Wednesday, 23 November 2011

KETIKA TUHAN MENEGUR (LUKAS 16.14-17)

Umumnya orang tidak bahagia jika ditegur. Di dalam prakteknya teguran yang disampaikan dengan cara yang bijaksana sekalipun menimbulkan luka hati. Kebanyakan orang merasa dirinya dan pendapatnya sebagai yang paling benar, sehingga tidak dapat menerima teguran. 

Pertama, reaksi negatif terhadap teguran adalah luka hati, yang bentuknya dapat berupa ketersinggungan, kebencian, dendam atau melawan dengan kata-kata balasan (olok-olok/cemooh/menyalahkan orang lain). Apa yang menyebabkan seseorang tidak bahagia jika ia ditegur? Bisa saja karena orang tersebut tidak merasa bersalah. Tapi yang lebih sering adalah karena orang tersebut tidak rela mengakui kesalahannya sendiri. Sikap inilah yang ditunjukkan oleh orang-orang Farisi yang ditegur oleh Tuhan Yesus (16.14).

Kedua, orang-orang Farisi adalah pemuka agama. Mereka seharusnya adalah hamba Tuhan, namun kenyataannya, mereka telah menjadi hamba uang. Ketika Yesus menegur orang Farisi yang demikian, mereka bukannya bertobat, tetapi mencemooh Yesus. Orang Farisi ingin terlihat terhormat sebagai pemimpin agama, meskipun hatinya busuk seperti hamba uang: Inilah yang disebut kemunafikan. Di luar tampak cemerlang, namun di dalamnya penuh luka dan kebobrokan. Yesus mengatakan bahwa Allah mengetahui isi hati mereka. Tuhan tidak serta merta membenci semua yang dihormati manusia. Namun sebaliknya, Tuhan membenci kemunafikan, sekalipun jika itu dipuji-puji oleh manusia (16.15).  Firman Tuhan mengatakan: ‘Lebih baik teguran yang nyata-nyata dari pada kasih yang tersembunyi’ (Amsal 27.5).

Ketiga, kebenaran yang dinyatakan melalui Hukum Taurat dan Injil Kerajaan Allah datangnya dari Allah yang sama. Kebenaran tersebut tidak dapat dibatalkan. Seseorang bersalah bukan karena ia merasa bersalah, bukan karena ia dituduh bersalah, dan bukan karena banyak orang menyalahkan dia. Sebaliknya seseorang itu benar bukan karena ia merasa benar, kelihatan benar, atau karena banyak orang memujinya. Salah dan benar didasarkan pada Taurat dan Injil Kerajaan Allah yang diajarkan oleh Yesus (16.16-17).

Firman Tuhan mengajarkan kepada kita untuk bersikap benar di dalam menerima teguran. Kesombongan mengantar kepada penolakan, dendam dan sakit hati, sebaliknya sikap rendah hati mengantar kepada pertobatan, pemulihan dan berkat.  Ingatlah bahwa: ‘Siapa mencintai didikan, mencintai pengetahuan; tetapi siapa membenci teguran, adalah dungu’ (Amsal 12.1). Kita sering merasa benar, padahal tidak benar. Kita sering merasa tidak bersalah, padahal salah. Yang paling celaka adalah sikap seperti orang Farisi, yang berusaha kelihatan benar di luar, tetapi busuk di dalam. Bertobatlah!

Thursday, 17 November 2011

HARTA GONO GINI (LUKAS 16.10-13)

Injil Lukas berbicara mengenai beberapa tingkatan harta. Tingkat tertinggi adalah ‘harta yang sesungguhnya’ (16.11; 16.9 à ‘kemah abadi’). Tingkat kedua adalah kekayaan yang kita miliki. Dan tingkat terakhir adalah harta orang lain yang dipinjamkan kepada kita untuk dikelola (16.12). 

Pertama, jika kita tidak benar di dalam mengelola harta orang lain yang dipercayakan kepada kita, maka kita tidak akan dipercayakan Tuhan untuk memiliki harta sendiri. Kekayaan pribadi seseorang ditentukan oleh kesetiaannya di dalam mengelola uang yang bukan miliknya.  Kesetiaan itu bukan strategi di dalam meraih harta dunia, tetapi sebagai syarat yang dilihat Tuhan, yang menentukan apakah kita layak dipercaya untuk memiliki harta yang semakin besar. Contohnya: Jika seseorang senang korupsi di kantor atau sering tidak membayar hutangnya, maka Tuhan tidak akan menambahkan harta pribadi kepadanya. Jika seseorang yang rajin korupsi dan sering lari dari tanggung jawab membayar hutang terlihat kaya, maka kekayaannya itu bukan dari Tuhan.

