Sunday, 30 September 2012

BELAJAR HIDUP DAN MELAYANI SEPERTI TUHAN YESUS (MARKUS 7.31-37)


1. Si Tuli Gagap Bertemu Tuhan di Negeri Kafir

Daerah Dekapolis adalah kumpulan sepuluh kota yang penduduknya kafir (ay. 31). Kebanyakan dari mereka bukan orang-orang Yahudi. Suatu kali Tuhan Yesus melintas wilayah ini. Beberapa orang membawa kepada-Nya seorang yang tuli dan sulit berbicara (ay. 32). Mereka berharap Tuhan Yesus bersedia untuk memberkati orang ini dengan cara menumpangkan tangan-Nya. Bagi orang banyak yang ada pada waktu itu, sudah jelas bahwa berkat bagi seorang yang tuli dan gagap adalah kesembuhan sehingga orang tersebut dapat kembali mendengar dan lancar berbicara. Motif utama dari orang-orang yang membawa si tuli adalah menyaksikan kesembuhan. Mereka tidak terlalu peduli dengan siapakah Yesus itu. Berbeda dengan orang-orang Yahudi, mereka tidak pernah mendengar atau membaca mengenai janji akan Mesias. Yang mereka tahu hanyalah kenyataan bahwa laki-laki yang bernama Yesus sering berbuat keajaiban dan kebaikan. Di atas dasar itulah, orang yang tuli dan gagap ini dibawa ke hadapan Tuhan Yesus.

Apakah sulit bagi Tuhan Yesus untuk menyembuhkan seorang yang gagap dan tuli seperti ini? Sama sekali tidak! Pada perikop sebelumnya, seorang anak perempuan yang kerasukan roh jahat sembuh total tanpa disentuh bahkan tanpa bertemu dengan Tuhan Yesus (7.24-30). Di dalam episode tersebut, Tuhan Yesus bahkan tidak mengucapkan satu patah katapun terhadap roh jahat yang sebelumnya menguasai anak itu. Dengan kata lain, tanpa penumpangan tangan bahkan tanpa bertemu dengan si tuli sekalipun, sebenarnya Tuhan Yesus sanggup menyembuhkannya dengan sangat mudah. Namun Tuhan Yesus memilih jalan yang berbeda,.....

Tuhan Yesus memisahkan si tuli dari kalayak ramai. Sekarang orang yang cacat ini berhadap-hadapan dengan Tuhan Yesus muka dengan muka secara pribadi (ay. 33). Injil Markus melukiskan dengan terinci proses bagaimana Tuhan menyembuhkan telinga dan lidah si tuli gagap. Jarinya dimasukkan ke telinga orang yang tuli tersebut. Tuhan meludah dan meraba lidah orang itu. Lalu, setelah semua tindakan yang dilakukan-Nya, Tuhan Yesus menegadah ke langit, menarik nafas dan berkata: Terbukalah! (ay. 33-34). Apakah Tuhan Yesus sedang berdoa kepada Bapa-Nya? Meskipun Injil Markus tidak menyatakannya, tindakan menengadah ke langit di dalam Perjanjian Baru biasanya dapat diartikan sebagai sebuah doa.  Kesembuhan yang sesungguhnya dapat dengan mudah terjadi dibuat menjadi rumit. Tuhan Yesus yang sesungguhnya penuh kuasa dibuat seolah-olah sedikit bergantung kepada Bapa-Nya yang di Surga. Mengapa demikian?

