Sikap yang rendah hati tidak sinonim dengan sikap yang mengucap syukur. Namun demikian orang-orang yang rendah hati menjadikan ucapan syukur sebagai kebiasaan yang penting. Sebaliknya hidup orang-orang yang tidak rendah hati dipenuhi dengan sungut-sungut dan keluhan yang tiada habisnya.
Pak Bagus adalah salah satu pengurus di gereja gembalaan si Otong. Pak Bagus pinternya minta ampun. Setelah menamatkan SD, SMP dan SMA dengan selalu jadi juara kelas, ia diterima di universitas terkemuka tanpa tes. Setelah lulus sarjana dengan predikat suma cumlaude, dia melanjutkan kuliah di luar negeri dengan beasiswa penuh sampai selesai doktornya. Saking pinternya, dia dipilih jadi ketua majelis gereja.
Dengan gelar dan kepinterannya itu, Pak Bagus bisa kerja di tempat yang baik dengan gaji yang lumayan. Pak Bagus dan keluarganya hidup serba berkecukupan. Di rumahnya ada stereo dan home theatre kualitas kelas wahid (bukan bikinan China lho!). Ruangan-ruangan di rumahnya didisain mewah, artistik dan nyaman, serta dilengkapi mesin pendingin. Pokoknya kalau masuk rumah pak Bagus seperti masuk hotel bintang tujuh. Kasur di kamar juga lembutnya minta ampun. Kulkasnya penuh dengan makanan dan buah-buahan impor yang mahal-mahal.
Kalau dipikir-pikir hidup mewah itu ngga ada salahnya, semua kan anugerah Tuhan semata. Tuhan Yesus kan ngga anti pada kemewahan. Tapi kalau udah lama hidup enak, biasanya susah untuk hidup menderita. Orang tua dulu bilang, ‘lebih mudah miskin jadi kaya, daripada kaya jadi miskin.’
Kalau AC gereja rusak Pak Bagus suka mengeluh kepanasan. Kalau sound system dan multimedia macet, Bu Bagus suka mengeluh ngga bisa konsentrasi ibadah. Kalau si Otong pakai dasi kuning, Pak Bagus suka complain kesilauan. Kalau si Otong ngga pakai dasi, Bu Bagus ngeluh, ‘Mending suami gua aja yang kotbah.’ Rasanya ngga ada habis-habisnya keluhan dari keluarga Bagus. Anak-anaknya setali tiga uang.
Selain kebiasaan hidup nyaman, ada satu faktor lagi yang membuat Pak Bagus dan keluarganya suka mengeluh dan mengritik. Faktor itu adalah kepinteran keluarga Bagus yang di atas rata-rata: mereka terkenal kritis. Pak Bagus dan istrinya bisa membedakan mana yang merdu dan mana yang sumbang - d-mayor sama d-minor aja bisa dibedakan. Anak-anak Pak Bagus tahu hitungan resonansi senar gitar sampai empat digit di belakan koma. Intinya keluarga Bagus sangat precise dalam segala hal.
Jadi, selain ketidaknyamanan, sumber keluhan keluarga Bagus adalah ketidaksempurnaan. Jangan heran kalau kotbah si Otong suka jadi bulan-bulanan keluarga Bagus. Pak Bagus sering bilang, interpretasinya kurang tepat lah, kotbahnya kurang fokus lah, bicaranya kurang tegas lah, posturnya kurang lurus lah, pakaiannya kurang serasi lah, kotbahnya terlalu lama lah dan lah lah lainnya.
Kritik itu bukan dosa. Mengeluhkan sesuatu yang kurang baik juga bukan dosa. Tapi kalau lidah dan bibir kita lebih sering mengeluarkan kritik dan keluhan dibandingkan dengan ucapan syukur, itu tandanya kita sakit – sederhana saja kan? Dan nama penyakitnya adalah KESOMBONGAN. Keluhan, kritik dan sungut-sungut yang terus menerus menunjukkan ketidakpuasan kita terhadap anugerah Tuhan. Rasa tidak puas itu bisa positif lho, namun ada batasnya - sampai pada titik tertentu ketidakpuasan menjadi perlawanan terhadap kehendak Tuhan.
Ucapan syukur sebaliknya adalah pengakuan bahwa hidup kita ini semata-mata hanya karena anugerah Tuhan, tidak lebih dan tidak kurang. Kebiasaan mengucap syukur itu bukan semata-mata menunjukkan rasa terima kasih, tetapi juga kerendahan hati karena sadar bahwa tanpa Tuhan, kita ini bukan siapa-siapa.
No comments:
Post a Comment