Kedua, jika seseorang yang teruji di dalam mengelola harta orang lain ternyata teruji juga kesetiaannya di dalam mengelola harta yang dimilikinya sendiri, maka kesetiaan itu dipandang Tuhan sebagai syarat untuk dapat menerima `harta yang sesungguhnya` (‘kemah abadi’). Lho, bukankah keselamatan itu karena anugerah? Mengapa pakai syarat-syarat? Keselamatan memang anugerah Tuhan. Kesetiaan yang dimaksud oleh Tuhan Yesus bukanlah kecakapan di dalam mengelola uang, tetapi sebuah komitmen untuk mengabdi sebagai hamba-Nya – termasuk di dalam hal mengelola uang dengan benar (16.13). Injil Lukas tidaklah berlebihan untuk mengatakan bahwa seorang Kristen yang lahir baru dapat diuji pertama-tama dari sikap dan tanggung-jawabnya terhadap uang.

Kebenaran dari perikop ini adalah: (1) Jika ada seseorang yang terlihat memiliki banyak harta, tetapi berlaku tidak benar terhadap harta orang lain (korupsi, tidak membayar hutang, boros, dlsb.) maka kekayaannya bukan dari Tuhan; (2) Jika ada seseorang yang terlihat memiliki banyak harta, dan menjadikan harta tersebut – bukan Tuhan – sebagai tuannya dan kecintaannya, maka orang tersebut bukan orang Kristen – setidaknya ia bukan orang Kristen yang memiliki ‘kemah abadi’ di Surga; (3) Seorang Kristen yang lahir baru mengabdi kepada Tuhan saja; segala kekayaannya – sedikit atau banyak – dipersembahkan bagi Tuhan saja. Orang Kristen yang seperti inilah yang menurut Injil Lukas memiliki kemah abadi di Surga yang kekal (EP).

Tuesday, 15 November 2011

RENDAH HATI #5

Sikap yang rendah hati tidak sinonim dengan sikap yang mengucap syukur. Namun demikian orang-orang yang rendah hati menjadikan ucapan syukur sebagai kebiasaan yang penting. Sebaliknya hidup orang-orang yang tidak rendah hati dipenuhi dengan sungut-sungut dan keluhan yang tiada habisnya.

Pak Bagus adalah salah satu pengurus di gereja gembalaan si Otong. Pak Bagus pinternya minta ampun. Setelah menamatkan SD, SMP dan SMA dengan selalu jadi juara kelas, ia diterima di universitas terkemuka tanpa tes. Setelah lulus sarjana dengan predikat suma cumlaude, dia melanjutkan kuliah di luar negeri dengan beasiswa penuh sampai selesai doktornya. Saking pinternya, dia dipilih jadi ketua majelis gereja.

Dengan gelar dan kepinterannya itu, Pak Bagus bisa kerja di tempat yang baik dengan gaji yang lumayan. Pak Bagus dan keluarganya hidup serba berkecukupan. Di rumahnya ada stereo dan home theatre kualitas kelas wahid (bukan bikinan China lho!). Ruangan-ruangan di rumahnya didisain mewah, artistik dan nyaman, serta dilengkapi mesin pendingin. Pokoknya kalau masuk rumah pak Bagus seperti masuk hotel bintang tujuh. Kasur di kamar juga lembutnya minta ampun. Kulkasnya penuh dengan makanan dan buah-buahan impor yang mahal-mahal.

Kalau dipikir-pikir hidup mewah itu ngga ada salahnya, semua kan anugerah Tuhan semata. Tuhan Yesus kan ngga anti pada kemewahan. Tapi kalau udah lama hidup enak, biasanya susah untuk hidup menderita. Orang tua dulu bilang, ‘lebih mudah miskin jadi kaya, daripada kaya jadi miskin.’ 

Kalau AC gereja rusak Pak  Bagus suka mengeluh kepanasan. Kalau sound system dan multimedia macet, Bu Bagus suka mengeluh ngga bisa konsentrasi ibadah. Kalau si Otong  pakai dasi kuning, Pak Bagus suka complain kesilauan. Kalau si Otong ngga pakai dasi, Bu Bagus ngeluh, ‘Mending suami gua aja yang kotbah.’ Rasanya ngga ada habis-habisnya keluhan dari keluarga Bagus. Anak-anaknya setali tiga uang. 

