Wednesday, 7 December 2011

TIDAK TAKUT KABAR CELAKA (MAZMUR 112.7) #7

Saya bertanya, ‘Dari mana sumber dari hati yang tetap serta kepercayaan yang penuh kepada Tuhan itu berasal?’ Ketika saya mengajukan pertanyaan tersebut, saya sungguh-sungguh tidak tahu jawabannya. Sekarang setidaknya saya menemukan beberapa titik cerah untuk menjawabnya.

Pertama, kepercayaan kita kepada Tuhan adalah semata-mata karena anugerah-Nya – saya pikir tidak ada yang menyangkal kebenaran ini. Bahkan untuk dapat percaya kepada Tuhanpun, nampaknya kita memerlukan anugerah dan kekuatan ilahi. Kita tidak memiliki jasa apapun dalam bisnis 'percaya kepada Tuhan.'

Kedua, hati yang tetap dan kepercayaan yang penuh itu lahir dari hidup yang takut akan Tuhan dan mencintai perintah-Nya (Mazmur 112.1). Mengapa kita tidak bergeser dari iman dan percaya kita kepada Tuhan? Jawaban yang benar dan logis adalah karena kita hidup takut akan Tuhan (tidak sama dengan takut kepada monster) dan mencintai perintah-Nya. 

Dengan kata lain, hidup yang takut akan Tuhan dan menyukai perintah-Nya melahirkan komitmen untuk percaya kepada Tuhan dengan hati yang tidak goyah. Komitmen ini bukan karena keterpaksaan, tetapi lahir karena pengalaman menakjubkan dari sebuah kehidupan yang sepenuhnya berpusatkan kepada Tuhan - yaitu hidup di dalam perlindungan tangan Tuhan yang perkasa.

Jika demikian, Mazmur 112 (secara keseluruhan), khususnya ayat yang ke-tujuh adalah sebuah janji Tuhan bagi orang-orang yang takut akan Tuhan dan hidup menyukai perintah Tuhan. Janji tersebut berasal dari Tuhan sendiri. Dan Tuhan pula yang menganugerahkan kekuatan kepada kita untuk tetap setia dan percaya kepada-Nya dan kepada janji-Nya. Tugas kita adalah mengobarkan komitmen diri untuk hidup benar di dalam takut akan Tuhan dan menurut panduan firman-Nya.

Lalu, di mana sengat dari sebuah ‘kabar celaka’? Jawabnya sederhana: Ketika Tuhan dan firman-Nya menjadi pusat dari kehidupan kita, maka takut kepada ‘kabar celaka’ tidak lagi memiliki tempat (nowhere/out of context) dan sengat. Singkatnya, hidup yang takut akan Tuhan (serta mencintai perintah-Nya) dan takut kepada ‘kabar celaka’ adalah incompatible.

TIDAK TAKUT KABAR CELAKA (MAZMUR 112.7) #6


Apakah yang dimaksud dengan ‘penuh kepercayaan kepada Tuhan’? (NIV: Trusting in the Lord; NRSV: Secure in the Lord). ‘Percaya’ adalah contoh kata kerja yang nampak aktif, namun juga pasif. Kata ‘percaya’ bermakna sebuah keputusan untuk mempercayakan diri kepada sesuatu atau seseorang. Subyek yang lebih aktif dan lebih kuat adalah pihak yang dipercayai, bukan pihak yang percaya. Terjemahan NRSV memperlihatkan nuansa pasif yang kuat dari sebuah tindakan ‘mempercayakan diri’ (secure in the Lord).

Di dalam Mazmur 112.7, pihak yang percaya mengambil sebuah keputusan untuk menyerahkan diri kepada Tuhan. Selebihnya Tuhan yang akan melindungi hidup orang tersebut.  Apakah orang yang percaya kepada Tuhan tidak dapat tersentuh bencana dan malapetaka? Mazmur 112 tidak menjanjikan hal tersebut. Mazmur 112 berjanji bahwa orang yang percaya penuh kepada Tuhan seharusnya tidak akan memiliki rasa takut terhadap kabar celaka.

Saya tidak mengatakan bahwa seseorang yang percaya kepada Tuhan lantas tidak perlu berbuat apa-apa. Saya inginmengatakan bahwa seseorang yang percaya kepada Tuhan hidup mengandalkan Tuhan, dan menemukan keamanan di dalam perlindungan serta kekuatan Tuhan. Perlindungan dan keamanan tidak bergantung kepada kepandaian, otot, kekuatan senjata dan banyaknya harta yang kita miliki. Bagi orang percaya, hanya Tuhanlah tempat perlindungan yang sejati, dimana kita sungguh-sungguh aman – lebih dari sekedar merasa aman.