 
2. Nilai-Nilai Utama Pelayanan Tuhan Yesus

Pertama-tama, Tuhan Yesus melakukan semua proses ini di dalam persekutuan yang sangat intim dan pribadi bersama orang yang menderita tuli dan gagap bicara ini. Apa yang dilakukan Tuhan kepada orang yang tuli dan gagap ini menunjukkan perhatian Tuhan Yesus yang sedemikian besar kepadanya. Ratusan bahkan ribuan orang yang tidak cacat melihat Tuhan Yesus dari jauh, si tuli bersekutu sangat dekat dan sangat pribadi dengan Tuhan Yesus. Ratusan bahkan ribuan orang dikenyangkan (Mk. 8.1-10), namun si tuli merasakan jari Tuhan Yesus sendiri di telinganya dan di lidahnya. Kalayak ramai menyaksikan berbagai mujizat ilahi, namun si tuli-gagap mengalaminya dengan cara yang sangat berkesan dan berbeda.

Kekurangan, cacat dan masalah di dalam hidup ini sering dipakai Tuhan untuk menarik kita mendekat dan menikmati Tuhan secara pribadi. Sering Tuhan tidak hanya ingin untuk menyembuhkan penyakit kita, sekedar memberkati keuangan kita, atau menumpangkan tangan-Nya atas kita – sering Tuhan ingin menyentuhkan jari-Nya sehingga kita dapat merasakan persekutuan yang intim dengan-Nya. Tentunya kita tidak harus menderita terlebih dahulu sebelum menikmati persekutuan pribadi dengan Tuhan. Namun jika kita mengalami penderitaan dan tekanan, ingatlah bahwa Tuhan sedang menunggu untuk memeluk dan menggendong kita.

Perikop ini memperlihatkan betapa kalayak ramai menanti-nantikan untuk menyaksikan keajaiban pekerjaan Tuhan – namun Tuhan menantikan hubungan pribadi yang intim dengan anak-anak-Nya. Banyak orang mengikut Tuhan karena menyaksikan betapa hebat dan benarnya Tuhan itu. Namun demikian ada sebagian kecil orang yang memutuskan untuk mengikut Tuhan karena mengalami secara pribadi betapa hebat dan benarnya Tuhan itu.

Kedua, tindakan menengadah ke langit yang sering diartikan sebagai doa – atau setidaknya menunjukkan pegakuan Tuhan Yesus atas Bapa yang mengutus-Nya dan memberikan kuasa kepada-Nya di dalam pelayanan-Nya di dunia ini. Renungan singkat ini tidak bertujuan untuk berdebat mengenai konsep Trinitas, namun secara fungsi, Anak sendiri mengakui bahwa Ia diutus oleh dan mendapatkan mandat serta otoritas dari Bapa di Surga (Yohanes 14-17). Tentunya orang yang tuli tersebut tetap akan sembuh meskipun Tuhan Yesus tidak menengadah ke langit. Namun insiden ini menunjukkan betapa Tuhan Yesus sangat menyadari peran-Nya sebagai yang diutus oleh Bapa. Tuhan Yesus dapat meninggikan diri-Nya, tetapi Ia memilih untuk merendahkan diri-Nya. Tuhan Yesus memiliki kesempatan untuk menonjolkan diri-Nya, namun Ia memilih untuk memuliakan Bapa-Nya. Biasanya kesombongan itu menggoda seseorang untuk menjadi dan menobatkan dirinya sebagai satu-satunya pahlawan dan yang paling hebat. Tuhan Yesus sebaliknya menunjukkan bahwa Ia tergantung kepada Bapa-Nya yang di Surga.

Dosa yang paling populer bukanlah penipuan atau perampokan atau perkosaan atau bahkan pembunuhan – Dosa yang populer sebenarnya adalah kesombongan. Belum sempat kita berpikir dan memutuskan untuk menjadi sombong, kita telah menjadi sombong. Mengapa menjadi rendah hati itu sedemikian sulitnya? Jawabnya: karena untuk menjadi sombong adalah sedemikian mudahnya – pintunya terbuka lebar.

