‘Tidak takut’ adalah sebuah ungkapan yang biasanya melukiskan sebuah keputusan, dibandingkan gambaran dari sebuah insiden yang tidak direncanakan. Dengan kata lain, kelasi kapal yang terjun ke laut untuk menyelamatkan jiwa seorang penumpang yang hampir tenggelam tidak serta merta mengatakan bahwa kelasi tersebut tidak takut untuk terjun ke dalam laut yang bergelora. Ia terjun ke laut karena memang itu adalah bagian dari tugasnya. Ia terjun ke laut karena si korban mungkin adalah mertuanya sendiri – jadi ia sungkan kepada istrinya. Atau jangan-jangan sebenarnya ia tidak terjun ke laut, tetapi jatuh ke laut karena didorong orang? Intinya perasaan ‘tidak takut’ adalah sebuah keputusan yang bersifat lebih permanen dibandingkan dari sebuah insiden temporal. Contoh di atas diungkapkan dengan lebih baik oleh NIV: they will have no fear of bad news dibandingkan NRSV: They are not afraid of evil tidings.
Pertama, di dalam Mazmur 112, ‘keputusan untuk tidak takut’ (penafsiran saya) bukanlah sekedar keputusan yang dibuat di atas dasar kekuatan manusia, tetapi sebuah keputusan yang lahir karena janji Tuhan kepada mereka yang takut akan Tuhan dan menyukai perintah-perintah-Nya. Jika demikian janji yang diberikan Tuhan tidak terbatas hanya pada perubahan perasaan semata: dari rasa takut menjadi rasa tidak takut. Janji Tuhan di dalam Mazmur 112 bahkan mengubah sesuatu yang lebih dalam di dalam diri manusia, yang melahirkan sebuah keputusan baru yang diambil secara sadar untuk ‘tidak akan takut’ di dalam mendengar ‘kabar celaka.’
Dalamnya janji ini demikian mengagumkan saya. Tuhan tidak mengubah perasaan. Jika Tuhan mengubah perasaan, maka sesungguhnya kita masih takut, tetapi Tuhan membius kita untuk menjadi tidak takut. Dengan kata lain, rasa ‘tidak takut’ yang kita miliki adalah palsu. Perasaan itu naik turun, komitmen itu steady. Yang diubah Tuhan adalah sebuah komitmen yang diambil secara sadar, yaitu komitmen untuk tidak merasa takut. Perubahan yang seperti ini tidak membatalkan kuasa dan anugerah Tuhan. Perubahan yang seperti ini menunjukkan bagaimana Tuhan bekerja di dalam diri manusia secara utuh. Dan lagi, perubahan yang seperti ini bersifat (lebih) permanen dan stabil – no return!
Kedua, ada baiknya kita memahami bahwa ‘tidak TAKUT kepada kabar celaka’ adalah janji yang diberikan kepada orang ‘yang TAKUT akan Tuhan.’ Takut akan Tuhan membuat kita tidak takut kepada kabar celaka. Jika ‘takut kita kepada Tuhan’ adalah sebuah keputusan dan komitmen yang sungguh-sungguh, maka janji untuk ‘tidak takut kepada kabar celaka’ juga bersifat langgeng. Kedua aspek ini: ‘komitmen untuk tidak takut kepada kabar celaka’ dan ‘komitmen untuk takut akan Tuhan’ berbanding lurus. Semakin kita hidup takut akan Tuhan, semakin kita tidak takut kepada kabar secelaka apapun itu.
Ketiga, pemazmur sebenarnya ingin mengatakan bahwa seburuk apapun sebuah kabar celaka yang kita dengar atau bahkan yang kita alami sendiri, nasib orang-orang yang hidup takut akan Tuhan itu masih lebih baik. Karenanya, bagi orang-orang yang hidupnya takut akan Tuhan, tidak ada lagi yang perlu ditakutkan dan dikuatirkan di dalam dunia ini. Kita adalah orang-orang yang lebih dari pemenang (Roma 8.37). ‘Hidup takut akan Tuhan’ itu sendiri bukanlah lahir dari kekuatan kita, tetapi sesungguh-sungguhnya dan semata-mata adalah anugerah dan kasih karunia Tuhan (Roma 11.5-6). Di atas dasar kebenaran inilah, ‘rasa takut kepada kabar celaka’ menjadi tidak lagi masuk di akal – dan tidak lagi masuk di iman. Haleluya!!!
No comments:
Post a Comment