Wednesday 25 January 2012

KETURUNAN YANG PERKASA MAZMUR 112.2

Generasi pendahulu kita bangga memiliki keturunan yang banyak. Kata mereka, ‘Banyak anak banyak rejeki.’ Keluarga-keluarga muda mungkin tidak lagi setuju dengan kata-kata itu. Buktinya satu atau dua anak saja repotnya setengah mati. Tidak jarang orangtua yang mengatakan bahwa rumahnya mirip ‘kapal pecah’ karena anak-anaknya yang bandel dan susah diatur.

Saya telah menyaksikan sendiri dan melakukan wawancara terstruktur dengan ibu-ibu dari orang-orang yang takut akan Tuhan dan hidupnya berhasil – dan menemukan bahwa kunci awal dari proses melahirkan pemimpin-pemimpin yang demikian adalah (1) bertekun di dalam doa, (2) memiliki tujuan dan fokus yang jelas di dalam mendidik anak, (3) memiliki komitmen untuk membayar harga sebuah pendidikan yang ilahi, dan (4) menjadikan diri sebagai teladan bagi anak cucu. Uraian di bawah ini tidak mencoba untuk menguraikan dengan rinci ke-empat kunci pendidikan anak seperti yang tertulis di atas. Namun demikian pembaca akan segera mengenali bahwa poin ke-3 dan ke-4 ditekankan di dalam artikel ini, yang mengajak pembaca untuk menyelami janji Tuhan di dalam Mazmur 112.2 mengenai keturunan yang perkasa dan diberkati Tuhan.

Perenungan ini berusaha untuk memahami (1) maksud dari janji untuk memiliki keturunan yang perkasa, dan (2) memahami syarat-syarat perjanjian supaya keturunan yang perkasa itu dapat berbuah menjadi kenyataan. Layaknya sebuah perjanjian, suatu pelanggaran akan membatalkan perjanjian yang dimaksud.

JANJI-JANJI DI DALAM MAZMUR 112

Mazmur 112 adalah sebuah nyanyian yang menceritakan mengenai orang-orang yang takut akan Tuhan dan mencintai perintah-perintah-Nya (ay. 1). Mereka ini sering disebut sebagai orang-orang benar (the righteous people).

Firman Tuhan di dalam Mazmur 112 menjanjikan bahwa orang yang demikian: dikaruniai keturunan yang perkasa (ay. 2), dikaruniai harta dan kekayaan (ay. 3), memiliki jalan keluar di dalam setiap kesulitan (ay. 4), selalu beruntung (ay. 5), kokoh dan tidak pernah goyah (ay. 6), dikaruniai keamanan, tidak takut dan kuatir akan bahaya (ay. 7), hidup berkemenangan (ay. 8), dan hidup berkelimpahan (ay. 9). Refleksi di bawah ini menyoroti janji yang pertama, ‘Keturunannya akan perkasa di bumi’ (Mazmur 112.2).

SYARAT-SYARAT PERJANJIAN: PRESTASI VS. POSISI

Mazmur 112 berbicara tentang orang yang takut akan Tuhan dan mencintai perintah-perintah-Nya. Mazmur 112 tidak berbicara mengenai pemimpin agama, pendeta, atau orang-orang Kristen yang terkemuka. Janji akan keturunan yang perkasa tidak diberikan berdasarkan posisi dan profesi yang dihargai di hadapan manusia, tetapi berdasarkan komitmen dan prestasi yang berkenan di hadapan Tuhan. Dengan kata lain, janji-janji ini memiliki syarat-syarat ilahi yang ditetapkan oleh Tuhan.  Generasi yang perkasa tidak lahir secara ajaib dan instant karena posisi dan profesi orangtuanya. Saya menyaksikan cukup banyak anak-anak pendeta yang hidupnya kurang mencerminkan profesi dan Tuhan yang disembah orangtuanya. Generasi yang perkasa sesungguhnya lahir oleh karena komitmen orangtuanya untuk hidup takut akan Tuhan dan mencintai perintah-perintah-Nya.