Selain kebiasaan hidup nyaman, ada satu faktor lagi yang membuat Pak Bagus dan keluarganya suka mengeluh dan mengritik. Faktor itu adalah kepinteran keluarga Bagus yang di atas rata-rata: mereka terkenal kritis. Pak Bagus dan istrinya bisa membedakan mana yang merdu dan mana yang sumbang - d-mayor sama d-minor aja bisa dibedakan. Anak-anak Pak Bagus tahu hitungan resonansi senar gitar sampai empat digit di belakan koma. Intinya keluarga Bagus sangat precise dalam segala hal. 

Jadi, selain ketidaknyamanan, sumber keluhan keluarga Bagus adalah ketidaksempurnaan. Jangan heran kalau kotbah si Otong suka jadi bulan-bulanan keluarga Bagus. Pak Bagus sering bilang, interpretasinya kurang tepat lah, kotbahnya kurang fokus lah, bicaranya kurang tegas lah, posturnya kurang lurus lah, pakaiannya kurang serasi lah, kotbahnya terlalu lama lah dan lah lah lainnya.

Kritik itu bukan dosa. Mengeluhkan sesuatu yang kurang baik juga bukan dosa. Tapi kalau lidah dan bibir kita lebih sering mengeluarkan kritik dan keluhan dibandingkan dengan ucapan syukur, itu tandanya kita sakit – sederhana saja kan? Dan nama penyakitnya adalah KESOMBONGAN. Keluhan, kritik dan sungut-sungut yang terus menerus menunjukkan ketidakpuasan kita terhadap anugerah Tuhan. Rasa tidak puas itu bisa positif lho, namun ada batasnya - sampai pada titik tertentu ketidakpuasan menjadi perlawanan terhadap kehendak Tuhan. 

Ucapan syukur sebaliknya adalah pengakuan bahwa hidup kita ini semata-mata hanya karena anugerah Tuhan, tidak lebih dan tidak kurang. Kebiasaan mengucap syukur itu bukan semata-mata menunjukkan rasa terima kasih, tetapi juga kerendahan hati karena sadar bahwa tanpa Tuhan, kita ini bukan siapa-siapa.

RENDAH HATI #4

Orang yang rendah hati itu tidak semena-mena, tidak menganggap dirinya lebih baik atau lebih penting dari orang lain, dan tidak menggunakan kekuasaan tanpa kendali. 

Setiap Kamis pagi, Pendeta Otong main tenis dengan Om Husein. Itu sudah jadual rutin bertahun-tahun yang tidak bisa dilanggar, sekalipun di hari Natal. Si Otong pasti ngga mau bolos main tenis, semua rapat, kunjungan jemaat bahkan kebaktian penghiburan di rumah duka tidak boleh dilakukan di Kamis pagi. Ngomong-ngomong, Om Husein ini orang paling kaya di gereja gembalaan si Otong. Jangan buru-buru menghakimi lho, Om Husein rajin ke gereja dan taat memberi perpuluhan lho - ia tidak pelit lho: sumbangannya mengalir seperti air terjun. Menurut sumber yang bisa dipercaya perpuluhan Om Husein kira-kira 30 persen dari total pemasukan gereja....wuih cape ngitung duitnya.  Om Husein ini bener-bener konglomerat. Mobil si Otong adalah hadiah ulang tahun Sweet Forty five dari Om Husein. Rasanya semua barang-barang di rumah si Otong bukannya made in Japan atau made in China, tapi made in Husein.

Problemnya Cuma satu:  kalau sampai Otong kecapean rapat gereja hari Rabu malam dan ngga bangun untuk main tenis Kamis paginya, maka dipastikan jumlah persembahan hari minggu yang biasanya empat digit, langsung menjadi tiga digit. Kalau si Otong bolos, dompet Om Husein langsung seret. Nah lho....! Penyakit yang seperti ini memang susah sembuhnya – antibiotik juga ngga bakal mempan.