Tuhan Yesus tidak mengejar ketenaran dunia. Bukan itu saja, Tuhan Yesus bahkan melarang orang-orang untuk memberitakan keajaiban yang telah diperbuat-Nya (ay. 36). Tuhan Yesus memiliki kesempatan besar untuk menjadi selebriti, namun Ia tidak memanfaatkan kesempatan tersebut, sebaliknya Ia menahan diri-Nya. Di dunia dimana kita hidup sekarang ini, banyak yang berambisi untuk menjadi pahlawan. Banyak orang ingin dianggap penting dan diperhitungkan jasanya. Persaingan antar manusia termasuk yang di dalam gereja bukan lagi barang yang aneh. Namun Tuhan Yesus mengajarkan nilai yang berbeda. Ia tidak memiliki ambisi untuk menjadi yang pertama, yang paling penting dan yang paling berjasa, meskipun sesungguhnya Ia adalah pahlawan pelaku dibalik mujizat kesembuhan bagi si tuli. Betapa sering di dalam kehidupan kita sebagai umat percaya kita menemukan apa yang dikenal dengan ‘pahlawan kesiangan’: ingin dikenal sebagai seorang yang penting dan berjasa – padahal bukan dia pelakunya utamanya.

Ketiga, pelayanan Tuhan Yesus menghasilkan sesuatu yang nyata dan baik (ay. 37) – Bagaimana dengan hidup dan pelayanan kita? Kotbah yang hebat dan berapi-api belum tentu menggambarkan hasil yang baik. Suara indah dan musik yang merdu juga bukan gambaran langsung dari hasil pelayanan yang baik. Pelayanan yang baik seharusnya menghasilkan perubahan (transformasi) karakter manusia menjadi lebih baik, kesejahteraan hidup yang meningkat, berkurangnya kejahatan dan dosa, hubungan keluarga yang semakin harmonis dan akibat-akibat positif lainnya. Gereja yang megah, ibadah yang hebat serta kotbah yang dahsyat harus dibuktikan dengan perubahan umat dan masyarakat menuju ke arah yang lebih baik. Demikianlah juga dengan orang yang mengaku diri Kristen, haruslah ia diuji dari perubahan di dalam hidupnya sendiri dan orang-orang di sekitarnya.

Peristiwa ini tidak hanya menunjukkan betapa dahsyatnya kuasa Tuhan Yesus, tetapi juga perhatian dan kasih sayang-Nya kepada orang yang dilayani-Nya (ay. 33), kerendahan-hati-Nya, kepahlawanan-Nya dan ketergantungan-Nya kepada Bapa di Surga (ay. 36), serta pekerjaan Tuhan yang selalu menghasilkan kebaikan (ay. 37).

Orang banyak, demikian pula kebanyakan dari kita takjub melihat pekerjaan Tuhan Yesus (ay. 37). Salahkah itu? Sama sekali tidak. Adalah sangat baik untuk takjub melihat pekerjaan Tuhan. Celakanya banyak sekali orang yang sudah tidak dapat lagi merasakan betapa dahsyatnya pekerjaan Tuhan – mereka telah menjadi bebal dan tebal hatinya. Lebih celaka lagi adalah orang-orang yang lebih suka takjub menyaksikan pekerjaan manusia dibandingkan takjub terhadap karya Tuhan. Renungan ini mengajak mengajak pembaca untuk takjub melihat bukan saja pekerjaan Tuhan Yesus, tetapi juga pribadi-Nya yang tulus dan mulia.


 3. Peran Kita

Jika kita diberikan pilihan untuk memainkan peran di dalam kisah mujizat kesembuhan ini (Mk 7.31-37), peran apakah yang kita pilih? Pertama, kita mungkin ingin memerankan Tuhan Yesus berarti kita memiliki kerinduan untuk hidup dan melayani seperti Tuhan Yesus. Itu adalah pilihan dan komitmen yang terbaik dan mulia sebagai orang Kristen. Apakah mudah memiliki komitmen untuk hidup seperti Yesus? Tentu tidak mudah! Namun demikian, itulah inti dari pemuridan dan hidup Kristen yang sejati. Perikop ini mengajarjan Tuhan Yesus yang penuh perhatian, yang merindukan hubungan yang mesra dengan umat-Nya, yang rendah hati dan tidak mencuri kesempatan untuk mencari ketenaran, serta yang pelayanannya menghasilkan hal-hal yang membawa kebaikan.