Pertama, hidup yang takut akan Tuhan dan mencintai perintah-perintah-Nya adalah hidup yang benar dan menjunjung tinggi kebenaran. Perhatikan bahwa kata ‘righteous,’ righteousness’ dan ‘upright’ muncul berkali-kali di dalam Mazmur 112 (NRSV: ay. 2, 3, 4, 6, 9 dan lawan katanya di ay. 10 ‘wicked’/fasik).

Hidup benar di dalam Perjanjian Lama memiliki pengertian yang sangat sederhana. Hidup benar adalah mengikuti perintah-perintah Tuhan di dalam Taurat, dan menjauhi semua yang dilarang-Nya. Hari ini pengertian tentang hidup benar belum berubah. Meskipun bagian Hukum Taurat yang membicarakan hal-hal yang bersifat tradisi, ritual dan peringatan hari-hari Raya Yahudi tidak lagi mengikat secara hurufiah, aspek moral dari perintah-perintah Tuhan di dalam Perjanjian Lama tetap berlaku hingga hari ini. Hidup benar berkaitan erat dengan nilai-nilai moral.

Salah satu ancaman yang berbahaya di dalam jaman ini adalah hilangnya aspek moralitas di dalam kehidupan umat manusia. Kepemimpinan yang paling berbahaya adalah kepemimpinan tanpa moralitas. Kepemimpinan yang demikian memiliki daya hancur yang maha dahsyat. Agama yang paling berbahaya adalah agama tanpa moralitas. Agama yang demikian berpotensi menyesatkan lebih banyak orang. Dan etika hidup yang paling berbahaya adalah etika hidup tanpa moralitas. Etika dapat saja bersifat situasional (tergantung kepada kasus apa yang sedang dihadapi), namun moralitas Kristen selalu dilandaskan kepada firman Tuhan yang tertulis di dalam Alkitab.  Moralitas tidak tergantung pada situasi. Moralitas menentukan apa yang benar dan apa yang salah secara polos dan sederhana. Hidup benar jika demikian tidak lain adalah ketaatan sepenuhnya kepada moralitas yang diajarkan oleh firman Tuhan.

Moral hidup yang benar menunjukkan bukan saja ketaatan manusia kepada Tuhan, tetapi juga hubungan antar manusia yang harmonis. Penegakan kebenaran di dalam Taurat Tuhan selalu dilandasi atas komitmen untuk taat kepada Tuhan, serta komitmen untuk mengasihi sesama manusia. Kasih kepada Tuhan (di dalam bentuk ketaatan) dan kasih kepada sesama manusia menjadi landasan hukum bagi bangsa Israel sebagai umat perjanjian (covenant community).  Pelanggaran terhadap satu aspek moral bukan saja membakar murka Tuhan, tetapi juga merusak dan melukai hubungan antar manusia. Gejala-gejala konflik antar suku bangsa, kerusuhan-kerusuhan dan tindakan-tindakan anarkis sesungguhnya adalah salah satu contoh rendahnya moral sebuah bangsa.

Kata ‘benar’ berhubungan dengan pengetahuan. Namun demikian kata ‘orang benar’ di dalam Perjanjian Lama berhubungan tidak dengan orang yang memiliki pengetahuan akan kebenaran semata, melainkan dengan orang yang melakukan kebenaran. Di dalam ungkapan Perjanjian Baru, kebenaran itu erat kaitannya dengan kesucian hidup.

Kedua, takut akan Tuhan dan mencintai perintah-perintah-Nya adalah hidup yang menunjukkan kebaikan, keadilan, kemurahan dan belas kasihan kepada orang lain, khususnya bagi mereka yang lemah dan membutuhkan. Perhatikan kata ‘gracious,’ ‘merciful,’ ‘generous,’ ‘justice’ dan ‘they have given to the poor’ (NRSV: ay. 4, 5, 9). Di dalam Perjanjian Lama, relasi vertikal dengan Yahweh sangat erat hubungannya dengan relasi horisontal dengan sesama manusia. Yahweh di dalam Perjanjian Lama dan demikian pula Tuhan Yesus di dalam Injil sangat mengasihi mereka yang miskin dan lemah. Murka Tuhan terhadap Israel dan bangsa-bangsa lain sering terjadi karena sikap yang mengabaikan kaum lemah dan melupakan keadilan sosial.