Mengapa kita perlu mempercayakan diri kepada Tuhan dan hidup mengandalkan kekuatan serta kasih karunia-Nya? Pertama, kita adalah makhluk yang lemah dan terbatas – dan Tuhan adalah Allah yang kuat dan perkasa. Mengandalkan kekuatan dan kepandaian diri sendiri menjerumuskan kita di dalam berbagai kecelakaan. Otak mungkin penuh, tetapi hikmat datang dari Tuhan. Mata dan telinga ada, namun kemampuan untuk melihat dan mendengar dengan tajam berasal dari Tuhan saja (Roma 11.8; cf. Ulangan 29.4). 

Beberapa waktu yang lalu, bersama seorang teman, saya menikmati sebuah permainan musik yang sangat bagus mutunya. Kata teman saya (yang juga pemain musik), ‘Itu gitar yang dipakai harganya tiga ribu dollar lho!’ Saya mengatakan kepadanya, meskipun saya ini bukan orang kaya, sepertinya saya bisa beli gitar yang harganya tiga ribu dollar – yang lima ribu dollar juga bisa. Tapi meskipun saya bisa memiliki gitar itu, saya tidak bisa memainkannya. Meskipun semua harta saya jual, saya tetap tidak bisa memainkan gitar tersebut dengan baik. Kisah ini dengan sederhana mengatakan bahwa ada bagian-bagian di dalam kehidupan yang tidak terbeli oleh kekayaan dan kekuatan kita sendiri.

Kedua, sebaik-baiknya kita membuat rencana, semua yang telah disiapkan dengan baik dan rapi dapat berubah menjadi bencana dan celaka (Roma 11.9; cf. Mazmur 69.23). Kita perlu melibatkan Tuhan dan menaruh kepercayaan kita secara penuh kepada-Nya. Bukankah rencana Tuhan berbeda dengan rencana manusia? – katanya sejauh bumi dari langit. 

Apakah kapal Titanic yang tersohor itu kapal kualitas murahan? Tidak! Kapal tersebut dibangun dengan teknologi yang paling canggih untuk jaman itu: sangat kokoh dan kuat. Tapi apa boleh buat: kekuatan kapal buatan manusia itu dirobek oleh gunung es mengapung yang made in God.

Ketiga, kekuatan manusia satu saat akan melemah dan habis (Roma 11.10; cf. Mazmur 69.24). Mata yang terang satu saat mengantuk. Otot yang kuat suatu hari menjadi lemah. Telinga yang tajam, pada saatnya menjadi kurang mendengar. Mempercayakan diri kepada Tuhan yang perkasa dan tidak pernah lelah adalah menjaminkan diri kepada Tuhan yang kekuatannya tidak pernah habis. Meskipun kekuatan manusia alamiahnya berkurang, di dalam percaya kepada Tuhan ada keamanan yang sejati. 

Waktu masih kanak-kanak, orangtua menggandeng kita menyeberang jalan. Waktu dewasa, kita mampu menyeberang jalan sendiri. Dan pada saat lanjut usia, anak-anak menggandeng kita menyeberang jalan yang sama. Hidup manusia mengalami siklus: dari lemah menjadi kuat, dan kembali lemah – namun kekuatan Tuhan perkasa selamanya.

Kembali kepada Mazmur 112.7, percaya penuh kepada Tuhan menjadikan Tuhan sebagai sumber keamanan dan perlindungan –  Ia yang perkasa yang akan melindungi dan menyelamatkan kita. ‘Kabar celaka’ boleh datang silih berganti, namun keamanan dan perlindungan ada di dalam tangan Tuhan yang penuh kasih dan yang lebih kuat dari segala jenis kabar celaka. Maukah kita mulai saat ini mempercayakan hidup kita di dalam naungan tangan Tuhan yang kuat dan perkasa?

Monday, 5 December 2011

TIDAK TAKUT KABAR CELAKA (MAZMUR 112.7) #5

Orang yang takut akan Tuhan dan sangat menyukai perintah-perintah Tuhan memiliki hati yang tetap (Mazmur 112.7; NRSV: firm; NIV: steadfast). Firm mengandung pengertian kokoh dan mantap. Steadfast mengandung pengertian stabil dan tidak mudah goyah. Kedua kosa kata bahasa Inggris yang dipakai menunjukkan kualitas orang yang takut akan Tuhan yang kokoh, kuat dan tidak tergoyahkan – demikianlah juga segala firman dan janji-janji-Nya tidak pernah berubah.

Sebenarnya ketika kita sedang takut kepada sesuatu (apapun itu – misalnya ‘takut pada kabar celaka’) yang bukan Tuhan, kita sedang membuat Tuhan cemburu, karena seolah-olah kita kurang percaya kepada keukatan dan kuasa Tuhan. Oleh karenanya pemazmur dengan tepat mengatakan bahwa hanya orang-orang yang hatinya tidak bergeser dari kepercayaannya kepada Tuhan, merekalah yang tidak takut akan ‘kabar celaka.’ 