Pilihan kedua yang terbaik adalah menjadi si tuli-gagap. Mengapa demikian? Karena ia mengalami Tuhan Yesus secara pribadi lebih dari sekedar mujizat kesembuhan yang dialaminya. Pilihan ini tidak mudah. Tidak ada di antara kita yang bersedia untuk menjadi tuli dan gagap atau menderita cacat demi untuk mengalami Tuhan secara pribadi bukan? Namun demikian, renungan ini ingin meyakinkan pembaca bahwa pilihan tersebut lebih baik dibanding hidup yang tidak pernah mengalami Tuhan secara pribadi dan intim.

Pilihan ketiga adalah menjadi penyambung lidah atau pengantara (ay. 36). Orang-orang yang mengambil pilihan ini memberitakan pekerjaan Tuhan yang dahsyat. Apa motivasinya? (1) Barangkali sebagian pemberita ingin menumpang ketenaran Tuhan. Dengan mengatakan bahwa ia menyaksikan Tuhan Yesus yang ajaib dengan mata kepalanya sendiri, maka ia menjadi lebih diperhitungkan. Kita kan bangga jika bisa bertemu atau bersalaman dengan orang terkenal bukan? Demikian juga orang-orang yang menyaksikan pekerjaan Tuhan pada waktu itu. (2) Sebagian yang lainnya memang punya bakat gossip dan talkative terutama setelah melihat peristiwa yang memang benar-benar di luar akal manusia. Jadi wajar saja jika mulut, lidah dan bibir mereka tidak lagi bisa ditahan untuk berbicara. Kelompok ini kita kenal sebagai kelompok penggembira. (3) Yang lainnya mungkin menjadi juru bicara karena semangat untuk menyaksikan Tuhan kepada orang-orang lain – motifnya untuk mengajak orang lain percaya kepada Tuhan Yesus (motif penginjilan). Pemahaman saya akan perikop ini mengatakan bahwa motif yang ketiga ini nampaknya bukanlah yang ingin disampaikan oleh penulis Injil Markus. Laginya kalayak ramai di Dekapolis adalah sebagian besar kafir.

Pilihan keempat adalah menjadi penonton (1) yang takjub terhadap pekerjaan Tuhan Yesus – dan selesai; atau (2) yang tidak suka terhadap pekerjaan Tuhan Yesus dan akhirnya berusaha untuk membunuhnya. Untuk sebagian pemimpin agama Yahudi pada waktu itu, Tuhan Yesus dinilai sebagai pesaing yang pengajarannya dianggap melenceng. Untuk pemimpin agama Yunani Kuno, Tuhan Yesus juga dianggap sebagai dewa pesaing yang merugikan. Penonton selalu datang dengan penilaian: pujian atau celaan. Penonton pemuja berhenti dengan kekaguman. Penonton pencela berhenti pada kebencian dan penolakan. Penonton yang sejati tidak membawa manfaat positif bagi pekerjaan Tuhan – ia diam atau menghancurkan.

Siapakah kita yang sesungguhnya .....?

 
4. Efata: Terbukalah!

Tidak dapat dipungkiri bahwa kata efata adalah kata kunci di dalam narasi ini. Penulis Injil Markus membiarkan kata tersebut muncul dalam bahasa aslinya untuk menambahkan penekanan bahwa Tuhan Yesus sungguh-sungguh mengucapkannya, dan karenanya kata tersebut adalah sangat penting (ay 34). Bagi si tuli, efata jelas berarti terbukanya penghalang yang selama ini menutupi telinganya dari mendengarkan suara. Dan karena si tuli juga gagap, maka efata juga berarti terbukanya ikatan-ikatan yang melilit lidahnya (ay. 35).

