Pepatah mengatakan, ‘Tidak ada asap jika tidak ada api.’ Sebuah kabar, baik itu yang sukacita maupun yang celaka, selalu ada sumbernya dan sudah pasti ada yang memberitakannya. Dari manakah sumber dan datangnya ‘kabar celaka’?
Kemungkinan yang pertama dan nyata tentunya kabar celaka itu datang dari musuh kita. Jika suatu bangsa yang besar mengancam untuk menyerang suatu bangsa yang kecil, maka ancaman tersebut adalah kabar celaka bagi bangsa yang kecil tersebut. Jika seorang yang membenci kita mengancam untuk melukai atau membunuh kita, maka ancaman tersebut adalah kabar celaka bagi kita. Karena Israel adalah sebuah bangsa yang kecil yang dikelilingi oleh bangsa-bangsa yang secara manusia lebih kuat, maka ‘kabar celaka’ bukanlah sesuatu yang terlalu aneh bagi mereka. Dan karena menjadi pengikut Tuhan Yesus memang tidak disukai oleh dunia ini, maka ‘kabar celaka’ juga seharusnya tidak menjadi sesuatu yang terlalu mengagetkan. Tentu saja kita tidak mencari-cari atau mengharapkan ‘kabar celaka’ – sebaliknya kita memerlukan hikmat untuk dapat tetap berdiri teguh meskipun ancaman demi ancaman disampaikan oleh orang-orang yang berusaha untuk melukai kita.
Kemungkinan yang kedua yang tidak jarang terjadi adalah bahwa kabar celaka itu datang justru dari orang yang dekat dengan kita, misalnya teman, sahabat, anggota keluarga, suami, istri dan lain sebagainya. Biasanya ‘kabar celaka’ yang disampaikan oleh orang-orang yang dekat dan mengasihi kita telah mengalami perubahan bentuk: dari sebuah ‘KABAR CELAKA’ menjadi sebuah ‘KEKUATIRAN.’ Perhatikan kebenaran ini: Sering kekuatiran merusak hidup kita lebih parah dibandingkan ‘kabar celaka’ itu sendiri.
Beberapa tahun yang lalu saya menyaksikan dan mengalami sendiri bagaimana dua orang Kristen yang dewasa bersikap berbeda terhadap sebuah krisis. Si Agus (bukan nama sebenarnya), dengan cermat dan terinci menjelaskan krisis yang terjadi. Secara jujur, penjelasannya sangat baik dan membuka mata banyak orang akan kesulitan-kesulitan yang diakibatkan oleh krisis tersebut. Meskipun Agus tidak memiliki maksud yang buruk ketika ia menyampaikan penjelasan mengenai krisis yang terjadi, namun para pendengarnya menjadi lemah lunglai setelah mendengarkan penjelasan Agus. Para pendengar menyadari bahwa ternyata krisis yang sedang terjadi itu sedemikian besarnya dan sedemikian membahayakannya. Dan celakanya para pendengarnya menjadi orang-orang yang ‘kalah sebelum bertanding.’ Mereka menjadi lesu karena merasa bahwa dirinya sangat kecil dan tidak berdaya dibandingkan dengan krisis yang besar itu.
Budi (bukan nama sebenarnya) adalah juga seorang pemimpin Kristen. Ia juga menjelaskan mengenai krisis yang terjadi. Memang tidak sebaik dan seteliti Agus. Namun Budi memiliki misi untuk membangun pendengarnya supaya tetap kuat dan maju di tengah badai yang terjadi. Bagi pendengarnya, Budi membawa kabar baik, meskipun badai dan celaka sedang berlangsung. Sebaliknya, Agus adalah pembawa kabar buruk di tengah badai yang memang sedang menghantam. Saya tidak ingin mengatakan bahwa Budi lebih baik dari Agus. Saya hanya ingin mengatakan bahwa seorang yang baik dan dengan maksud baik juga dapat menjadi sumber ‘kabar celaka.’
