Di dalam suatu acara pemberkatan pernikahan kira-kira seperempat abad
yang lalu saya mendengarkan Kak Yer (Jerimia Rim) berkata di hadapan mempelai
dan tamu-tamu yang hadir: ‘Tuhan kita adalah Tuhan atas Perjanjian (baca: Covenant).’ Kata-kata itu mengawali
nasihat pernikahan bagi kedua mempelai yang berbahagia tersebut. Singkatnya,
Kak Yer menjelaskan bahwa pernikahan adalah sesungguhnya sebuah hubungan ikat
janji (covenant relationship). Pada
waktu itu saya tidak sadar bahwa covenant
relationship bukan saja menjadi dasar dari suatu hubungan pernikahan,
tetapi juga menjadi landasan utama dari Gereja Kristen Perjanjian Baru Masa
Depan Cerah yang lahir di kota Surabaya.
Beberapa pilar mendasar di dalam hubungan ikat janji adalah sebagai
berikut. Pertama, pilar utama dari
sebuah hubungan ikat janji adalah kasih tanpa syarat. Kasih yang bukan sekedar
perasaan, tetapi kasih yang berdasarkan sebuah keputusan yang diambil secara
sadar: ‘Aku memutuskan untuk mengasihimu tidak peduli apa keadaanmu di masa
lampau, dan apa yang akan terjadi padamu di masa mendatang.’ Kasih yang
demikian tidak pernah mundur (no point of
return). Di tengah perjalanan, kita bisa disakiti dan dilukai, namun kasih
yang tanpa syarat tidak pernah menyangkali dan membatalkan suatu hubungan yang
dilandasi oleh sebuah perjanjian.
Pilar kedua di dalam sebuah
hubungan ikat janji adalah kesetiaan dan kesetiakawanan. Salah satu perbedaan
mendasar antara kepemimpinan Kristen dan kepemimpinan ala dunia adalah di dalam
hal kesetiaan dan kesetiakawanan. Iman Kristen mengajar kita untuk menjadi
pemimpin yang berdiri bersama dengan mereka yang kita pimpin, sekalipun mereka lemah,
sakit dan tersingkir (ministry of
presence). Pemimpin duniawi sebaliknya meninggalkan segala sesuatu dan
siapa saja yang menghalangi dirinya untuk pencapaian diri dan ketenaran pribadi.
Pilar Ketiga bagi seseorang
yang terlibat di dalam sebuah hubungan ikat janji adalah tanggung-jawab seseorang
terhadap keputusan dan tindakan yang dilakukannya. Ketika seseorang memutuskan
untuk masuk di dalam sebuah hubungan ikat janji, entah itu dalam konteks
pernikahan ataupun jemaat, maka sejak saat itulah ia seharusnya sadar bahwa
apapun yang diputuskan dan dilakukannya tidak lagi berdampak bagi dirinya
sendiri tetapi juga bagi pihak-pihak lain yang terikat di dalam perjanjian
tersebut. Hubungan ikat janji mendorong kita untuk melakukan bukan saja yang
terbaik, tetapi juga yang membawa kebaikan, kemajuan, kesejahteraan dan keberhasilan bagi saudara-saudari seperjanjian. Semangat
yang demikian perlu dikembangkan.
Keempat, sebuah hubungan ikat
janji selalu didasarkan pada hati yang rela – bukan karena paksaan. Pernikahan
paksa bukan pernikahan alkitabiah. Menjadi anggota sebuah gereja karena dipaksa
atau karena terpaksa juga bukan sebuah kesaksian kristiani. Ketika kita masuk
ke dalam sebuah hubungan ikat janji – di dalam konteks keluarga besar Masa
Depan Cerah misalnya – kita merelakan diri kita menjadi bagian dari sebuah
keluarga. Kita merelakan diri untuk dibentuk dan dilebur di dalam sebuah
komunitas yang memiliki visi dan misi yang sama. Tanpa dipaksa, seluruh anggota
yang terlibat di dalam hubungan ikat janji berlari mengejar tujuan yang sama.
Tanpa dipaksa setiap anggota menyembuhkan saudara saudari yang terluka,
membantu mereka yang kesusahan, menopang mereka yang kelelahan, menghibur
mereka yang berduka – semuanya bukan karena dipaksa atau terpaksa, tetapi
karena sebuah kerelaan dan ketulusan. Jika seseorang menjadi bagian dari sebuah
relasi karena dipaksa, hidupnya akan dipenuhi oleh keluhan dan sungut-sungut.
Namun jika seseorang masuk ke dalam sebuah hubungan ikat
janji karena kerelaan, hidupnya akan dipenuhi semangat dan kerelaan untuk melayani
dan membangun sesamanya dan juga komunitas yang lebih luas.
Pilar terakhir dari sebuah
hubungan ikat janji adalah tanggung jawab untuk menumbuhkan dan mengembangkan
sebuah relasi yang sehat. Memutuskan untuk memasuki sebuah hubungan ikat janji
adalah sebuah keputusan yang sangat baik, namun permulaan yang baik tidak akan
menjadi lebih baik atau menjadi tetap baik, jika kita tidak membina dan
mengembangkannya. Seperti yang dikatakan oleh Paulus di dalam Efesus 4.3, 13,
kesatuan itu tidak pernah berakhir. Kita bertanggung jawab untuk memeliharanya
dan mengembangkannya ke tingkat-tingkat yang lebih tinggi. Di dalam konteks
pernikahan Kristen, hari pernikahan seharusnya bukanlah the happiest day in life. Jika hari pernikahan adalah saat paling
bahagia di dalam hidup ini, maka saya memilih untuk tidak menikah, Saya menikah
karena ada pengharapan bahwa hari-hari berikutnya akan menjadi lebih bahagia
lagi. Demikian pula menjadi bagian dari suatu jemaat yang diikat oleh
perjanjian, keputusan di awal seharusnya disertai dengan pengharapan akan
sukacita yang lebih besar di hari-hari mendatang. Namun demikian sukacita dan
kebahagiaan di hari depan tidak datang dengan sendirinya. Kita perlu mengusahakannya
dan bekerja keras mewujudkannya.
Tahun ini, Keluarga Masa Depan Cerah di Surabaya merayakan hari
kelahirannya yang ke-25. Pertanyaan mengenai ‘DAMPAK’ dari suatu keberadaan dan
pelayanan gereja adalah selalu pantas untuk dihormati: (1) Apakah DAMPAK dari
pelayanan gereja ini sepanjang seperempat abad pertama keberadaannya? (2) Bagaimana
gereja ini dapat memberikan DAMPAK yang lebih hebat lagi dan dipakai Tuhan
dengan lebih dahsyat lagi di tahun-tahun mendatang? Pertanyaan-pertanyaan
tersebut begitu penting, karena tanpanya, gereja akan kehilangan arah, atau
bahkan menjadi sebuah organisasi yang mati dan tidak lagi ‘mengasinkan.’ Banyak
gereja yang telah berusia puluhan bahkan ratusan tahun lupa untuk menanyakan
mengenai dampak keberadaannya di dunia ini? Bukankah kenyataan tersebut menjadi
tragedi yang sangat mengerikan? Karenanya sikap positif Keluarga Masa Depan
Cerah di Surabaya perlu disambut hangat. Saya mengajak segenap jemaat Masa
Depan Cerah di Surabaya untuk hidup, menghasilkan dampak yang positif dan transformatif,
bukan saja bagi gereja, tetapi juga kotanya, bangsanya dan dunia – di dalam
sebuah keluarga yang dilandasi oleh kekuatan hubungan ikat janji.