Bagaimana dengan kalayak ramai yang menjadi saksi mata dari apa yang dikatakan dan diperbuat oleh Tuhan Yesus. Apakah arti kata efata bagi mereka? Kalayak ramai terkagum-kagum terhadap mujizat Tuhan Yesus. Bagi mereka Tuhan Yesus layaknya seperti David Copperfield dengan pertunjukkan hebatnya. Sayangnya telinga, mata dan hati mereka belum sungguh terbuka kepada pribadi Tuhan Yesus sendiri. Seandainya kalayak ramai tersebut adalah orang Kristen, mereka adalah Kristen yang menyaksikan, tetapi tidak mengenal dan mengalami Tuhan. Bagi orang Kristen yang demikian, Tuhan Yesus berdoa: efata!

Bagaimana dengan murid-murid Tuhan Yesus yang selalu ada di sekitar-Nya? Meskipun episode ini tidak mengungkapkannya, perlakuan Tuhan Yesus yang direkam oleh Injil Markus terhadap murid-murid-Nya adalah cukup kasar. Tidak jarang murid-murid gagal memahami isi hati Tuhan yang sesungguhnya. Jika diumpamakan dengan orang Kristen, murid-murid Tuhan sepertinya menggambarkan orang Kristen yang kaya dengan pengetahuan dan aktif di dalam pelayanan gereja, namun miskin di dalam mengalami pribadi Tuhan Yesus. Bagi orang Kristen yang demikian, Tuhan Yesus juga berdoa: efata!

Kiranya artikel ini membawa kita untuk mengalami dan menikmati Tuhan Yesus dengan lebih intim lagi. Efata!

HEALTHY COMMUNICATION - 2




Di dalam dunia bisnis dikenal kata ‘makelar’ – di dalam dunia komunikasi, istilah tersebut dikenal sebagai pengantara. Tidak selamanya pengantara itu buruk. Tapi sejujurnya menggunakan pengantara berpotensi menimbulkan banyak akibat buruk. Perhatikan beberapa contoh di bawah ini: (1) Seorang guru ingin menyampaikan sesuatu kepada muridnya, namun dia meminta guru lain untuk menyampaikannya. Alasannya: sungkan karena orangtua murid tersebut sangat murah hati dan banyak memberi; (2) Seorang anggota gereja ingin mengritik saudaranya segereja, namun ia meminta pendeta untuk menyampaikannya. Alasannya: menghindari konflik pribadi.  Terkadang di dalam budaya Timur, kita tidak merasa nyaman untuk berkata langsung. Atau mungkin kita memandang jika yang mengatakannya orang lain, maka pesan yang disampaikan akan lebih efektif. Celakanya yang lebih sering terjadi dibalik penggunaan pengantara adalah: (1) semangat ‘lempar batu sembunyi tangan’ alias tidak bertanggung jawab (2) semangat ‘berani di belakang, takut di depan’ alias sok (kata orang Jakarta: belagu); (3) semangat ‘memperalat pengantara untuk meng-gol-kan keinginan pribadi’ alias manipulatif. Jika semangat-semangat ini dipelihara dan dikembangkan, maka bukan buah yang baik yang dihasilkan, sebaliknya komunikasi buruk dan konflik yang semakin runyam.

Belum lagi, kita perlu menyadari bahwa pengantara ‘mengubah’ pesan. Seorang anak yang kehilangan ayahnya, menyampaikan berita duka dengan berlinang air mata. Sekretaris gereja yang mengumumkan berita tersebut kepada jemaat, mengatakannya tanpa emosi, seolah-olah kejadian tersebut sudah lumrah. Maaf, tapi tidak jarang jemaat mengatakan: ‘toh sudah lanjut usianya.’ Berita yang sama menjadi turun kadar emosinya karena disampaikan oleh pengantara. Sebaliknya seorang istri mengatakan kepada anggota tim doa bahwa semalam ia berselisih paham dengan suaminya mengenai rencana liburan musim panas. Karena anggota tim doa sungguh-sungguh bersemangat di dalam mendoakan jemaat, ia mengatakan kepada sesama anggota tim doa bahwa pasangan suami-istri tersebut tidak harmonis dan terlibat konflik besar. Dalam kasus ini, pengantara telah menaikkan kadar emosi sebuah berita. Beban masalah yang seharusnya 5Kg, menjadi 50Kg.