Si Otong bilang dia sungkan: abis Om Husein baik sekali sih. Bukan Cuma mobil, piring, gelas dan sikat gigi juga hadiah dari Om Husein. Malahan ada selentingan, katanya tiap malam, si Otong punya tugas jalan-jalan setengah jam aja ..... tapi sama Pleki (doggy-nya Om Husein). Pokoknya disuru apa aja, si Otong bakal nurut deh. Ibaratnya diperintah beli Indomie di Bulan juga dijalani sama si Otong.

Kata orang nih, gejala politik seperti ini disebut sungkanisme (mirip lah dengan nepotisme). Tapi itu kata orang yang melihat dari kaca mata si Otong. Kalau kata saya, si Otong bukan Cuma terjebak di dalam sungkanisme, tetapi sudah dijerat oleh premanisme brutal ala Om Husein. Ternyata di gereja banyak preman lho! Ayo ketawa rame-rame! Di gereja ada yang bilang: ‘Awas ya, kalau anakku ngga jadi pemimpin pujian, sekeluarga bakal cabut!’ Ada lagi yang lain ngomong, ‘Kalau lagu favoritku ngga dinyanyikan di hari Natal, aku ngga mau melayani sebagai singer!’ ‘Kalau pa pendeta kotbahnya bikin telingaku panas, aku ngga mau ke gereja lagi!’ ‘Kalau anakku yang nakal ditegor sama guru Sekolah Minggu, putus hubungan! Dan masih banyak lagi. Oh Gusti .... rasanya saya mau nangis kalau ngeliat gereja: .... ini rumah Tuhan atau rumah preman? Preman itu biasanya bukan sekedar ngambeg lho, tapi juga mengancam dan bersenjata.

Om Husein, gara-gara kaya dan banyak duitnya, merasa diri jadi orang paling penting di gereja. Kalau keinginannya ngga dituruti habis deh tuh si Otong dan gerejanya. Jadi gereja ini bukan tempat untuk melayani Tuhan, tetapi kendaraan untuk melayani Om Husein. Kira-kira Om Husein rendah hati ngga? Jawab sendiri deh! Kalau Om Husein rendah hati, dia akan menganggap dirinya sama dengan jemaat yang lainnya, meskipun duitnya banyak. Kalau Om Husein rendah hati, pasti dia tidak akan memperalat si Otong.

Tapi Om Husein selalu ingin dapat perlakuan spesial, seolah-olah dia diciptakan sebagai makhluk setengah Tuhan. Tempat duduknya lebih empuk, dekat sama AC, tapi sepoi-sepoi anginnya, sebelum benediction selesai Om Husein ngacir keluar duluan, alasannya: biar ngga macet.

Si Otong juga udah pusing tujuh keliling sama Om Husein. Kadang si Otong bertanya, ‘Om Husein ini berkat atau kutuk?’ Kadang memberkati, kadang nyebelin. Kalau kata saya, si Otong salah bertanya – Om Husein ini bukan makhluk berkat dan juga bukan makluk kutuk. Om Husein ini adalah makhluk sombong! Bukan Cuma sombong dengan sesamanya dan pendetanya, tapi juga sombong sama Tuhan. Gereja milik Tuhan diperlakukan seperti gereja milik pribadi, cuma gara-gara duitnya banyak: kebayang ngga???

Nah, bagi kita yang duitnya banyak, yang otaknya pinter, yang wajahnya menawan, yang kotbahnya keren, yang mobilnya mahal, yang kalungnya lima kilo: inget ya bahwa semua atribut di atas tidak membuat kita ini bernilai lebih di hadapan Tuhan dibandingkan manusia lain. Jangan jadi replika Om Husein! Jangan jadi makhluk sombong! Dan satu lagi, jangan menggunakan semua kelebihan-kelebihan itu untuk menjadi senjata premanisme di dalam gereja. Kesian tuh si Otong: ntar sore dia udah di-scheduled ngosek washroom-nya Om Husein!

Monday, 14 November 2011

RENDAH HATI #3

Beberapa tahun yang lalu, seorang pendeta mengatakan bahwa seorang yang rendah hati memiliki kemampuan untuk pertama-tama menerima dirinya sendiri apa adanya, dan kemudian menerima orang lain juga apa adanya.

