Monday, 26 March 2012

NAMA BOLEH DIGANTI – IMAN TETAP TEGUH (DANIEL 1)

Di kalangan orang Tiong Hoa, dikenal istilah ‘ganti nama.’ Jutawan Liem Sioe Liong berganti nama menjadi Soedono Salim. Sutradara Teguh Karya terlahir sebagai Liem Tjoan Hok. Di kalangan selebriti, ganti nama juga bukanlah hal yang aneh. Tidak banyak yang mengenal Ainur Rokhimah, tetapi jutaan orang menikmati goyang Inul Daratista. Di dalam Alkitab, ganti nama bukanlah hal yang mengejutkan. Ganti nama adalah sebuah proses asimilasi dari identitas lama menjadi identitas baru. Ganti nama di kalangan orang-orang Tiong Hoa adalah sebuah proses indonesianisasi. Sedangkan ganti nama di kalangan selebriti adalah proses transformasi yang mengubah tingkat popularitas dan daya jual.

Daniel, Hananya, Misael dan Azarya adalah empat pemuda Yahudi yang cerdas dan takut akan Tuhan (1.4). Di dalam pembuangan, nama mereka diganti menjadi Beltsazar, Sadrakh, Mesakh, dan Abednego (Dan 1.6-7). Keempat orang ini diberi kesempatan untuk belajar di dalam sistem pendidikan yang lebih maju di Babilonia. Menu makanan dan minuman bagi anak-anak muda ini sama dengan yang disantap oleh raja (Dan 1.5).

Santapan raja, meskipun lezat, mewah dan sehat ternyata tidak disentuh oleh keempat pemuda ini. Ada bagian dari santapan raja yang melanggar iman Daniel. Jika mereka menyantapnya, mereka menajiskan dirinya (Dan 1.8). Untuk menjaga kesucian iman, Daniel dan kawan-kawannya memilih untuk menjadi vegetarian. Apakah yang kita dapat pelajari dari kisah ini?

Daniel memiliki iman yang teguh dan tidak tergoyahkan. Pertama, nama boleh berganti, tapi kenikmatan dunia tidak boleh menajiskan iman kepada Tuhan. Kedua, iman Daniel dipenuhi keberanian bahkan untuk menentang ketetapan raja (Dan 1.10-17). Ketiga, Kasih karunia Tuhan dilimpahkan kepada keempat pemuda ini di dalam berbagai bentuk. Secara sosial, mereka dikasihi oleh pemimpin istana (Dan 1.9); secara jasmani, mereka dikaruniai mujizat kesehatan (Dan 1.15); secara intelektual dan emosional, mereka dikaruniai mujizat hikmat, kecerdasan dan keberanian (Dan 1.17-20).

Kita sering melakukan kompromi karena takut kehilangan teman, kekayaan, pekerjaan, dan kesempatan-kesempatan lainnya. Daniel dan kawan-kawannya membuktikan bahwa Tuhan memberikan semuanya itu kepada orang-orang yang teguh imannya.

DOA DAN PUASA 21 HARI: DANIEL 10

‘Orang yang berdoa adalah orang yang menentukan sejarah dunia.’ Kata-kata tersebut nyata terlihat di dalam hidup Daniel. Doa-doa Daniel selalu dihubungkan dengan peristiwa khusus di dalam sejarah Israel ketika di dalam pembuangan. Jawaban-jawaban Tuhan terhadap doa Daniel memberikan pencerahan yang membuka tabir mengenai masa depan Israel, dan bahkan mengenai akhir jaman (Daniel 12). Mari kita belajar dari doa dan puasa Daniel.

Pertama, di dalam Daniel pasal ke-10, diceritakan bahwa Daniel berdoa dan berpuasa selama tiga minggu berturut-turut (Dan 10.2). Di dalam doanya, Daniel dipenuhi kegentaran dan ketakutan karena penglihatan-penglihatan yang diterimanya. Daniel menaikkan doanya dengan kesungguhan yang besar. Ia merasakan betapa beratnya masalah dan kesusahan yang akan menimpa (Dan 10.1). Doa Daniel bukan doa basa-basi, tetapi doa karena melihat suatu ancaman yang besar di depan mata. Puasa yang menyertai doa Daniel menunjukkan kesungguhan dan intensitas doa Daniel.