Jika kuasa Tuhan digambarkan sebagai ujung kiri dari sebuah penggaris yang dimulai dengan angka Nol (0), dan ‘kabar celaka’ diumpamakan ujung kanan dari penggaris tersebut yang menunjukkan angka 30, maka kita dapat menyimpulkan beberapa hal: (1) Semakin kita bergerak ke kanan, semakin kita jauh dari takut akan Tuhan dan semakin kita mudah terintimidasi oleh kabar celaka; (2) Semakin kita ke kiri, kita semakin dekat dengan hidup yang takut akan Tuhan, namun ini tidak cukup, karena yang disyaratkan oleh Mazmur 112.7 adalah (3) hati yang tetap, yaitu posisi yang tidak bergeser dari angka Nol (0) – suatu kepercayaan yang PENUH.

Sekarang, kita perlu bertanya, apa yang kira-kira dapat menyebabkan kita bergerak dari angka Nol menuju ke kanan? Jawabannya banyak sekali, namun empat sebab yang pokok adalah, pertama menjauhi firman-Nya. Firman Tuhan itu seperti tali yang mengikat relasi kita dengan Tuhan. Ketika kita mencintai Tuhan, kita selalu ingin mendengarkan firman-Nya. Ketika kita mulai lalai membaca firman Tuhan, hati-hati: jangan-jangan sudah ada kekasih yang lain! Jika firman Tuhan dilupakan, tali itu merenggang dan bisa lepas – hubungan dengan Tuhan menjadi jauh karena melalaikan firman-Nya. 

Kedua, terjerat oleh dosa. Kalau firman Tuhan itu seperti tali yang mengikat, dosa itu seperti pisau yang memutuskan hubungan kita dengan Tuhan. Tuhan itu suci dan tidak tahan kepada dosa. Jika kita aktif bersekutu dengan dosa, kita tidak dapat pada saat yang sama aktif bersekutu dengan Tuhan. Dosa menjauhkan kita dari Tuhan.

Ketiga, hati yang sombong dan tidak bergantung pada Tuhan. Ketika kesombongan diberi peluang untuk bertumbuh, maka hasilnya adalah hidup yang mengandalkan otot dan kekuatan sendiri. Dan semua kita tahu bahwa mengandalkan kekuatan kita sendiri tidak sejalan dengan mengandalkan kekuatan Tuhan. Karenanya kesombongan memisahkan kita dari Tuhan. 

Keempat, kekuatiran juga menjauhkan kita dari Tuhan. Kekuatiran adalah salah satu bentuk penyembahan berhala yang dari sejak ‘Jaman Baheula’ hingga hari ini tetap eksis dan ‘punya gigi.’ Ketika kita kuatir, kita meremehkan Tuhan. Ketika kita kuatir, kita tidak percaya kepada Tuhan. Ketika kita kuatir kita sedang hidup di bawah belenggu intimidasi dari pihak yang tidak berasal dari Tuhan.

Jika demikian, bagaimana caranya untuk hidup dengan hati yang tetap melekat kepada Tuhan? Hiduplah di dalam terang firman Tuhan! Bencilah dosa! Jauhi kesombongan! Serahkan segala kekuatiran kepada Tuhan! Dijamin halal: TIDAK AKAN TAKUT KEPADA KABAR CELAKA.

TIDAK TAKUT KABAR CELAKA (MAZMUR 112.7) #4


Pepatah mengatakan, ‘Tidak ada asap jika tidak ada api.’ Sebuah kabar, baik itu yang sukacita maupun yang celaka, selalu ada sumbernya dan sudah pasti ada yang memberitakannya. Dari manakah sumber dan datangnya ‘kabar celaka’?

Kemungkinan yang pertama dan nyata tentunya kabar celaka itu datang dari musuh kita. Jika suatu bangsa yang besar mengancam untuk menyerang suatu bangsa yang kecil, maka ancaman tersebut adalah kabar celaka bagi bangsa yang kecil tersebut. Jika seorang yang membenci kita mengancam untuk melukai atau membunuh kita, maka ancaman tersebut adalah kabar celaka bagi kita. Karena Israel adalah sebuah bangsa yang kecil yang dikelilingi oleh bangsa-bangsa yang secara manusia lebih kuat, maka ‘kabar celaka’ bukanlah sesuatu yang terlalu aneh bagi mereka. Dan karena menjadi pengikut Tuhan Yesus memang tidak disukai oleh dunia ini, maka ‘kabar celaka’ juga seharusnya tidak menjadi sesuatu yang terlalu mengagetkan. Tentu saja kita tidak mencari-cari atau mengharapkan ‘kabar celaka’ – sebaliknya kita memerlukan hikmat untuk dapat tetap berdiri teguh meskipun ancaman demi ancaman disampaikan oleh orang-orang yang berusaha untuk melukai kita.