Di gereja pa Otong ada seorang yang aktif beribadah, senang melayani dan hobby-nya luar biasa: senang dianggap jadi orang penting - namanya Sus Juwita. Di mana ada Sus Juwita, di situ ada masalah. Jemaat tidak perlu susah-susah pakai GPS untuk mencari sumber masalah di gereja – hampir pasti lokasinya di sekitar Sus Juwita. Kalau nyanyi di paduan suara, harus berdiri di barisan paling depan, maklum senengnya dianggap sebagai orang penting. Kalau rapat, maunya didengar dan diakomodasi, maklum senengnya dianggap sebagai orang penting. Kalau ada kesempatan tampil bicara di depan pasti ngga mau ketinggalan, maklum itu kan sekedar hobby jadi orang penting.

Satu kali waktu ada performa paduan suara, oleh Mas Darto (pemimpin paduan suara) Sus Juwita ditaruh di baris belakang dan ngga dikasi pengeras suara– maklum suaranya memang belum lulus untuk paduan suara. Nah, Sus Juwita sangat tersinggung dengan perlakuan ini. Padahal sebelum pentas, dia sudah beli baju mahal, dan dioles maskara yang warnanya glossy. Hak sepatunya khusus: tujuh belas centimeter. Sus Juwita sudah membayangkan bakal jadi bintang malam itu. Apa boleh buat, Mas Darto ngga mau ditawar. Yang diminta untuk berdiri di depan dan pegang pengeras suara adalah Mbak Turi (mantan finalis Wonogiri Idol yang suaranya teruji). Sus Juwita hatinya panas – dia ngomel-ngomel, ‘Orang kampung seperti Turi kog disuru nyanyi di depan: pakaiannya lusuh, kulitnya kusem, pakainya sepatu olah raga, (maaf) ndeso dan seterusnya, dan seterusnya.’ Turi diejek abis-abisan sama Sus Juwita.

Masalah ini akarnya sederhana: TERSINGGUNG. Orang yang mudah tersinggung adalah orang yang tidak dapat menerima dirinya apa adanya. Orang tersinggung pada dasarnya disebabkan karena dirinya dianggap tidak penting dan diabaikan. Sus Juwita berpikir kalau ia berdiri di depan, ia jadi lebih penting. Ia juga berpikir kalau pakai pakaian mahal dan kosmetik dengan merek-merek international, maka nilai dirinya bertambah. Sus Juwita lupa bahwa dia lahir telanjang ngga bawa apa-apa. Sus Juwita lupa bahwa setelah sekian tahun dia hidup dan jatuh ke dalam berbagai dosa, pencipta-Nya tetap sayang sama dia, bahkan rela mati untuk menebus dosa-dosanya yang kotor. Nah lupa lupa yang seperti ini bahaya sekali. Kalau kita lupa bahwa Tuhan telah menerima kita apa adanya, bahkan ketika kita diselimuti lumpur dosa, maka kita juga sulit menerima diri kita sendiri. Nah kalau susah menerima diri sendiri, akibatnya ya seperti Sus Juwita itu – dia gagal menerima Mbak Turi, yang meskipun tidak secantik Sus Juwita, tapi suaranya cemerlang.

Karakter yang dipertontonkan Sus Juwita ini disebut kesombongan – dan katanya menjadi senjata utama yang menghancurkan sebuah organisasi, perusahaan atau gereja sekalipun. Awal tahun ini saya membaca sebuah tulisan yang menarik: ‘serangan iblis yang paling hebat di dalam kehidupan bergereja adalah menciptakan perasaan TERSINGGUNG di antara anggotanya.’ Saya tidak serta merta setuju dengan pernyataan tersebut ..... tapi akhirnya saya menyerah dan mengakui kebenaran di balik kata-kata itu. Kalau saja tidak ada perasaan tersinggung di dalam gereja, kita semua sudah terbang tinggi seperti rajawali. Rasa tersinggung itu seperti beban seribu ton yang menghambat berbagai pelayanan dan pertumbuhan gereja.

Beberapa minggu yang lalu seorang pendeta lain menyaksikan bagaimana gerejanya menciptakan slogan yang berbunyi seperti: ‘Yang Tersinggung Kampungan.’ Kata-kata ini dicetak dan ditempel di tempat-tempat strategis di gedung gereja untuk mengingatkan jemaat betapa buruknya, merugikannya dan bahayanya sikap yang mudah tersinggung.

Seorang yang rendah hati tidak mudah tersinggung. Seorang yang mudah tersinggung, lupa bahwa kebobrokan dirinya sebenarnya telah membuat Tuhan ‘tersinggung’ – tapi Tuhan memilih untuk tetap mengasihinya dengan hati yang terbuka lebar. Tuhan aja mau menerima kita apa adanya – kenapa kita sulit menerima diri kita sendiri? Apa kita ini lebih hebat dari Tuhan?

