Tuesday 10 January 2012

ENAKNYA MENJADI TUAN DAN SUSAHNYA MENJADI HAMBA (LUKAS 17.7-10)


Barangkali sebagian dari kita pernah merasakan menjadi pemimpin yang memiliki beberapa bawahan, atau menjadi bos atas beberapa karyawan, atau menjadi manajer atas beberapa pegawai. Sebagai pemimpin kita memiliki otoritas terhadap bawahan. Mereka menerima gaji untuk mengerjakan tanggung jawabnya. Dan salah satu tanggung jawab utama mereka adalah patuh kepada pimpinan. Di dalam Lukas 17.7-10, Tuhan Yesus melukiskan hubungan antara seorang tuan dengan hamba (baca: budak). Seorang budak bukanlah seseorang yang menerima gaji, tetapi seseorang yang telah dibeli oleh tuannya dengan harga lunas; seorang budak adalah milik tuannya: kewajibannya tidak lain dan tidak bukan adalah taat kepada perintah tuannya.

Di dalam ayat ke7-9, Tuhan Yesus memberikan perumpamaan, seandainya murid-murid menjadi tuan yang memiliki seorang hamba. Wah..... Perumpamaan yang cukup aneh, mengingat kebanyakan murid-murid Tuhan Yesus berasal dari kelompok proletar (miskin). Kalaupun ada yang sebelumnya kaya, mengikut Tuhan Yesus identik dengan meninggalkan segala sesuatu dan menjadi miskin. Bagaimana mungkin sekelompok kecil murid yang miskin diumpamakan sebagai tuan yang memiliki hamba? 

Menariknya, meskipun secara manusia mereka tidak mungkin menjadi tuan (menjadi orang kaya), mereka memiliki naluri dan benih sikap untuk menjadi seorang tuan. Ayat 7 misalnya mengharapkan respon serempak dari murid-murid: ‘TIDAK ADA!’ tidak ada tuan yang mengajak makan hambanya setelah hamba tersebut selesai bekerja di ladang. Ayat 8 mengharapkan respon serempak dari murid-murid Tuhan: ‘YES!’ Tentu sebagai tuan, ia harus makan dan dilayani terlebih dahulu, baru kemudian nanti setelah selesai, hambanya boleh makan. Demikian pula ayat ke-9, respon murid-murid adalah ‘NO!’ Tidak perlu kita mengucapkan terima kasih kepada hamba yang bekerja untuk kita – itu kan memang sudah seharusnya. Menariknya, pada ayat ke-10, Tuhan menggantikan peran murid-murid yang tadinya menjadi tuan, sekarang menjadi hamba. Dan nampaknya suasana menjadi sunyi senyap: semua mulut terkatup, karena demikian beratnya menjadi seorang hamba.

Hubungan kita dengan Tuhan dapat dilukiskan seperti hubungan antara hamba dan tuan. Pertama, kita dipanggil untuk taat sepenuhnya kepada Tuhan dan mengerjakan tanggung jawab kita. Kedua, kita tidak seharusnya merasa perlu untuk menerima ucapan terima kasih dari Tuhan, karena kasih Tuhan terlebih besar dari segala yang kita lakukan untuk-Nya. Upah terbesar yang kita terima sebagai orang Kristen yang melayani Tuhan adalah kenyataan bahwa Tuhan melayakkan kita untuk menjadi hamba-Nya. Ketiga, kita tidak seharusnya merasa menjadi pahlawan di dalam pelayanan Tuhan. Seorang hamba merendahkan diri dan tidak mencari pujian bagi dirinya sendiri. Tuhan adalah satu-satunya pahlawan di dalam ladang pelayanan dan kehidupan umat-Nya.

No comments:

Post a Comment