Kemungkinan yang kedua yang tidak jarang terjadi adalah bahwa kabar celaka itu datang justru dari orang yang dekat dengan kita, misalnya teman, sahabat, anggota keluarga, suami, istri dan lain sebagainya. Biasanya ‘kabar celaka’ yang disampaikan oleh orang-orang yang dekat dan mengasihi kita telah mengalami perubahan bentuk: dari sebuah ‘KABAR CELAKA’ menjadi sebuah ‘KEKUATIRAN.’ Perhatikan kebenaran ini: Sering kekuatiran merusak hidup kita lebih parah dibandingkan ‘kabar celaka’ itu sendiri.

Beberapa tahun yang lalu saya menyaksikan dan mengalami sendiri bagaimana dua orang Kristen yang dewasa bersikap berbeda terhadap sebuah krisis. Si Agus (bukan nama sebenarnya), dengan cermat dan terinci menjelaskan krisis yang terjadi. Secara jujur, penjelasannya sangat baik dan membuka mata banyak orang akan kesulitan-kesulitan yang diakibatkan oleh krisis tersebut. Meskipun Agus tidak memiliki maksud yang buruk ketika ia menyampaikan penjelasan mengenai krisis yang terjadi, namun para pendengarnya menjadi lemah lunglai setelah mendengarkan penjelasan Agus. Para pendengar menyadari bahwa ternyata krisis yang sedang terjadi itu sedemikian besarnya dan sedemikian membahayakannya. Dan celakanya para pendengarnya menjadi orang-orang yang ‘kalah sebelum bertanding.’ Mereka menjadi lesu karena merasa bahwa dirinya sangat kecil dan tidak berdaya dibandingkan dengan krisis yang besar itu.

Budi (bukan nama sebenarnya) adalah juga seorang pemimpin Kristen. Ia juga menjelaskan mengenai krisis yang terjadi. Memang tidak sebaik dan seteliti Agus. Namun Budi memiliki misi untuk membangun pendengarnya supaya tetap kuat dan maju di tengah badai yang terjadi. Bagi pendengarnya, Budi membawa kabar baik, meskipun badai dan celaka sedang berlangsung. Sebaliknya, Agus adalah pembawa kabar buruk di tengah badai yang memang sedang menghantam. Saya tidak ingin mengatakan bahwa Budi lebih baik dari Agus. Saya hanya ingin mengatakan bahwa seorang yang baik dan dengan maksud baik juga dapat menjadi sumber ‘kabar celaka.’

Jika kita biasa hidup di dalam komunitas gereja, barangkali banyak anggota gereja yang sering menjadi ‘pembawa kabar celaka.’ Mereka (semoga saja) tidak memiliki maksud buruk – mereka hanya ingin menyatakan dan menginformasikan keprihatinan, krisis, masalah yang dihadapi dan sejenisnya. Sayangnya hanya sedikit saja yang setelah menyatakan tentang sebuah krisis atau masalah, memberikan semangat orang untuk bertahan teguh dan menang melawan krisis yang sedang terjadi. Di dalam keluarga kita masing-masing, hal seperti ini juga sering terjadi bukan?

Yang ketiga, ‘kabar celaka’ juga bisa datang dari lembaga yang memiliki otoritas tertentu. Misalnya, jika seorang terdakwa sedang mendengarkan vonis dari seorang hakim, sesungguhnya ia sedang menanti-nantikan sebuah kabar. Kabar tersebut dapat berupa kabar yang baik maupun yang buruk. Kita tidak dapat berbuat apa-apa, kecuali menerima keputusan itu atau naik banding. Naik bandingpun ada batasnya. Jika hingga tingkat yang terakhir memang kita dinyatakan bersalah, maka kita harus menanggung hukuman yang diberikan. Di dalam hal ini pengadilan tidak membenci kita, tetapi bertugas untuk menyatakan keadilan.

Contoh lainnya, sebuah sekolah yang memutuskan untuk tidak menaikkan seorang murid ke kelas yang lebih tinggi tentu tidak mengambil keputusan tersebut karena rasa benci terhadap murid itu. Keputusan untuk tidak menaikkan kelas diambil karena prestasi dan kemampuan murid tersebut dianggap kurang untuk jenjang kelas yang lebih tinggi. Di dalam kedua contoh ini, entah itu si terdakwa ataupun si murid harus menanggung konsekuensi yang harus dilaluinya. Jika kedua orang ini memahami bahwa sanksi atau hukuman yang diberikan adalah untuk menolong mereka menjadi manusia yang lebih baik, maka mereka dapat melewat kabar celaka ini sebagai suatu proses transformasi menuju kabar sukacita.