Karenanya sebisa mungkin, utarakanlah maksud dan keinginan kita kepada orang yang seharusnya mendengarkan – kecuali jika memang situasi benar-benar tidak mengijinkan. Ingatlah tiga semangat yang harus diberantas di dalam berkomunikasi: tidak bertanggung jawab, sok berani dan manipulatif. 

Saturday, 22 September 2012

HEALTHY COMMUNICATION - 1




Lidah adalah bagian tubuh manusia yang luar biasa. Lidah yang sama dapat memuliakan Tuhan dan mengutuki manusia (ay. 9). Lidah mengucapkan berkat dan pada saat yang sama mengeluarkan kutuk (ay. 10). Lidah itu seperti api yang kecil yang dapat membakar hutan raya yang luas (ay. 5). Lidah adalah sesuatu yang buas, penuh racun dan mematikan (ay. 8). Semua jenis binatang dapat dijinakkan, tetapi lidah amat sangat sulit dikendalikan (ay. 7). Lidah yang kecil ini ternyata memiliki kemampuan untuk menodai seluruh anggota tubuh (ay. 6). Kata-kata yang sedemikian mengerikannya tersebut di atas, dituliskan oleh Rasul Yakobus di dalam surat-Nya (3.1-12).

Pada retreat HFAN Surrey yang lalu, kita membahas mengenai betapa bahayanya lidah di dalam kehidupan berkeluarga dan bergereja (Roh Leviatan). Segenap peserta retreat juga sepakat bahwa salah satu masalah terbesar (broken wall) di dalam pelayanan jemaat Surrey adalah komunikasi yang kurang baik (poor communication). Di bawah ini beberapa tips praktis untuk meningkatkan komunikasi di dalam konteks keluarga dan jemaat.

Pertama, janganlah menjadi seorang yang reaktif secara emosional. Ketika manusia terbakar emosinya, yang pertama berdosa adalah lidahnya. Surat Yudas yang kita pelajari minggu lalu mengajarkan bahwa perbedaan utama antara manusia dan binatang adalah di dalam memberikan respon terhadap gangguan. Binatang dan manusia sama-sama berpikir. Bedanya: naluri binatang berpikir satu kali dan langsung menjatuhkan penghakiman (balasan); manusia seharusnya berpikir setidaknya dua kali sebelum menjatuhkan penghakiman. Namun sayangnya, manusia sering terlena di dalam naluri kebinatangannya – dan tidak jarang menghakimi tanpa bukti yang jelas (Yudas 1.10).

Kedua, meskipun kemarahan bukanlah sesuatu yang ditabukan oleh Alkitab, namun di dalam hampir semua percakapan, sesungguhnya manusia memiliki kesempatan untuk menunjukkan sikap yang sabar dan lemah lembut di dalam menyampaikan pesannya. Amsal 15.1 mengatakan bahwa jawaban lemah lembut meredakan kegeraman, sedang kata-kata pedas membangkitkan amarah. Pesan yang kita sampaikan adalah penting, namun sikap kita di dalam menyampaikan pesan tersebut jauh lebih menentukan hasilnya.