Kedua, ‘doa adalah peperangan rohani.’ Ungkapan tersebut begitu nyata di dalam Daniel 10 (ay. 13-14). Doa bukanlah sekedar ritual yang dilihat mata, didengar telinga dan diucapkan melalui kata-kata. Ketika kita berdoa, terjadilah peperangan rohani yang dahsyat. Jawaban Tuhan tertahan hingga 21 hari. Karena ia yang membawa jawaban itu dihadang oleh raja-raja Persia (simbol-simbol kekuatan yang melawan Tuhan). Ketika Mikhael datang untuk menolong memerangi musuh-musuh di alam roh ini, barulah jawaban Tuhan atas-atas doa-doa Daniel dapat disampaikan.

Ketiga, peperangan memerlukan ketekunan dan usaha yang sungguh-sungguh. Seandainya saja Daniel berhenti berdoa dan berpuasa pada hari yang ke-15, ke-17 atau bahkan ke-20 mungkin jawaban doa itu tidak akan pernah datang. Itu sebabnya Alkitab mengajar kita untuk bertekun di dalam doa.

Jawaban Tuhan terhadap doa Daniel pada intinya mencakup dua hal yang sangat penting dan mendasar. Pertama, Tuhan menjelaskan segala penglihatan-penglihatan yang menakutkan yang dilihat oleh Daniel. Semua itu adalah kesusahan yang akan menimpa di masa depan (Dan 10.15-17). Jawaban doa melahirkan hikamt dan pengertian ilahi. Kedua, di tengah ketakutan, kegentaran dan kelemahan, Tuhan menguatkan Daniel untuk berdiri tegak. Tuhan tidak hanya memberitahukan kesusahan besar yang akan menimpa, tetapi juga menguatkan umat-Nya untuk menang atas kesusahan besar dan masa-masa hidup yang sulit (Dan 10.18-19).

'Sementara Ia berbicara dengan aku, 
aku merasa kuat lagi.....' 
(Daniel 10.19)

Saturday, 10 March 2012

‘..... KARENA KERAJAAN ALLAH’ (LUKAS 18.28-34)

Di dalam kehidupan Kristen dikenal dan dijanjikan dua jenis berkat. Berkat yang pertama adalah nikmat hidup di dunia ini. Sedangkan berkat yang kedua adalah nikmat hidup di surga kekal (Luk 18.29-30). Berkat-berkat ini dijanjikan bagi orang-orang yang karena Kerajaan Allah, rela meninggalkan rumahnya dan keluarganya (istri, saudara, orangtua dan anak-anak). Apakah maksudnya? Apakah Tuhan Yesus tidak menghendaki keluarga Kristen yang utuh dan bahagia?

Pertama-tama, kita perlu memahami apa arti ‘Kerajaan Allah’? Kerajaan Allah adalah situasi dimana Tuhan ditinggikan sebagai raja. Ia yang berkuasa, berdaulat dan memerintah kehidupan kita sepenuhnya. Tuhan menjadi yang utama dan menjadi sumber dari segala sesuatunya. Tuhan Yesus sendiri memberikan dirinya sebagai contoh dari hamba yang taat menderita dan mati karena kehendak Bapa di Surga (Luk 18.31-34). Tuhan Yesus adalah contoh dari sosok yang rela meninggalkan segala kenyamanan hidup karena Kerajaan Allah.

Rumah sekilas melambangkan harta milik/property, namun rumah sesungguhnya adalah gambaran mengenai tempat tinggal yang aman (safe shelter/comfort zone) dan tempat asal usul (place of origin). Kerelaan meninggalkan rumah adalah kerelaan untuk meninggalkan bukan saja harta kekayaan/property, tetapi juga kerelaan untuk meninggalkan rasa aman, rasa nyaman dan masa lalu.

Anggota keluarga adalah pada umumnya orang-orang yang paling mengasihi kita dan yang paling kita kasihi. Ketika kita di dalam kesedihan, kita mencari anggota keluarga untuk menghibur. Ketika kita dalam keadaan bingung, kita mencari anggota keluarga untuk memberi nasihat. Ketika kita lemah, kita mencari anggota keluarga untuk menguatkan. Kerelaan untuk meninggalkan keluarga jika demikian dapat diartikan sebagai kerelaan untuk meninggalkan sumber penghiburan, hikmat, kekuatan dan sumber-sumber lainnya yang biasanya kita temui di dalam diri orang-orang yang dekat dengan kita.

Perikop ini tidak mendorong kita untuk meninggalkan rumah dan menjadi tuna wisma (homeless). Perikop ini juga tidak mendorong kita untuk memecah belah cinta kasih di dalam keluarga. Perikop ini menjamin dan meyakinkan kita, bahwa di dalam mengutamakan Tuhan lebih dari segala hal yang paling berharga di dalam hidup ini, kita tidak perlu kuatir. Tuhan sumber dari segala berkat menjanjikan kasih karunia-Nya bagi kehidupan kita di dunia ini dan di surga kelak.