Jangan lupa: ‘kabar celaka’ bukan saja bisa datang dari pengadilan maupun dari sekolah, tetapi juga bisa datang dari Tuhan. Tiada respon yang lebih tepat selain bertobat dan meminta kasih sayang Tuhan. Kisah Yunus dan bangsa Niniwe adalah contoh yang amat sangat jelas mengenai pertobatan suatu bangsa karena mendengar kabar celaka yang disampaikan oleh nabi Yunus. Di dalam 2 Samuel 24.10-14, Tuhan murka kepada Daud, karenanya hukuman telah siap untuk dijalankan. Tidak seperti biasanya, Tuhan mempersilakan Daud untuk memilih satu di antara tiga kemungkinan hukuman. Jawab Daud di dalam ayat ke-14 menunjukkan bagaimana di dalam situasi seperti itu, ia hanya berharap pada kasih saying Tuhan saja.

Mazmur 112.7 kemungkinan besar berbicara mengenai ‘kabar celaka’ yang sumbernya adalah musuh-musuh Israel (dalam konteks sebuah bangsa), atau orang-orang yang ingin menyakiti kita (dalam konteks hubungan antar individu). Jika kita hidup takut akan Tuhan, kita tidak perlu takut dan terintimidasi oleh kabar celaka yang seperti itu. Kita perlu waspada: Ya. Kita perlu berhikmat: Ya. Kita perlu bergantung kepada Tuhan: Ya. Kita perlu takut: TIDAK.

Kemungkinan kedua, Mazmur 112 juga berbicara mengenai ‘kabar celaka’ yang dibawa oleh orang-orang yang dekat dan mengasihi kita. Sekali lagi, jika kita hidup takut akan Tuhan, kita juga tidak perlu takut dan terintimidasi oleh segala macam kekuatiran yang dapat merusak hidup kita lebih parah dari ‘kabar celaka’ itu sendiri.

Dan kalaupun seandainya Mazmur 112 juga menekankan mengenai ‘kabar celaka’ dari otoritas yang lebih tinggi atau dari Tuhan (menurut saya bukan itu yang dimaksud oleh pemazmur), maka respon yang terbaik bukanlah ‘takut’ – tetapi bertobat seperti Niniwe dan bergantung pada kasih sayang Tuhan seperti Daud (2 Samuel 24.10-14).

Saturday, 3 December 2011

TIDAK TAKUT KABAR CELAKA (MAZMUR 112.7) #3

Suatu hari seorang pria setengah baya bersaksi di depan gereja. Berkali-kali ia mengatakan ‘Puji Tuhan’ – pasalnya ia terhindar dari sebuah kecelekaan pesawat yang menewaskan semua penumpangnya. Apa yang terjadi? Ternyata ia tertahan macet di jalan, sehingga ditinggal pesawat naas tersebut. Pembaca boleh percaya, boleh tidak: Di depan gereja, pria ini berteriak ‘Haleluya’ – di dalam taksi yang ditumpanginya, ia mengomel tiada henti karena takut ditinggal pesawat. Tentu bagi pria ini, kemacetan di jalan adalah kabar buruk. Namun demikian, terhindar dari kecelakaan pesawat adalah kabar baik. Bagi ratusan keluarga korban, kecelakaan pesawat tersebut adalah kabar celaka. 
 
Tiga bulan kemudian, terjadilah kebakaran hebat di pabrik yang dimiliki pria ini. Habislah hartanya dan menumpuklah hutangnya. Di hadapan pak pendeta, pria ini mengatakan, seandainya saya mati di dalam kecelakaan pesawat tersebut, pasti nasib saya tidak secelaka seperti sekarang ini. Kisah fiksi di atas menunjukkan betapa manusia itu rentan adanya.

Pertama, ‘kabar celaka’ belum tentu benar. Ingatlah bahwa kita hidup di dalam milenium yang mengenali dan mengakui betapa hebat dan berkuasanya sebuah gosip! Jadi jika kepada ‘kabar celaka’ saja kita sudah takut, bagaimana nasib kita di dalam menghadapi celaka yang sebenarnya. Intinya, kita diminta untuk bukan saja berhati-hati di dalam berbicara, tetapi juga berhati-hati di dalam mendengar. Salah satu celaka yang paling celaka adalah menganggap kabar yang belum teruji sebagai suatu kebenaran. Karenanya, ujilah dan saringlah semua yang masuk melalui lubang pendengaran kita, sebelum kita menyebarluaskannya – sesuai dengan hobby kita sebagai gossiper. Bukankah kita selalu 'berambisi' dan bangga menjadi yang pertama tahu, meski untuk kabar bohong sekalipun?