Jika kita biasa hidup di dalam komunitas gereja, barangkali banyak anggota gereja yang sering menjadi ‘pembawa kabar celaka.’ Mereka (semoga saja) tidak memiliki maksud buruk – mereka hanya ingin menyatakan dan menginformasikan keprihatinan, krisis, masalah yang dihadapi dan sejenisnya. Sayangnya hanya sedikit saja yang setelah menyatakan tentang sebuah krisis atau masalah, memberikan semangat orang untuk bertahan teguh dan menang melawan krisis yang sedang terjadi. Di dalam keluarga kita masing-masing, hal seperti ini juga sering terjadi bukan?
Yang ketiga, ‘kabar celaka’ juga bisa datang dari lembaga yang memiliki otoritas tertentu. Misalnya, jika seorang terdakwa sedang mendengarkan vonis dari seorang hakim, sesungguhnya ia sedang menanti-nantikan sebuah kabar. Kabar tersebut dapat berupa kabar yang baik maupun yang buruk. Kita tidak dapat berbuat apa-apa, kecuali menerima keputusan itu atau naik banding. Naik bandingpun ada batasnya. Jika hingga tingkat yang terakhir memang kita dinyatakan bersalah, maka kita harus menanggung hukuman yang diberikan. Di dalam hal ini pengadilan tidak membenci kita, tetapi bertugas untuk menyatakan keadilan.
Contoh lainnya, sebuah sekolah yang memutuskan untuk tidak menaikkan seorang murid ke kelas yang lebih tinggi tentu tidak mengambil keputusan tersebut karena rasa benci terhadap murid itu. Keputusan untuk tidak menaikkan kelas diambil karena prestasi dan kemampuan murid tersebut dianggap kurang untuk jenjang kelas yang lebih tinggi. Di dalam kedua contoh ini, entah itu si terdakwa ataupun si murid harus menanggung konsekuensi yang harus dilaluinya. Jika kedua orang ini memahami bahwa sanksi atau hukuman yang diberikan adalah untuk menolong mereka menjadi manusia yang lebih baik, maka mereka dapat melewat kabar celaka ini sebagai suatu proses transformasi menuju kabar sukacita.
Jangan lupa: ‘kabar celaka’ bukan saja bisa datang dari pengadilan maupun dari sekolah, tetapi juga bisa datang dari Tuhan. Tiada respon yang lebih tepat selain bertobat dan meminta kasih sayang Tuhan. Kisah Yunus dan bangsa Niniwe adalah contoh yang amat sangat jelas mengenai pertobatan suatu bangsa karena mendengar kabar celaka yang disampaikan oleh nabi Yunus. Di dalam 2 Samuel 24.10-14, Tuhan murka kepada Daud, karenanya hukuman telah siap untuk dijalankan. Tidak seperti biasanya, Tuhan mempersilakan Daud untuk memilih satu di antara tiga kemungkinan hukuman. Jawab Daud di dalam ayat ke-14 menunjukkan bagaimana di dalam situasi seperti itu, ia hanya berharap pada kasih saying Tuhan saja.
Mazmur 112.7 kemungkinan besar berbicara mengenai ‘kabar celaka’ yang sumbernya adalah musuh-musuh Israel (dalam konteks sebuah bangsa), atau orang-orang yang ingin menyakiti kita (dalam konteks hubungan antar individu). Jika kita hidup takut akan Tuhan, kita tidak perlu takut dan terintimidasi oleh kabar celaka yang seperti itu. Kita perlu waspada: Ya. Kita perlu berhikmat: Ya. Kita perlu bergantung kepada Tuhan: Ya. Kita perlu takut: TIDAK.
Kemungkinan kedua, Mazmur 112 juga berbicara mengenai ‘kabar celaka’ yang dibawa oleh orang-orang yang dekat dan mengasihi kita. Sekali lagi, jika kita hidup takut akan Tuhan, kita juga tidak perlu takut dan terintimidasi oleh segala macam kekuatiran yang dapat merusak hidup kita lebih parah dari ‘kabar celaka’ itu sendiri.
Dan kalaupun seandainya Mazmur 112 juga menekankan mengenai ‘kabar celaka’ dari otoritas yang lebih tinggi atau dari Tuhan (menurut saya bukan itu yang dimaksud oleh pemazmur), maka respon yang terbaik bukanlah ‘takut’ – tetapi bertobat seperti Niniwe dan bergantung pada kasih sayang Tuhan seperti Daud (2 Samuel 24.10-14).