Sunday, 4 March 2012

THE MYSTERY OF ROMANS 12.1 (2): HIDUP, KUDUS & BERKENAN KEPADA TUHAN

‘Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati’ (Roma 12.1).

Pertama, berbeda dengan Perjanjian Lama, dimana lembu, domba atau burung yang dipersembahkan akan mati disembelih: cukup satu kali menderita dan habislah nyawanya. Paulus menasihatkan umat percaya untuk mempersembahkan tubuh sebagai persembahan yang hidup. Tuhan tidak mencari seonggok daging mati, apalagi yang busuk. Tuhan mencari tubuh-tubuh yang hidup dan berkarya. Waduh!!!! Kalau dikorbankan dan tidak mati-mati, menyiksa diri seumur hidup dong??? Mungkin saja pemahaman itu benar, karenanya hidup menderita bagi seorang Kristen bukanlah sesuatu hal yang perlu dikagetkan atau dirisaukan (1 Petrus 4.12). Namun di sisi lain, ‘persembahan yang hidup’ ditekankan untuk membedakan nasihat Paulus dari gambaran di Perjanjian Lama. Paulus ingin mengatakan bahwa segenap hidup kita (selama kita masih hidup) adalah untuk kemuliaan Tuhan semata. Jaga tubuhmu dengan baik dan hiduplah dengan sopan selama nafas dunia masih terhembus! Berbuatlah baik kepada orang lain selama jantung masih berdetak! Muliakan Tuhan dengan segenap jiwa ragamu, selagi engkau ada!

Kedua, Tuhan tidak hanya mencari tubuh yang hidup, tetapi juga tubuh yang kudus. Di dalam Perjanjian Lama, korban yang dipersembahkan haruslah memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh Taurat. Sapi gemuk belum tentu layak bagi Tuhan. Domba berbulu putih, juga tidak serta merta layak di hadapan Tuhan. Korban itu harus dipilih sesuai dengan aturan Taurat. Tidak sembarang orang boleh mempersembahkannya, hanya para imam yang tidak najis boleh membawa korban ke atas altar. Dan imam itupun harus berpakaian khusus ketika memasuki kemah Tuhan. Dengan kata lain, korban kepada Tuhan haruslah sesuatu yang dikuduskan dan disucikan. Hidup dan pelayanan Kristen juga demikian. Tuhan tidak sekedar mencari performa yang sempurna, tetapi performa yang lahir dari hati yang telah dikuduskan dan disucikan. ‘Janganlah kiranya menipu diri sendiri: publik melihat hidupmu, namun hanya engkau (dan Tuhan) yang tahu isi hatimu!’ Mari kita bersama menjaga hati dan hidup kita supaya kudus dan layak untuk dipersembahkan di hadapan-Nya.

Ketiga, pada akhirnya korban itu tidak dinilai dari berapa mahal harganya, berapa gemuk lembunya, atau berapa kusyuk upacaranya. Korban yang ‘sukses’ adalah korban yang berkenan dan diterima oleh Tuhan. Korban harus terbakar habis, dan asapnya naik ke atas. Hidup kita juga selalu mengandung pertanyaan: bukan berapa panjangnya, atau berapa banyak harta yang kita miliki, atau sejauh apa prestasi yang kita capai – tetapi: ‘Apakah Tuhan senang melihat hidup kita?’ ‘Will God be pleased when he sees our lives? – Will he smile at us?’ Sekali lagi, jangan bangga atas segala prestasi dan pencapaian kita, jika asap harumnya tidak tercium oleh Tuhan. Teruslah berdoa dan bertanya kepada Tuhan, sederhana saja: ‘God, am I pleasing you? Help me to please you God in all my life!’

THE MISTERY OF ROMANS 12.1 (1): KOMITMEN DAN KERELAAN MENGORBANKAN DIRI

‘Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati’ (Roma 12.1).

Kadang-kadang saya tidak mengerti mengapa Paulus memakai gambaran Perjanjian Lama tentang ‘korban’ untuk melukiskan hidup orang Kristen (Roma 12.1). Apakah orang Kristen dipanggil untuk hidup sengsara dan menderita seperti korban sembelihan yang akhirnya mati di atas altar? Bisa jadi benar, karena Yesus, junjungan dan Tuhan kitapun ‘bernasib’ demikian. Namun demikian ada beberapa hal istimewa yang kita perlu perhatikan di balik satu ayat pendek yang penuh makna ini.