Kedua, sebuah kabar dapat menjadi ‘kabar celaka’ karena ditafsirkan sedemikian rupa oleh kelompok-kelompok tertentu. Misalnya, jika malam ini pemerintah mengumumkan kenaikan harga bahan bakar solar dari 7,000 IDR menjadi 8,000 IDR, apakah berita ini adalah sebuah ‘kabar celaka’? Jawabannya: tergantung siapa yang menafsirkan dan bagaimana menafsirkannya. Karenanya kita diminta untuk berhati-hati di dalam menafsirkan sebuah berita. Tafsirkanlah itu sesuai dengan konteks dimana berita tersebut disampaikan, dan perhatikanlah dari kepentingan mana berita itu dibuat. Kalau seorang pengusaha dengan logat Jawa, berkata, 'Wah mati aku, rego solar kog mundag terus!' - apakah ini sebuah 'kabar celaka'? Mungkin tidak. Pertama, ia tidak mati, meskipun ia mengatakan 'mati aku.' Kedua usahanya maju terus dan bahkan mungkin menghasilkan keuntungan yang lebih besar lagi.

Ketiga, sebuah ‘kabar celaka’ bagi seseorang belum tentu sebuah ‘kabar celaka’ bagi orang lain. Seperti pria di atas, ‘kabar celaka’ dihubungkan dengan untung rugi dirinya sendiri. Pria ini tidak pernah memikirkan nasib keluarga korban kecelakaan pesawat naas tadi. Ia juga cuek dengan buruh-buruh pabriknya yang kehilangan pekerjaan dan mungkin menderita luka-luka bakar yang menyakitkan. Karenanya kita perlu berhati-hati di dalam menilai dan memutuskan bahwa sebuah kabar itu sungguh-sungguh merupakan ‘kabar celaka’ – atau sesungguhnya kita sedang menonjolkan egoisme pribadi dan mengekspos perasaan mengasihani diri sendiri secara berlebihan. Bagi pemazmur, sebuah 'kabar celaka' lebih dari sekedar emosi sesaat dan perasaan sentimentil belaka.

Keempat dan inilah yang semestinya dimaksudkan oleh penulis Mazmur 112,  sebuah ‘kabar celaka’ yang benar adalah bukan sekedar kabar, namun benar-benar sebuah kecelakaan. Maksud saya: ‘kabar celaka’ yang dimaksudkan oleh pemazmur bukanlah sebuah kabar yang hanya membuat orang lain sedih, terancam dan terluka, tetapi sebuah kabar yang membuat dirinya sendiri pedih, terancam dan terluka. Mazmur 112.7 mengindikasikan bahwa ‘kabar celaka’ yang dimaksud memiliki daya ancam, daya intimidasi, daya menakut-nakuti, daya membunuh, daya menyakiti, daya merusak, daya menghancurkan – Itu sebabnya janji Tuhan mengatakan bahwa orang yang ‘TAKUT akan Tuhan pasti tidak TAKUT akan kepada kabar celaka.’

‘Kabar celaka’ itu sesuatu yang kita alami – dan lebih dari sekedar kabar yang kita dengarkan saja. Namun demikian, ada satu obat yang mujarab untuk melawan ‘kabar celaka.’ Obat itu adalah ‘hidup takut akan Tuhan’ yang menjanjikan sebuah KABAR BAIK: Tuhan tidak mengancam, Ia menghibur; Tuhan tidak mengintimidasi, Ia memulihkan; Tuhan tidak menakut-nakuti, Ia memberi kekuatan; Tuhan tidak memubunuh, Ia menghidupkan; Tuhan tidak menyakiti, Ia menyembuhkan; Tuhan tidak merusak, Ia memulihkan; Tuhan tidak menghancurkan, Ia membangun. Karenanya, orang-orang yang hidup di dalam takut akan Tuhan, tidak pernah takut akan ‘kabar celaka’ – does it make sense?

TIDAK TAKUT KABAR CELAKA (MAZMUR 112.7) #2

‘Tidak takut’ adalah sebuah ungkapan yang biasanya melukiskan sebuah keputusan, dibandingkan gambaran dari sebuah insiden yang tidak direncanakan. Dengan kata lain, kelasi kapal yang terjun ke laut untuk menyelamatkan jiwa seorang penumpang yang hampir tenggelam tidak serta merta mengatakan bahwa kelasi tersebut tidak takut untuk terjun ke dalam laut yang bergelora. Ia terjun ke laut karena memang itu adalah bagian dari tugasnya. Ia terjun ke laut karena si korban mungkin adalah mertuanya sendiri – jadi ia sungkan kepada istrinya. Atau jangan-jangan sebenarnya ia tidak terjun ke laut, tetapi jatuh ke laut karena didorong orang? Intinya perasaan ‘tidak takut’ adalah sebuah keputusan yang bersifat lebih permanen dibandingkan dari sebuah insiden temporal. Contoh di atas diungkapkan dengan lebih baik oleh NIV: they will have no fear of bad news dibandingkan NRSV: They are not afraid of evil tidings.  

