Injil Lukas berbicara mengenai beberapa tingkatan harta. Tingkat tertinggi adalah ‘harta yang sesungguhnya’ (16.11; 16.9 à ‘kemah abadi’). Tingkat kedua adalah kekayaan yang kita miliki. Dan tingkat terakhir adalah harta orang lain yang dipinjamkan kepada kita untuk dikelola (16.12).
Pertama, jika kita tidak benar di dalam mengelola harta orang lain yang dipercayakan kepada kita, maka kita tidak akan dipercayakan Tuhan untuk memiliki harta sendiri. Kekayaan pribadi seseorang ditentukan oleh kesetiaannya di dalam mengelola uang yang bukan miliknya. Kesetiaan itu bukan strategi di dalam meraih harta dunia, tetapi sebagai syarat yang dilihat Tuhan, yang menentukan apakah kita layak dipercaya untuk memiliki harta yang semakin besar. Contohnya: Jika seseorang senang korupsi di kantor atau sering tidak membayar hutangnya, maka Tuhan tidak akan menambahkan harta pribadi kepadanya. Jika seseorang yang rajin korupsi dan sering lari dari tanggung jawab membayar hutang terlihat kaya, maka kekayaannya itu bukan dari Tuhan.
Kedua, jika seseorang yang teruji di dalam mengelola harta orang lain ternyata teruji juga kesetiaannya di dalam mengelola harta yang dimilikinya sendiri, maka kesetiaan itu dipandang Tuhan sebagai syarat untuk dapat menerima `harta yang sesungguhnya` (‘kemah abadi’). Lho, bukankah keselamatan itu karena anugerah? Mengapa pakai syarat-syarat? Keselamatan memang anugerah Tuhan. Kesetiaan yang dimaksud oleh Tuhan Yesus bukanlah kecakapan di dalam mengelola uang, tetapi sebuah komitmen untuk mengabdi sebagai hamba-Nya – termasuk di dalam hal mengelola uang dengan benar (16.13). Injil Lukas tidaklah berlebihan untuk mengatakan bahwa seorang Kristen yang lahir baru dapat diuji pertama-tama dari sikap dan tanggung-jawabnya terhadap uang.
Kebenaran dari perikop ini adalah: (1) Jika ada seseorang yang terlihat memiliki banyak harta, tetapi berlaku tidak benar terhadap harta orang lain (korupsi, tidak membayar hutang, boros, dlsb.) maka kekayaannya bukan dari Tuhan; (2) Jika ada seseorang yang terlihat memiliki banyak harta, dan menjadikan harta tersebut – bukan Tuhan – sebagai tuannya dan kecintaannya, maka orang tersebut bukan orang Kristen – setidaknya ia bukan orang Kristen yang memiliki ‘kemah abadi’ di Surga; (3) Seorang Kristen yang lahir baru mengabdi kepada Tuhan saja; segala kekayaannya – sedikit atau banyak – dipersembahkan bagi Tuhan saja. Orang Kristen yang seperti inilah yang menurut Injil Lukas memiliki kemah abadi di Surga yang kekal (EP).
Powerful, Pastor Ery!
ReplyDelete