Pertama, di dalam Perjanjian Lama, ada korban (biasanya lembu, domba atau burung) dan ada pihak yang mengorbankan (biasanya imam). Ada Ishak yang seharusnya dikorbankan, ada Abraham yang seharusnya mengorbankan. Roma 12.1 mengajarkan sesuatu yang berbeda: orang Kristen dipanggil untuk pada saat yang sama menjadi Abraham dan Ishak. Dengan kata lain, orang Kristen dipanggil untuk mengorbankan dirinya sendiri,..... Wow!!! Betapa lebih beratnya dari Hukum Perjanjian Lama? Menjadi korban karena disembelih orang lain masih lebih mudah, daripada memiliki komitmen untuk mengorbankan diri sendiri. Singkat cerita, hidup Kristen adalah hidup yang secara sadar dipenuhi dengan komitmen dan kerelaan untuk berkorban dan mengorbankan diri. Hidup Kristen sangat berbeda dengan pencarian keuntungan dan keselamatan pribadi.

Kedua, mengapa orang Kristen dimampukan untuk memiliki pola hidup yang demikian? Jawabnya, kata Paulus, ‘Demi kemurahan Allah.’ Karena kemurahan Allah itu sedemikian besarnya, tidak terucap dengan kata dan tidak terlukis dengan nada – bahkan tidak terbayarkan oleh kekuatan dan kemampuan kita. Derita dan aniaya yang mungkin kita alami tidaklah setimpal dengan yang ditanggung-Nya di kayu salib. Korban yang kita naikan kepada Tuhan hanyalah secuil ucapan syukur atas kemurahan-Nya yang ajaib, yang disediakannya bagi kita yang percaya kepada-Nya. Kedewasaan hidup Kristen kurang lebih dapat diukur dengan komitmen serta kerelaan untuk mengorbankan hidup sendiri bagi kemuliaan Tuhan. ‘Dia harus makin bertambah, ku harus makin berkurang’ (Yohanes 3.30).

Saturday, 3 March 2012

YANG DIPUJA MANUSIA TAK DISUKA TUHAN (LUKAS 18.9-27)

Manusia pada umumnya senang dipuji dan dihormati, entah itu karena status sosialnya, derajat pendidikannya, atau kemampuan ekonominya. Di dalam Injil, figur seperti ini diwakili oleh orang Farisi. Kelompok Farisi adalah sekte yang secara moral terbaik di kalangan orang Yahudi pada jaman Yesus. Sesungguhnya memang orang-orang Farisi itu baik dan benar. Kekurangan mereka hanya dua, tetapi fatal: (1) Mereka senang mencela dan menyalahkan orang lain, atau dengan kata lain merasa benar sendiri; (2) Mereka suka dipuji, dan karenanya kehidupan keagamaan menjadi kegiatan di permukaan belaka (penampilan semata).

Manusia pada umumnya, khususnya di dalam kultur Timur juga menghormati orang yang semakin dewasa.  Anak-anak tidak dianggap penting. Anak-anak dianggap lemah, bodoh dan tidak berpengalaman. Bahkan tidak jarang anak-anak dianggap ‘SETENGAH’ manusia. Itu karenanya banyak orang mengatakan, ‘Sekarang si Budi sudah jadi orang ya!’ – maksudnya sekarang si Budi sudah besar, dewasa, bergelar dan secara ekonomi mampu.

Manusia tentu mencintai dan mencari harta, kekayaan, suami kaya, istri kaya, menantu kaya, mertua kaya dan segala bentuk manifestasi dari apa yang kita kenal dengan uang. Kekayaan menjadi dekat sekali dengan kekuasaan dan parahnya, orang merasa aman karena kekayaannya.

Di dalam Lukas 18.9-14, bukan orang Farisi yang benar dan baik, yang dibenarkan oleh Tuhan – tetapi pemungut cukai, simbol dosa yang kotor dan dibenci masyarakat. Di dalam Lukas 18.15-17, Tuhan Yesus marah dan mencela murid-murid-Nya sendiri yang sudah dewasa karena menghalangi anak-anak kecil untuk datang kepada-Nya. Yesus menjadikan anak kecil sebagai contoh dan teladan di dalam pengajaran-Nya. Di dalam Lukas 18.18-27, tahulah kita bahwa orang kaya yang dipuja dunia ternyata sulit masuk surga. Unta yang ukuran tubuhnya Extra-L ternyata dianggap lebih mudah untuk masuk lubang jarum yang sempit dibanding orang kaya masuk surga.