Pertama, di dalam Mazmur 112, ‘keputusan untuk tidak takut’ (penafsiran saya) bukanlah sekedar keputusan yang dibuat di atas dasar kekuatan manusia, tetapi sebuah keputusan yang lahir karena janji Tuhan kepada mereka yang takut akan Tuhan dan menyukai perintah-perintah-Nya. Jika demikian janji yang diberikan Tuhan tidak terbatas hanya pada perubahan perasaan semata: dari rasa takut menjadi rasa tidak takut. Janji Tuhan di dalam Mazmur 112 bahkan mengubah sesuatu yang lebih dalam di dalam diri manusia, yang melahirkan sebuah keputusan baru yang diambil secara sadar untuk ‘tidak akan takut’ di dalam mendengar ‘kabar celaka.’

Dalamnya janji ini demikian mengagumkan saya. Tuhan tidak mengubah perasaan. Jika Tuhan mengubah perasaan, maka sesungguhnya kita masih takut, tetapi Tuhan membius kita untuk menjadi tidak takut. Dengan kata lain, rasa ‘tidak takut’ yang kita miliki adalah palsu. Perasaan itu naik turun, komitmen itu steady. Yang diubah Tuhan adalah sebuah komitmen yang diambil secara sadar, yaitu komitmen untuk tidak merasa takut. Perubahan yang seperti ini tidak membatalkan kuasa dan anugerah Tuhan. Perubahan yang seperti ini menunjukkan bagaimana Tuhan bekerja di dalam diri manusia secara utuh. Dan lagi, perubahan yang seperti ini bersifat (lebih) permanen dan stabil – no return!

Kedua, ada baiknya kita memahami bahwa ‘tidak TAKUT kepada kabar celaka’ adalah janji yang diberikan kepada orang ‘yang TAKUT akan Tuhan.’ Takut akan Tuhan membuat kita tidak takut kepada kabar celaka. Jika ‘takut kita kepada Tuhan’ adalah sebuah keputusan dan komitmen yang sungguh-sungguh, maka janji untuk ‘tidak takut kepada kabar celaka’ juga bersifat langgeng. Kedua aspek ini: ‘komitmen untuk tidak takut kepada kabar celaka’ dan ‘komitmen untuk takut akan Tuhan’ berbanding lurus. Semakin kita hidup takut akan Tuhan, semakin kita tidak takut kepada kabar secelaka apapun itu.

Ketiga, pemazmur sebenarnya ingin mengatakan bahwa seburuk apapun sebuah kabar celaka yang kita dengar atau bahkan yang kita alami sendiri, nasib orang-orang yang hidup takut akan Tuhan itu masih lebih baik. Karenanya, bagi orang-orang yang hidupnya takut akan Tuhan, tidak ada lagi yang perlu ditakutkan dan dikuatirkan di dalam dunia ini. Kita adalah orang-orang yang lebih dari pemenang (Roma 8.37). ‘Hidup takut akan Tuhan’ itu sendiri bukanlah lahir dari kekuatan kita, tetapi sesungguh-sungguhnya dan semata-mata adalah anugerah dan kasih karunia Tuhan (Roma 11.5-6). Di atas dasar kebenaran inilah, ‘rasa takut kepada kabar celaka’ menjadi tidak lagi masuk di akal – dan tidak lagi masuk di iman. Haleluya!!!

TIDAK TAKUT KABAR CELAKA (MAZMUR 112.7) #1

Salah satu ayat Alkitab favorit bagi banyak orang Kristen adalah Mazmur 112.7, yang berbunyi demikian: ‘Ia tidak takut kepada kabar celaka, hatinya tetap, penuh kepercayaan kepada Tuhan’ (They are not afraid of evil tidings; their hearts are firm, secure in the Lord – NRSV;  They will have no fear of bad news; their hearts are steadfast, trusting in the LORD – NIV).

Beberapa hari terakhir ini saya terus menerus memikirkan kata-kata Pemazmur tersebut. Dan seketika itu juga, munculah pertanyaan-pertanyaan yang tidak terkendali. (1) Siapakah ‘ia’ yang dimaksud di dalam Mazmur 112? (2) Apakah yang dimaksudkan dengan ‘tidak takut’? (3) Apakah yang dimaksud dengan ‘kabar celaka’? (4) Karena ini adalah sebuah kabar, maka dari mana sumber beritanya? (5) Apa yang dimaksud dengan ‘hati yang tetap’? (6) Apakah arti ‘percaya kepada Tuhan’? (7) Yang terakhir, jika ‘kabar celaka’ itu ada sumber beritanya, maka apakah yang menjadi sumber dari ‘hati yang tetap’ dan ‘kepercayaan penuh kepada Tuhan’?