Hidup takut akan Tuhan dan mencintai perintah-perintah-Nya bukanlah sekedar secara pasif menjaga kesucian dan kekudusan supaya hidup terlihat seperti salju yang putih bersih. Mencintai perintah-perintah Tuhan adalah juga secara aktif merelakan diri menjadi kotor (bukan berkompromi dan menjadi berdosa!)  untuk menolong mereka yang lemah, miskin dan terpinggirkan (band. 1 Korintus 9.22). Di dalam bahasa modern, kepedulian terhadap kaum yang lemah ini dikenal sebagai ‘kesalehan sosial.’ Kesucian hidup yang tidak disertai dengan kesalehan sosial adalah kemunafikan ala Farisi. Sebaliknya kesalehan sosial yang tidak disertai kesucian hidup adalah kebaikan yang diselimuti dosa.

Saat ini banyak orang Kristen terlibat di dalam bentuk pelayanan sosial di bawah panji-panji lembaga Kristen atau gereja. Yang sangat perlu ditanyakan bukanlah apa tujuan pelayanan tersebut, melainkan apa motif dibalik pelayanan tersebut. Pelayanan kepada kaum lemah menjadi benar dan dibenarkan jika pelayanan itu lahir dari hati yang dipenuhi oleh rasa belas kasihan (bukan sekedar bersifat programatik dan artifisial), disertai dengan kemurahan hati (bukan karena terpaksa dan sungut-sungut), dan dilandasi atas dasar penegakan keadilan (karena mereka yang miskin dan terabaikan adalah kaum yang tertindas).

Langkah praktis di dalam menunjukkan kemurahan, belas kasihan dan keadilan adalah tidak berlaku semena-mena kepada orang lain, membangun solidaritas sosial (saling mengasihi) yang kokoh, dan mempopulerkan hidup berbagi (the culture of sharing) baik itu di tengah-tengah keluarga maupun lingkungan kerja.

Di dalam skala yang lebih besar, penegakan keadilan dapat dilakukan dengan bekerja sama dengan berbagai elemen masyarakat, misalnya di dalam menegakkan moral bangsa, memberantas korupsi, menumpas terorisme dan lain sebagainya. Pembaca mungkin bertanya, ‘Apa yang saya bisa lakukan untuk memberantas terorisme? – saya kan bukan polisi anggota DENSUS 88.’ Tahukah kita bahwa mendidik anak-anak untuk tidak membalas dendam adalah tindakan memberantas terorisme? Tahukan kita bahwa mendidik anak-anak untuk tidak membeda-bedakan martabat manusia berdasarkan agama, suku dan golongan juga sebuah tindakan yang menghancurkan terorisme? – setidaknya untuk generasi berikutnya.

MELAHIRKAN KETURUNAN YANG PERKASA

Apakah kesucian hidup (righteous living) dan kesalehan sosial (justice and mercy) akan secara otomatis melahirkan keturunan-keturunan yang perkasa? Jika kita membaca Mazmur 112 sebagai suatu janji, maka jawabnya pasti ‘ya dan amin.’ Hanya saja, seperti yang telah dituliskan di atas, sebuah janji memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi. Mazmur 112.2 memang dapat dibaca sebagai sebuah janji, namun demikian ayat yang sama juga dapat dibaca sebagai kalimat berita yang mengindikasikan adanya pengaruh aktif dan positif dari orangtua kepada keturunannya. Pengaruh aktif dan positif ini lahir dari keteladanan hidup dan komitmen orangtua untuk mendidik anak-anak di dalam takut akan Tuhan. Beberapa pembaca akan segera menangkap pesan bahwa di dalam konteks Perjanjian Lama, orangtua yang takut akan Tuhan pasti akan mengajarkan perintah-perintah Tuhan kepada anak-anak mereka (band. Ulangan 6.1-9).  

Jika demikian Mazmur 112 sesungguhnya ingin mengatakan bahwa syarat perjanjian yang pertama adalah orangtua yang hidup takut akan Tuhan dan mencintai perintah-perintah-Nya. Orangtua yang seperti ini menjadi teladan dan panutan bagi anak-anak dan keturunannya. Syarat yang kedua adalah komitmen orangtua di dalam mendidik anak-anak untuk hidup benar di dalam terang firman Tuhan. Jika kedua syarat ini dipenuhi, maka kita dapat yakin bahwa generasi yang perkasa sedang dilahirkan, dibentuk, dan dibangun.