Apa sebenarnya yang dicari Tuhan dari manusia? Hati yang jujur dan hancur di hadapan Tuhan – seperti si pemungut cukai. Hati yang bersih, polos, dan tulus – seperti anak-anak kecil. Hati yang mencintai dan mengandalkan Tuhan lebih dari segala kekayaan dan securitas duniawi – tidak seperti orang kaya di dalam Lukas 18.18-27. Intinya: Kita perlu belajar merendahkan diri kita di hadapan Tuhan, karena kita ini bukan siapa-siapa tanpa kasih karunia Tuhan.

YANG BENAR DISALAHKAN – YANG SALAH DIBENARKAN: TUHAN PENUH KASIH KARUNIA (LUKAS 18.9-14)

Jika ada manusia yang merasa diri paling benar, hal tersebut bukanlah sesuatu yang aneh.  Jika ada manusia yang merasa pendapatnya adalah yang paling baik, hal tersebut adalah sesuatu yang lumrah saja. Dan jangan lupa, manusia yang merasa diri lebih baik atau lebih benar, paling baik atau paling benar itu mungkin saja memang benar-benar seorang yang baik dan benar. Jadi, jika kita sering merasa diri menjadi yang lebih benar atau paling baik, jangan kuatir, itu adalah hal yang wajar-wajar saja.

Pada jaman ketika Tuhan Yesus hidup ada sekelompok orang Yahudi yang disebut sebagai orang-orang Farisi. Mereka mewakili kelompok elit yang terhormat dan sangat dihormati oleh masyarakat. Di dalam pengetahuan mengenai Taurat Tuhan, mereka inilah jagoannya. Di dalam melakukan Taurat Tuhan, mereka juga nomor satu – meskipun mereka melakukannya secara hurufiah dan ritualistik. Karenanya, kelompok Farisi melihat dirinya sebagai yang lebih benar dan baik, karena alasan-alasan obyektif yang dapat dilihat oleh mata telanjang.

Persoalannya, apa yang dilihat manusia sebagai sesuatu yang lebih benar ternyata tidak dibenarkan Tuhan. Di dalam sebuah insiden di Bait Allah (Lukas 18.9-14), seorang Farisi yang benar-benar BENAR ternyata tidak dibenarkan oleh Tuhan. Dan seorang pemungut cukai yang benar-benar SALAH justru dibenarkan oleh Tuhan. Apakah Tuhan menyukai dosa dan kesalahan manusia dibandingkan dengan kebajikan dan hal-hal yang benar? Tentu tidak! Yang menjadi pokok penting di dalam kisah ini adalah kerendahan hati. Orang Farisi merasa – bukan hanya merasa, tetapi memang benar-benar – BENAR, dan karenanya menjadi percaya diri karena kebenaran yang dilakukannya itu. Orang yang demikian tidak lagi memerlukan Tuhan. Si Farisi datang kepada Tuhan hanya sekedar melaporkan segala prestasi baiknya. Sebaliknya si pemungut cukai yang pada waktu itu menjadi salah satu simbol dosa yang dibenci masyarakat, mengungkapkan segala kelemahan, kekurangan dan dosa-dosanya, berteriak: ‘Tuhan tolonglah aku!’  Ia mencari Tuhan karena ia sungguh-sungguh memerlukan Tuhan. Dan untuk itu, Tuhan membenarkannya.

Renungan bagi kita semua: (1) Jika kita sering merasa diri baik dan benar, atau lebih baik dan lebih benar, atau paling baik dan paling benar itu adalah sesuatu yang wajar. (2) Jika perasaan benar, lebih benar atau paling benar tersebut didukung oleh fakta-fakta yang obyektif, maka kita memiliki kualitas sebaik orang Farisi. Jika perasaan tersebut tidak disertai bukti-bukti  nyata, maka kita memiliki kualitas lebih buruk dibanding orang Farisi. (3) Jika kita memiliki kepercayaan diri yang kuat karena segala prestasi dan performa kebenaran yang kita lakukan, dan karenanya tidak lagi membutuhkan Tuhan, kita setara dengan tingkat kerohanian orang Farisi. (4) Jika kita datang kepada Tuhan dengan kesadaran bahwa kita memerlukan kasih karunia dan pengampunan Tuhan, maka kita akan dibenarkan oleh-Nya. (5) Pertanyaan terakhir: ‘Apakah yang menjadi motif utama kita di dalam beribadah kepada Tuhan di dalam Ibadah Minggu, Care Group/Bible Study, Persekutuan Doa dan ibadah-ibadah lainnya?