Di dalam dunia
bisnis dikenal kata ‘makelar’ – di dalam dunia komunikasi, istilah tersebut
dikenal sebagai pengantara. Tidak selamanya pengantara itu buruk. Tapi
sejujurnya menggunakan pengantara berpotensi menimbulkan banyak akibat buruk.
Perhatikan beberapa contoh di bawah ini: (1) Seorang guru ingin menyampaikan
sesuatu kepada muridnya, namun dia meminta guru lain untuk menyampaikannya.
Alasannya: sungkan karena orangtua murid tersebut sangat murah hati dan banyak
memberi; (2) Seorang anggota gereja ingin mengritik saudaranya segereja, namun
ia meminta pendeta untuk menyampaikannya. Alasannya: menghindari konflik
pribadi. Terkadang di dalam budaya
Timur, kita tidak merasa nyaman untuk berkata langsung. Atau mungkin kita
memandang jika yang mengatakannya orang lain, maka pesan yang disampaikan akan
lebih efektif. Celakanya yang lebih sering terjadi dibalik penggunaan
pengantara adalah: (1) semangat ‘lempar batu sembunyi tangan’ alias tidak
bertanggung jawab (2) semangat ‘berani di belakang, takut di depan’ alias sok
(kata orang Jakarta: belagu); (3) semangat ‘memperalat pengantara untuk
meng-gol-kan keinginan pribadi’ alias manipulatif. Jika semangat-semangat ini
dipelihara dan dikembangkan, maka bukan buah yang baik yang dihasilkan,
sebaliknya komunikasi buruk dan konflik yang semakin runyam.
Belum lagi,
kita perlu menyadari bahwa pengantara ‘mengubah’ pesan. Seorang anak yang
kehilangan ayahnya, menyampaikan berita duka dengan berlinang air mata.
Sekretaris gereja yang mengumumkan berita tersebut kepada jemaat, mengatakannya
tanpa emosi, seolah-olah kejadian tersebut sudah lumrah. Maaf, tapi tidak
jarang jemaat mengatakan: ‘toh sudah lanjut usianya.’ Berita yang sama menjadi
turun kadar emosinya karena disampaikan oleh pengantara. Sebaliknya seorang
istri mengatakan kepada anggota tim doa bahwa semalam ia berselisih paham
dengan suaminya mengenai rencana liburan musim panas. Karena anggota tim doa
sungguh-sungguh bersemangat di dalam mendoakan jemaat, ia mengatakan kepada
sesama anggota tim doa bahwa pasangan suami-istri tersebut tidak harmonis dan
terlibat konflik besar. Dalam kasus ini, pengantara telah menaikkan kadar emosi
sebuah berita. Beban masalah yang seharusnya 5Kg, menjadi 50Kg.
Karenanya
sebisa mungkin, utarakanlah maksud dan keinginan kita kepada orang yang
seharusnya mendengarkan – kecuali jika memang situasi benar-benar tidak
mengijinkan. Ingatlah tiga semangat yang harus diberantas di dalam
berkomunikasi: tidak bertanggung jawab, sok berani dan manipulatif.
No comments:
Post a Comment