KETURUNAN YANG PERKASA

Keturunan yang perkasa adalah salah satu dari delapan janji yang disediakan bagi orang-orang yang takut akan Tuhan dan mencintai perintah-perintah-Nya. Kata ‘perkasa’ berarti kuat, memiliki pengaruh, memimpin atau berdampak. Betapa hebatnya firman Tuhan di dalam Mazmur 112 ini. Keturunan orang-orang yang takut akan Tuhan adalah orang-orang yang perkasa, yang berpengaruh, yang memimpin dan yang berdampak bukan hanya untuk dirinya sendiri atau keluarganya, tetapi juga untuk orang-orang lain di dalam generasinya. Jika demikian, mendidik dan menularkan gaya hidup benar kepada anak-anak melalui keteladanan tidak saja menyelamatkan mereka dari kehancuran, tetapi juga mengubah, memberikan masa depan dan memberkati sebuah generasi yang baru dari suatu bangsa. Tuhan tidak menjanjikan bahwa semua orang di dalam satu generasi akan diselamatkan, namun Tuhan menjanjikan suatu generasi baru akan lahir dan diberkati, yaitu suatu generasi yang dipimpin oleh orang-orang yang perkasa yang dilahirkan dan dididik oleh orangtua yang berkomitmen untuk hidup takut akan Tuhan.

Pembaca mungkin tidak percaya akan kesimpulan di atas. Tetapi itulah yang sebenarnya ingin disampaikan oleh Pemazmur. Di dalam Perjanjian Lama, tidak perlu dua Musa untuk membebaskan Israel dari Mesir – satu Musa sudah cukup; tidak perlu dua Gideon untuk membebaskan Israel dari kepungan bangsa Midian – satu Gideon sudah cukup. Tidak perlu dua Esther untuk mengubah nasib bangsa Israel yang nyaris punah – satu Esther sudah cukup.

Kota Bandung yang kita cintai dan tanah air Indonesia yang kita banggakan akan memiliki masa depan yang cerah karena lahirnya keturunan yang perkasa yang dimulai dari orangtua-orangtua yang takut akan Tuhan dan mencintai perintah-perintah-Nya, yaitu mereka yang menjunjung tinggi kesucian, keadilan dan belas kasihan – dan yang memiliki komitmen untuk menularkan nilai-nilai tersebut kepada anak-anaknya melalui keteladanan dan pendidikan.

NATAL: PERMULAAN DARI SEBUAH GENERASI YANG BARU

Secara manusia, peristiwa kelahiran Tuhan Yesus sebenarnya adalah sesuatu yang biasa saja. Ia lahir di sebuah kandang yang hina dan tidak banyak orang yang tahu. Meskipun Malaikat Tuhan menampakkan diri kepada Yusuf, Maria dan para gembala di padang, dan meskipun orang-orang Majus serta Herodes mengetahui bahwa seorang Raja telah lahir, namun mayoritas orang di Yudea-Palestina pada waktu itu tidak merasakan apa-apa pada malam itu. Tidak ada breaking news di media lokal, tidak ada berita di surat kabar keesokan harinya dan tidak ada pengumuman-pengumuman yang mengatakan bahwa seorang Raja telah lahir.

Tidak seperti kebanyakan anak-anak hasil ‘kecelakaan’ yang diabaikan orangtuanya dan bertumbuh dengan cacat emosi, Tuhan Yesus – yang kehadirannya di dalam rahim Maria juga tidak direncanakan – justru mendapat kasih sayang yang sedemikian rupa, baik dari orangtuanya, orang lain dan Tuhan sendiri (Lukas 2.52). Lihat bagaimana Yesus bertumbuh dengan amat sangat sehat (Lukas 2.40, 52), bukan saja secara jasmani, tetapi juga secara intelektual, emosional dan sosial. Yusuf adalah seorang yang tulus hati (Matius 1.18 NRSV: righteous) dan taat kepada Tuhan (Matius 1.24; 2.14, 21). Maria adalah seorang yang menghamba, rendah hati dan taat (Lukas 1.38) dan takut akan Tuhan (Lukas 1.50). Kedua orangtua yang saleh inilah yang telah merawat dan mengasuh Yesus seperti orangtua-orangtua lain layaknya (Lukas 2.51).

