Monday, 14 November 2011

RENDAH HATI #3

Beberapa tahun yang lalu, seorang pendeta mengatakan bahwa seorang yang rendah hati memiliki kemampuan untuk pertama-tama menerima dirinya sendiri apa adanya, dan kemudian menerima orang lain juga apa adanya.

Di gereja pa Otong ada seorang yang aktif beribadah, senang melayani dan hobby-nya luar biasa: senang dianggap jadi orang penting - namanya Sus Juwita. Di mana ada Sus Juwita, di situ ada masalah. Jemaat tidak perlu susah-susah pakai GPS untuk mencari sumber masalah di gereja – hampir pasti lokasinya di sekitar Sus Juwita. Kalau nyanyi di paduan suara, harus berdiri di barisan paling depan, maklum senengnya dianggap sebagai orang penting. Kalau rapat, maunya didengar dan diakomodasi, maklum senengnya dianggap sebagai orang penting. Kalau ada kesempatan tampil bicara di depan pasti ngga mau ketinggalan, maklum itu kan sekedar hobby jadi orang penting.

Satu kali waktu ada performa paduan suara, oleh Mas Darto (pemimpin paduan suara) Sus Juwita ditaruh di baris belakang dan ngga dikasi pengeras suara– maklum suaranya memang belum lulus untuk paduan suara. Nah, Sus Juwita sangat tersinggung dengan perlakuan ini. Padahal sebelum pentas, dia sudah beli baju mahal, dan dioles maskara yang warnanya glossy. Hak sepatunya khusus: tujuh belas centimeter. Sus Juwita sudah membayangkan bakal jadi bintang malam itu. Apa boleh buat, Mas Darto ngga mau ditawar. Yang diminta untuk berdiri di depan dan pegang pengeras suara adalah Mbak Turi (mantan finalis Wonogiri Idol yang suaranya teruji). Sus Juwita hatinya panas – dia ngomel-ngomel, ‘Orang kampung seperti Turi kog disuru nyanyi di depan: pakaiannya lusuh, kulitnya kusem, pakainya sepatu olah raga, (maaf) ndeso dan seterusnya, dan seterusnya.’ Turi diejek abis-abisan sama Sus Juwita.

Masalah ini akarnya sederhana: TERSINGGUNG. Orang yang mudah tersinggung adalah orang yang tidak dapat menerima dirinya apa adanya. Orang tersinggung pada dasarnya disebabkan karena dirinya dianggap tidak penting dan diabaikan. Sus Juwita berpikir kalau ia berdiri di depan, ia jadi lebih penting. Ia juga berpikir kalau pakai pakaian mahal dan kosmetik dengan merek-merek international, maka nilai dirinya bertambah. Sus Juwita lupa bahwa dia lahir telanjang ngga bawa apa-apa. Sus Juwita lupa bahwa setelah sekian tahun dia hidup dan jatuh ke dalam berbagai dosa, pencipta-Nya tetap sayang sama dia, bahkan rela mati untuk menebus dosa-dosanya yang kotor. Nah lupa lupa yang seperti ini bahaya sekali. Kalau kita lupa bahwa Tuhan telah menerima kita apa adanya, bahkan ketika kita diselimuti lumpur dosa, maka kita juga sulit menerima diri kita sendiri. Nah kalau susah menerima diri sendiri, akibatnya ya seperti Sus Juwita itu – dia gagal menerima Mbak Turi, yang meskipun tidak secantik Sus Juwita, tapi suaranya cemerlang.

Karakter yang dipertontonkan Sus Juwita ini disebut kesombongan – dan katanya menjadi senjata utama yang menghancurkan sebuah organisasi, perusahaan atau gereja sekalipun. Awal tahun ini saya membaca sebuah tulisan yang menarik: ‘serangan iblis yang paling hebat di dalam kehidupan bergereja adalah menciptakan perasaan TERSINGGUNG di antara anggotanya.’ Saya tidak serta merta setuju dengan pernyataan tersebut ..... tapi akhirnya saya menyerah dan mengakui kebenaran di balik kata-kata itu. Kalau saja tidak ada perasaan tersinggung di dalam gereja, kita semua sudah terbang tinggi seperti rajawali. Rasa tersinggung itu seperti beban seribu ton yang menghambat berbagai pelayanan dan pertumbuhan gereja.

Beberapa minggu yang lalu seorang pendeta lain menyaksikan bagaimana gerejanya menciptakan slogan yang berbunyi seperti: ‘Yang Tersinggung Kampungan.’ Kata-kata ini dicetak dan ditempel di tempat-tempat strategis di gedung gereja untuk mengingatkan jemaat betapa buruknya, merugikannya dan bahayanya sikap yang mudah tersinggung.

Seorang yang rendah hati tidak mudah tersinggung. Seorang yang mudah tersinggung, lupa bahwa kebobrokan dirinya sebenarnya telah membuat Tuhan ‘tersinggung’ – tapi Tuhan memilih untuk tetap mengasihinya dengan hati yang terbuka lebar. Tuhan aja mau menerima kita apa adanya – kenapa kita sulit menerima diri kita sendiri? Apa kita ini lebih hebat dari Tuhan?

No comments:

Post a Comment