Friday, 14 September 2012

BELAJAR DARI KISAH-KISAH LAMA (MIDRASHIM): YUDAS 1.5-23



Midrash 1: Tuhan mengeluarkan umat Israel yang tertindas di Mesir. Namun demikian Tuhan juga yang membinasakan mereka yang tidak percaya. Ketidak-percayaan Israel ditafsirkan oleh Yudas sebagai ketidak-taatan (ay. 5-6). Yudas mengingatkan pembacanya untuk tidak bermanja-manja dengan status sebagai orang Kristen, sebagai anggota dari sebuah gereja besar, ataupuns sebagai seseorang yang pernah mengalami mujizat Tuhan. Kunci iman Kristen adalah kepercayaan dan ketaatan.

Midrash 2: Hukuman bagi Sodom dan Gomora diberikan karena dosa-dosa seksual yang penuh hawa nafsu dan ketidak-wajaran (ay. 7-8). Untuk itulah Yudas mengingatkan bahwa hawa nafsu seksual telah menjadi salah satu ancaman bagi umat percaya dan gereja-Nya. Dosa percabulan oleh Yudas sekali lagi dikaitkan dengan sikap manusia kepada Allah. Ketika manusia berketetapan untuk memuliakan Allah, ia hidup di dalam kekudusan. Ketika manusia meninggalkan kekudusan, ia menghina dan menghujat Allah.

Midrash 3: Penghulu malaikat Mikhael ketika berselisih dengan si jahat iblis, ternyata tidak semena-mena menghakimi, sebaliknya ia menyerahkan penghakiman itu kepada Tuhan. Yudas mengingatkan bahaya di dalam jemaat akan orang-orang yang arogan, merasa benar sendiri dan senang untuk menjatuhkan penghakiman (ay. 9-10). Celakanya, Yudas menyamakan naluri arogansi dan suka menghakimi sebagai naluri binatang yang tidak berakal. Dan dahsyatnya, dosa yang demikian membawa kepada kebinasaan.

Midrash 4: Kain adalah sosok yang dipenuhi dengan kebencian dan iri hati. Untuk rasa iri dan benci itu, ia rela membunuh. Bileam adalah lambang dari seorang nabi yang bisa dibeli dengan upah, karenanya identik dengan keserakahan. Kebenaran bisa dikompromikan untuk nafsu keserakahan. Korah adalah sosok lain yang melambangkan roh yang bukan saja memberontak kepada pemimpin, tetapi juga roh yang mengajak orang lain kepada pemimpin yang telah ditunjuk oleh Tuhan. Korah dan keluarganya mati ditelan bumi (ay. 11-13). Kain, Bileam dan Korah adalah lambang-lambang utama dari kempimpinan yang penuh dengan dosa (corrupted leadership). Orang-orang ini sama sekali tidak malu dengan hawa nafsu dan keserakahan mereka.

Yudas memberikan empat perumpamaan mengenai orang-orang ini: (1) awan yang tidak berair; (2) pohon yang tidak menghasilkan buah; (3) ombak laut yang berbuih aib; (4) bintang-bintang di dunia kekelaman. Singkatnya, mereka nampak baik dan berbuat baik, tetapi pada kenyataannya mereka tidak menghasilkan apa-apa kecuali aib yang memalukan.

Midrash 5: Henokh pernah bernubuat bahwa Tuhan akan menghakimi semua orang dan menjatuhkan hukuman bagi orang-orang fasik dikarenakan oleh (1) perbuatan jahat dan (2) perkataan nista (sombong dan menghina). Menurut Yudas, yang ada sekarang bahkan lebih hebat lagi, karena selain hidup di dalam hawa nafsu, mulut mereka (1) menggerutu dan mengeluhkan nasib mereka; (2) menjilat orang untuk mendapatkan keuntungan pribadi (ay. 14-16).

Midrash 6: Menurut para Rasul, menjelang akhir jaman, akan muncul pengejek-pengejek yang hidupnya dipenuhi dengan kefasikan. Yang ada sekarang bahkan lebih dari itu: mereka menjadi pemecah belah jemaat karena dikuasai oleh keinginan dunia – sebaliknya tidak hidup di dalam Roh Kudus (ay. 18-20).