Mungkin apa yang saya tulis ini diterima oleh pembaca sebagai sebuah asumsi, namun sesungguhnya saya menuliskan sesuatu yang lebih dari sekedar asumsi. Seperti yang disaksikan oleh Injil Lukas, kedua orangtua Yesus merawat, mendidik dan mengasuhnya (2.51). Ibu Yesus adalah salah satu wanita yang setia di dalam mengikuti kehidupan dan pelayanan Tuhan Yesus (mis. Matius 12.46; Yohanes 2.1-11), bahkan sampai matinya di kayu salib (Yohanes 19.25-27). Hampir semua ibu merawati dan dekat dengan anak yang dilahirkannya sampai usia-usia tertentu, namun hanya sedikit sekali ibu yang menemani anaknya hingga akhir hayatnya. Kenyataan ini cukup bagi saya untuk mengatakan bahwa Tuhan telah memilih orangtua yang sangat berdedikasi di dalam mengasuh, mendidik dan menyayangi Yesus.

Mungkin pembaca berpikir, ‘Oh,...Yesus kan Tuhan, jadi Dia pasti sempurna!’ Pemikiran yang demikian tidak sepenuhnya salah. Namun pembaca juga tidak boleh lupa bahwa Yesus adalah Tuhan yang sempurna yang mengambil keputusan untuk menjadi manusia yang utuh pula. Ia merasakan kelelahan tubuh dan emosi, Ia merasakan lapar dan sanggup menangis, Ia juga dapat menderita bukan saja secara badani, tetapi juga secara jiwani dan rohani. Kita tidak memiliki banyak data bagaimana Maria dan Yusuf merawat Yesus. Namun setidaknya, Maria memberikan air susunya untuk bayi Yesus; setidaknya hasil kerja keras Yusuf sebagai tukang kayu disisihkan untuk membeli pakaian yang dikenakan Yesus dalam masa kanak-kanak dan remajanya; setidaknya Maria menyiapkan makanan setiap hari untuk seluruh anggota keluarganya, termasuk Yesus; dan jika benar bahwa Yusuf dan Maria adalah keluarga Yahudi yang saleh, maka mereka pasti tidak henti-hentinya mendoakan Yesus si sulung, dan tentu tidak lupa mengajarkan Taurat Tuhan kepada-Nya, membawanya ke rumah Tuhan untuk beribadah (Lukas 2.21-40; 41-52), serta mengajar-Nya untuk setia kepada perintah-perintah Tuhan.

Yesus adalah contoh dan bukti yang sempurna dari keturunan yang perkasa. Ia pemimpin, Ia berpengaruh, hidup-Nya berdampak bukan hanya untuk generasi ketika Ia hidup, tapi bahkan untuk seluruh umat manusia sampai hari ini. Apakah Yesus perkasa karena peran Maria dan Yusuf? Tanpa Maria dan Yusuf, Yesus tetap perkasa. Namun demikian, kita juga tidak dapat memungkiri bahwa Maria dan Yusuf telah menjadi orangtua yang baik, mengasihi dan bertanggung jawab di dalam mengasuh dan membesarkan Yesus.

Hari ini kita merayakan Natal yang mengingatkan kita pada kelahiran Tuhan Yesus, keturunan yang perkasa yang mengubah nasib generasi-Nya dan generasi-generasi berikutnya di atas muka bumi ini. Kiranya Natal tahun ini juga memanggil kita untuk mengambil komitmen hidup takut akan Tuhan dan mencintai perintah-perintah-Nya, serta untuk mengambil tanggung jawab pengasuhan (parenting responsibilities) seperti yang telah dicontohkan oleh Maria dan Yusuf – dan yang telah dinyanyikan oleh pemimpin biduan di dalam Mazmur 112 sebagai sebuah janji akan suatu generasi baru yang perkasa dan yang memiliki masa depan yang cerah.

No comments:

Post a Comment