Suatu hari seorang pria setengah baya bersaksi di depan gereja. Berkali-kali ia mengatakan ‘Puji Tuhan’ – pasalnya ia terhindar dari sebuah kecelekaan pesawat yang menewaskan semua penumpangnya. Apa yang terjadi? Ternyata ia tertahan macet di jalan, sehingga ditinggal pesawat naas tersebut. Pembaca boleh percaya, boleh tidak: Di depan gereja, pria ini berteriak ‘Haleluya’ – di dalam taksi yang ditumpanginya, ia mengomel tiada henti karena takut ditinggal pesawat. Tentu bagi pria ini, kemacetan di jalan adalah kabar buruk. Namun demikian, terhindar dari kecelakaan pesawat adalah kabar baik. Bagi ratusan keluarga korban, kecelakaan pesawat tersebut adalah kabar celaka.
Tiga bulan kemudian, terjadilah kebakaran hebat di pabrik yang dimiliki pria ini. Habislah hartanya dan menumpuklah hutangnya. Di hadapan pak pendeta, pria ini mengatakan, seandainya saya mati di dalam kecelakaan pesawat tersebut, pasti nasib saya tidak secelaka seperti sekarang ini. Kisah fiksi di atas menunjukkan betapa manusia itu rentan adanya.
Pertama, ‘kabar celaka’ belum tentu benar. Ingatlah bahwa kita hidup di dalam milenium yang mengenali dan mengakui betapa hebat dan berkuasanya sebuah gosip! Jadi jika kepada ‘kabar celaka’ saja kita sudah takut, bagaimana nasib kita di dalam menghadapi celaka yang sebenarnya. Intinya, kita diminta untuk bukan saja berhati-hati di dalam berbicara, tetapi juga berhati-hati di dalam mendengar. Salah satu celaka yang paling celaka adalah menganggap kabar yang belum teruji sebagai suatu kebenaran. Karenanya, ujilah dan saringlah semua yang masuk melalui lubang pendengaran kita, sebelum kita menyebarluaskannya – sesuai dengan hobby kita sebagai gossiper. Bukankah kita selalu 'berambisi' dan bangga menjadi yang pertama tahu, meski untuk kabar bohong sekalipun?
Kedua, sebuah kabar dapat menjadi ‘kabar celaka’ karena ditafsirkan sedemikian rupa oleh kelompok-kelompok tertentu. Misalnya, jika malam ini pemerintah mengumumkan kenaikan harga bahan bakar solar dari 7,000 IDR menjadi 8,000 IDR, apakah berita ini adalah sebuah ‘kabar celaka’? Jawabannya: tergantung siapa yang menafsirkan dan bagaimana menafsirkannya. Karenanya kita diminta untuk berhati-hati di dalam menafsirkan sebuah berita. Tafsirkanlah itu sesuai dengan konteks dimana berita tersebut disampaikan, dan perhatikanlah dari kepentingan mana berita itu dibuat. Kalau seorang pengusaha dengan logat Jawa, berkata, 'Wah mati aku, rego solar kog mundag terus!' - apakah ini sebuah 'kabar celaka'? Mungkin tidak. Pertama, ia tidak mati, meskipun ia mengatakan 'mati aku.' Kedua usahanya maju terus dan bahkan mungkin menghasilkan keuntungan yang lebih besar lagi.
Ketiga, sebuah ‘kabar celaka’ bagi seseorang belum tentu sebuah ‘kabar celaka’ bagi orang lain. Seperti pria di atas, ‘kabar celaka’ dihubungkan dengan untung rugi dirinya sendiri. Pria ini tidak pernah memikirkan nasib keluarga korban kecelakaan pesawat naas tadi. Ia juga cuek dengan buruh-buruh pabriknya yang kehilangan pekerjaan dan mungkin menderita luka-luka bakar yang menyakitkan. Karenanya kita perlu berhati-hati di dalam menilai dan memutuskan bahwa sebuah kabar itu sungguh-sungguh merupakan ‘kabar celaka’ – atau sesungguhnya kita sedang menonjolkan egoisme pribadi dan mengekspos perasaan mengasihani diri sendiri secara berlebihan. Bagi pemazmur, sebuah 'kabar celaka' lebih dari sekedar emosi sesaat dan perasaan sentimentil belaka.
Keempat dan inilah yang semestinya dimaksudkan oleh penulis Mazmur 112, sebuah ‘kabar celaka’ yang benar adalah bukan sekedar kabar, namun benar-benar sebuah kecelakaan. Maksud saya: ‘kabar celaka’ yang dimaksudkan oleh pemazmur bukanlah sebuah kabar yang hanya membuat orang lain sedih, terancam dan terluka, tetapi sebuah kabar yang membuat dirinya sendiri pedih, terancam dan terluka. Mazmur 112.7 mengindikasikan bahwa ‘kabar celaka’ yang dimaksud memiliki daya ancam, daya intimidasi, daya menakut-nakuti, daya membunuh, daya menyakiti, daya merusak, daya menghancurkan – Itu sebabnya janji Tuhan mengatakan bahwa orang yang ‘TAKUT akan Tuhan pasti tidak TAKUT akan kepada kabar celaka.’
‘Kabar celaka’ itu sesuatu yang kita alami – dan lebih dari sekedar kabar yang kita dengarkan saja. Namun demikian, ada satu obat yang mujarab untuk melawan ‘kabar celaka.’ Obat itu adalah ‘hidup takut akan Tuhan’ yang menjanjikan sebuah KABAR BAIK: Tuhan tidak mengancam, Ia menghibur; Tuhan tidak mengintimidasi, Ia memulihkan; Tuhan tidak menakut-nakuti, Ia memberi kekuatan; Tuhan tidak memubunuh, Ia menghidupkan; Tuhan tidak menyakiti, Ia menyembuhkan; Tuhan tidak merusak, Ia memulihkan; Tuhan tidak menghancurkan, Ia membangun. Karenanya, orang-orang yang hidup di dalam takut akan Tuhan, tidak pernah takut akan ‘kabar celaka’ – does it make sense?
No comments:
Post a Comment