekurangan mereka hanya dua, tetapi fatal: (1) Mereka senang mencela dan menyalahkan orang lain, atau dengan kata lain merasa benar sendiri; (2) Mereka suka dipuji, dan karenanya kehidupan keagamaan menjadi kegiatan di permukaan belaka (penampilan semata).
Manusia pada umumnya, khususnya di dalam kultur Timur juga menghormati orang yang semakin dewasa. Anak-anak tidak dianggap penting. Anak-anak dianggap lemah, bodoh dan tidak berpengalaman. Bahkan tidak jarang anak-anak dianggap ‘SETENGAH’ manusia. Itu karenanya banyak orang mengatakan, ‘Sekarang si Budi sudah jadi orang ya!’ – maksudnya sekarang si Budi sudah besar, dewasa, bergelar dan secara ekonomi mampu.
Manusia tentu mencintai dan mencari harta, kekayaan, suami kaya, istri kaya, menantu kaya, mertua kaya dan segala bentuk manifestasi dari apa yang kita kenal dengan uang. Kekayaan menjadi dekat sekali dengan kekuasaan dan parahnya, orang merasa aman karena kekayaannya.
Di dalam Lukas 18.9-14, bukan orang Farisi yang benar dan baik, yang dibenarkan oleh Tuhan – tetapi pemungut cukai, simbol dosa yang kotor dan dibenci masyarakat. Di dalam Lukas 18.15-17, Tuhan Yesus marah dan mencela murid-murid-Nya sendiri yang sudah dewasa karena menghalangi anak-anak kecil untuk datang kepada-Nya. Yesus menjadikan anak kecil sebagai contoh dan teladan di dalam pengajaran-Nya. Di dalam Lukas 18.18-27, tahulah kita bahwa orang kaya yang dipuja dunia ternyata sulit masuk surga. Unta yang ukuran tubuhnya Extra-L ternyata dianggap lebih mudah untuk masuk lubang jarum yang sempit dibanding orang kaya masuk surga.
Apa sebenarnya yang dicari Tuhan dari manusia? Hati yang jujur dan hancur di hadapan Tuhan – seperti si pemungut cukai. Hati yang bersih, polos, dan tulus – seperti anak-anak kecil. Hati yang mencintai dan mengandalkan Tuhan lebih dari segala kekayaan dan securitas duniawi – tidak seperti orang kaya di dalam Lukas 18.18-27. Intinya: Kita perlu belajar merendahkan diri kita di hadapan Tuhan, karena kita ini bukan siapa-siapa tanpa kasih karunia Tuhan.
No comments:
Post a Comment