Nasihat bagi orang-orang percaya di dalam memperjuangkan iman: hidup di dalam kemurnian dan berdoa di dalam Roh Kudus (ay. 20), hidup dengan dipenuhi rasa cukup karena kasih Tuhan (ay. 21), menyatakan kebenaran kepada orang-orang yang tersesat ini dengan penuh belas kasihan dan disertai dengan rasa gentar dan kebencian akan dosa-dosa mereka.

Friday, 7 September 2012

THY KINGDOM COME (MATTHEW 6.10)



Pengajaran Tuhan Yesus yang paling penting adalah pengajaran tentang Kerajaan Surga. Di dalam Matius 17.4, Tuhan Yesus berkata: ‘Bertobatlah, sebab Kerajaan Sorga sudah dekat!’ Demikian juga di dalam doa yang diajarkan Tuhan Yesus, ada sebuah permintaan yang berbunyi: ‘datanglah Kerajaan-Mu.’ Apa sesungguhnya arti dari meminta kedatangan Kerajaan sorga di dalam hidup kita?

Di dalam konteks misi, ‘datanglah Kerajaan-Mu’ mengandung beberapa pengertian: Pertama, ‘datanglah kerajaan-Mu’ adalah komitmen pendoa untuk menundukkan diri kepada sang Raja. Dengan kata lain, doa ini selayaknya dinaikkan oleh orang yang menyadari bahwa dirinya adalah hamba Kristus. Sebagai seorang hamba, kita dipanggil untuk hidup memancarkan terang Kristus. Di dalam hidup yang seperti itulah, Injil diberitakan dan pekerjaan misi berlangsung.

Kedua, seorang hamba juga dipanggil untuk taat terhadap perintah dan kehendak Bapa. Di akhir pelayanan-Nya di atas bumi ini, Tuhan Yesus memberikan perintah agung  bagi murid-murid-Nya untuk  pergi dan menjadikan semua bangsa murid-Nya – untuk membaptis dan mengajar mereka melakukan kehendak Bapa. Sebagai murid-murid-Nya dan gereja-Nya, kita patut berpikir: sejauh manakah kita telah taat dan melakukan perintah agung yang diberikan oleh Tuhan Yesus sendiri ini? Hari masih siang, ladang sudah menguning dan matang untuk dituai, karenanya mari kita bekerja untuk menyampaikan kabar keselamatan kepada semua orang. Benarlah perkataan ini: ‘Berbahagialah hamba yang didapati tuannya melakukan tugasnya itu, ketika tuannya itu datang’ (Mat 24.46).

Ketiga, Kerajaan Surga berarti pemerintahan Tuhan. Berbicara mengenai Kerajaan Sorga yang turun ke atas bumi berarti berbicara mengenai pemerintahan Tuhan di atas dunia dimana kita hidup. Mudahnya, bayangkanlah jika Jakarta dipimpin oleh seorang gubernur yang bernama Yesus Kristus: kira-kira apa yang terjadi? Bayangkan jika Indonesia dipimpin oleh seorang presiden yang bernama Yesus Kristus: kira-kira apa yang terjadi? Apakah korupsi tetap merajalela? Apakah kemiskinan dan ketidak-adilan tetap subur di tanah air tercinta? Di dalam konteks misi, kedatangan Kerajaan Sorga tidak terbatas hanya pada pertobatan jiwa-jiwa yang berbalik kepada Kristus, tetapi juga perubahan tatanan masyarakat yang merefleksikan karakter ilahi.

Kerajaan Surga mengundang kita untuk (1) hidup memancarkan terang Kristus; (2) hidup memberitakan Injil dan memuridkan; (3) hidup dengan komitmen tinggi di dalam membangun tatanan masyarakat berkarakter ilahi. 

(Catatan: Sebagian ide dari tulisan ini adalah sumbangan dari Bapak Tota Panggabean)