Posting kali ini membahas hanya pertanyaan pertama saja. Pertanyaan-pertanyaan selanjutnya dijawab di dalam posting-posting berikutnya untuk menjaga supaya setiap posting tidak terlalu panjang.

Pertama, Mazmur 112 adalah sebuah nyanyian yang berisi janji-janji bagi ‘orang yang takut akan Tuhan, yang sangat suka kepada segala perintah-Nya’ (ay. 1) – alias – orang yang tidak fasik (baca: jahat, melawan Tuhan; ay. 10). Janji-janji di dalam Mazmur 112 tidak diberikan kepada pendeta, penginjil, guru Kristen, pemimpin pujian di gereja, ketua sinode, pemimpin agama dan bentuk-bentuk lain dari profesi kerohanian. Janji-janji Tuhan di dalam Mazmur 112 tidak diberikan berdasarkan profesi/posisi seseorang. Janji-janji yang luar biasa ini diberikan kepada orang-orang yang memiliki komitmen untuk ‘hidup takut akan Tuhan dan mencintai segala perintah-Nya.’ Pemazmur tidak ingin mengabaikan pentingnya profesi/posisi seseorang, namun demikian ia ingin menekankan betapa lebih pentingnya sebuah komitmen dibandingkan dengan segala posisi, profesi, gelar dan jabatan. Toh di hadapan Tuhan seorang jenderal tidak selalu lebih penting dibandingkan seorang kopral – dan dengan nada suara yang sama, pendeta tidaklah harus lebih penting dibandingkan dengan tukang sapu gereja, sekali lagi: di hadapan Tuhan.

Kedua, apakah yang dimaksud dengan komitmen untuk takut akan Tuhan dan menyukai segala perintah-Nya? Mazmur 112 padat dengan kosa kata yang dapat dikelompokkan sebagai berikut (NRSV): (1) righteousness, righteous, upright (ay. 2, 3, 4, 6, 9); (2) justice, gracious, merciful, generous, giving freely to the poor (ay. 4, 5, 9).

Kelompok kosa kata yang pertama memiliki fokus pada kehidupan yang benar. Kebenaran adalah sebuah standar moral yang tidak dapat dibantah. Bagi pemazmur, dan demikian juga bagi orang Kristen, standar moral ditetapkan berdasarkan perintah-perintah Tuhan. Kepemimpinan yang paling berbahaya adalah kepemimpinan yang tanpa moralitas. Gereja yang paling berbahaya adalah gereja yang tidak menegakkan moralitas. Dan iman yang paling berbahaya adalah iman yang tidak disertai dengan moralitas.  Berbeda dengan etika, moralitas tidak dapat ditawar dengan apapun juga. Moral is moral; immoral is immoral. Moralitas berbicara mengenai kesucian hidup, yaitu bagaimana hidup kita dapat memenuhi/mendekati standar kebenaran yang telah ditetapkan Tuhan.

Kelompok kosa kata yang kedua memiliki fokus pada keadilan dan belas kasihan kepada orang lain. Bagaimana sikap kita terhadap kaum yang lebih lemah? Jika kita seorang pengusaha, bagaimana kita memperlakukan karyawan kita? Jika kita orang yang cukup mampu, bagaimana tanggapan kita melihat orang-orang yang miskin, lemah, tidak berpendidikan, sakit, terpenjara dan terjerat dengan berbagai-bagai hutang? Mazmur 112 mengajarkan bahwa orang yang takut akan Tuhan dan mencintai perintah-Nya akan memperlakukan orang lain dengan kasih, kemurahan dan keadilan.

Jika demikian, dapatlah kita simpulkan bahwa janji-janji di dalam Mazmur 112 diperuntukkan bagi mereka yang takut akan Tuhan dan yang sangat suka dengan perintah-perintah-Nya, yaitu: (1) mereka yang hidup menjunjung tinggi moralitas/kesucian hidup, dan (2) mereka yang hidup menjunjung tinggi keadilan dan belas kasihan, terutama bagi kaum yang lebih lemah. Di dalam prinsip inilah tergambar sebuah kebenaran yang utuh: kebenaran hidup di hadapan Tuhan yang ditampilkan di dalam kasih kepada sesama manusia.

Kepada orang-orang seperti inilah, sebuah ‘kabar celaka’ bukanlah sebuah kabar yang menakutkan.