RENDAH HATI #2

Orang rendah hati itu adalah orang yang benar, tetapi tidak merasa dirinya sebagai satu-satunya yang benar, atau yang paling benar, atau bahkan yang lebih benar dibandingkan orang yang berlawanan pendapat dengannya. Dan kalau ia terbukti tidak benar, ia akan mengakuinya serta tunduk kepada yang benar dengan segenap hatinya.

Menjelang perayaan Natal di gereja gembalaan si Otong, diadakanlah rapat seksi konsumsi. Rapat tersebut dihadiri oleh Ibu Aming, Tante Tuty dan Nyonya Otong. Kata Ibu Aming, ‘Mari kita masak mi goreng saja: murah, mudah dan meriah. Maklum, Ibu Aming ini juragan mi turunan ke-lima. Ibu Aming yakin bahwa usulannya baik, karena bertahun-tahun ia mengolah, memasak, menjual dan menyajikan mi goreng, mi kuah, mi bakso dan kawan-kawannya. Ibu Aming belajar dari sejarah dan international statistic bahwa mi goreng adalah hidangan yang paling sering muncul dalam perjamuan makan. Plus: dalam keadaan mepet, budget terbatas dan kurang tenaga, menghidangkan mi goreng adalah paling reliable. Ibu Aming bahkan sudah menyiapkan bukan cuma mi, tapi juga minyaknya, telurnya, baksonya dan sayurnya - ngga mau dibayar.

Tante Tuty mengusulkan masak gado-gado saja. Kata Tante Tuty, ‘Gado-gado mengandung banyak serat jadi sehat.’ Tante Tuty ini ahli diet makanan, dokter kecantikan, dan satu lagi dia punya kebun sayuran di halaman belakang rumah. Tante Tuty juga punya alasan yang sah: secara medis mengkonsumsi sayur-mayur itu sehat: pencernaan jadi lancar, kulit lebih mulus dan wajah awet muda, pokoknya sehat prima. Tante Tuty pinter banget: maklum doctor dokter, lulusan S-Tiga dari luar negeri – wuih...reputasinya mendunia. Tante Tuty bukan asbun (asal bunyi), dia rela lho nyumbang tiga bakul gado-gado free, fresh dan organic dari kebun belakang rumahnya.

Nyonya Otong juga tidak mau kalah, tapi dia bingung mau usul apa. Mau usul rendang, ngga bisa masaknya. Mau usul sapi lada hitam, ngga doyan pedes. Mau usul gule kambing, takut darah tinggi. Ujung-ujungnya usul ayam panggang yang udah siap saji aja deh, eh.....dompetnya seret. 

Jangan main-main lho, Nyonya Otong adalah orang yang sangat penting di gereja. Nyonya Otong adalah istri pendeta Otong. Kata orang kalau tuan itu ibarat kepala, nyonya itu ibarat leher. Nyonya Otong mikir, ‘Ngga mau ah kalah sama dokter kecantikan, soalnya biarpun pinter, Tante Tuty ngga hafal Doa Bapa Kami.’  ‘Apalagi kalah sama pedagang mi, malu ah....meski kaya, kalau disuru baca Injil Matius, dia selalu cari di Perjanjian Lama.’

Nyonya Otong ini menderita penyakit akut yang namanya nggamaukalahngitis - yang di dalam ejaan yang disempurnakan disebut: merasapalingbenarngitis. Nyonya Otong tidak melakukan tinjauan historis dan matematis seperti Ibu Aming, dan ia juga (maaf) tidak menggunakan akal dan kerelaan untuk berkorban seperti Tante Tuty. Motif hidup Nyonya Otong sederhana sekali: ngga mau kalah dan ngga mau ngalah. Tujuan hidupnya juga sederhana sekali: menjadi yang lebih benar atau paling benar. Dan jangan lupa, motif serta tujuan Nyonya Otong ini dibalut oleh sikap (attitude) yang minimalis alias pelit dan tidak mau berkorban.

Tidak mau kalah, tidak mau ngalah, mau jadi yang paling benar, merasa lebih benar dari orang lain, pelit dan tidak mau berkorban adalah kombinasi sikap manusia yang mengerikan. Kombinasi dari motif-motif tersebut di atas adalah musuh utama dari apa yang kita kenal dengan kerendahan hati.