‘Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati’ (Roma 12.1).
Pertama, berbeda dengan Perjanjian Lama, dimana lembu, domba atau burung yang dipersembahkan akan mati disembelih: cukup satu kali menderita dan habislah nyawanya. Paulus menasihatkan umat percaya untuk mempersembahkan tubuh sebagai persembahan yang hidup. Tuhan tidak mencari seonggok daging mati, apalagi yang busuk. Tuhan mencari tubuh-tubuh yang hidup dan berkarya. Waduh!!!! Kalau dikorbankan dan tidak mati-mati, menyiksa diri seumur hidup dong??? Mungkin saja pemahaman itu benar, karenanya hidup menderita bagi seorang Kristen bukanlah sesuatu hal yang perlu dikagetkan atau dirisaukan (1 Petrus 4.12). Namun di sisi lain, ‘persembahan yang hidup’ ditekankan untuk membedakan nasihat Paulus dari gambaran di Perjanjian Lama. Paulus ingin mengatakan bahwa segenap hidup kita (selama kita masih hidup) adalah untuk kemuliaan Tuhan semata. Jaga tubuhmu dengan baik dan hiduplah dengan sopan selama nafas dunia masih terhembus! Berbuatlah baik kepada orang lain selama jantung masih berdetak! Muliakan Tuhan dengan segenap jiwa ragamu, selagi engkau ada!
Kedua, Tuhan tidak hanya mencari tubuh yang hidup, tetapi juga tubuh yang kudus. Di dalam Perjanjian Lama, korban yang dipersembahkan haruslah memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh Taurat. Sapi gemuk belum tentu layak bagi Tuhan. Domba berbulu putih, juga tidak serta merta layak di hadapan Tuhan. Korban itu harus dipilih sesuai dengan aturan Taurat. Tidak sembarang orang boleh mempersembahkannya, hanya para imam yang tidak najis boleh membawa korban ke atas altar. Dan imam itupun harus berpakaian khusus ketika memasuki kemah Tuhan. Dengan kata lain, korban kepada Tuhan haruslah sesuatu yang dikuduskan dan disucikan. Hidup dan pelayanan Kristen juga demikian. Tuhan tidak sekedar mencari performa yang sempurna, tetapi performa yang lahir dari hati yang telah dikuduskan dan disucikan. ‘Janganlah kiranya menipu diri sendiri: publik melihat hidupmu, namun hanya engkau (dan Tuhan) yang tahu isi hatimu!’ Mari kita bersama menjaga hati dan hidup kita supaya kudus dan layak untuk dipersembahkan di hadapan-Nya.
Ketiga, pada akhirnya korban itu tidak dinilai dari berapa mahal harganya, berapa gemuk lembunya, atau berapa kusyuk upacaranya. Korban yang ‘sukses’ adalah korban yang berkenan dan diterima oleh Tuhan. Korban harus terbakar habis, dan asapnya naik ke atas. Hidup kita juga selalu mengandung pertanyaan: bukan berapa panjangnya, atau berapa banyak harta yang kita miliki, atau sejauh apa prestasi yang kita capai – tetapi: ‘Apakah Tuhan senang melihat hidup kita?’ ‘Will God be pleased when he sees our lives? – Will he smile at us?’ Sekali lagi, jangan bangga atas segala prestasi dan pencapaian kita, jika asap harumnya tidak tercium oleh Tuhan. Teruslah berdoa dan bertanya kepada Tuhan, sederhana saja: ‘God, am I pleasing you? Help me to please you God in all my life!’
No comments:
Post a Comment