1. Si Tuli Gagap Bertemu Tuhan di Negeri Kafir
Daerah
Dekapolis adalah kumpulan sepuluh kota yang penduduknya kafir (ay. 31).
Kebanyakan dari mereka bukan orang-orang Yahudi. Suatu kali Tuhan Yesus
melintas wilayah ini. Beberapa orang membawa kepada-Nya seorang yang tuli dan
sulit berbicara (ay. 32). Mereka berharap Tuhan Yesus bersedia untuk memberkati
orang ini dengan cara menumpangkan tangan-Nya. Bagi orang banyak yang ada pada
waktu itu, sudah jelas bahwa berkat bagi seorang yang tuli dan gagap adalah
kesembuhan sehingga orang tersebut dapat kembali mendengar dan lancar
berbicara. Motif utama dari orang-orang yang membawa si tuli adalah menyaksikan
kesembuhan. Mereka tidak terlalu peduli dengan siapakah Yesus itu. Berbeda
dengan orang-orang Yahudi, mereka tidak pernah mendengar atau membaca mengenai
janji akan Mesias. Yang mereka tahu hanyalah kenyataan bahwa laki-laki yang
bernama Yesus sering berbuat keajaiban dan kebaikan. Di atas dasar itulah,
orang yang tuli dan gagap ini dibawa ke hadapan Tuhan Yesus.
Apakah sulit
bagi Tuhan Yesus untuk menyembuhkan seorang yang gagap dan tuli seperti ini?
Sama sekali tidak! Pada perikop sebelumnya, seorang anak perempuan yang kerasukan
roh jahat sembuh total tanpa disentuh bahkan tanpa bertemu dengan Tuhan Yesus
(7.24-30). Di dalam episode tersebut, Tuhan Yesus bahkan tidak mengucapkan satu
patah katapun terhadap roh jahat yang sebelumnya menguasai anak itu. Dengan
kata lain, tanpa penumpangan tangan bahkan tanpa bertemu dengan si tuli
sekalipun, sebenarnya Tuhan Yesus sanggup menyembuhkannya dengan sangat mudah.
Namun Tuhan Yesus memilih jalan yang berbeda,.....
Tuhan Yesus
memisahkan si tuli dari kalayak ramai. Sekarang orang yang cacat ini
berhadap-hadapan dengan Tuhan Yesus muka dengan muka secara pribadi (ay. 33).
Injil Markus melukiskan dengan terinci proses bagaimana Tuhan menyembuhkan
telinga dan lidah si tuli gagap. Jarinya dimasukkan ke telinga orang yang tuli
tersebut. Tuhan meludah dan meraba lidah orang itu. Lalu, setelah semua
tindakan yang dilakukan-Nya, Tuhan Yesus menegadah ke langit, menarik nafas dan
berkata: Terbukalah! (ay. 33-34). Apakah Tuhan Yesus sedang berdoa kepada
Bapa-Nya? Meskipun Injil Markus tidak menyatakannya, tindakan menengadah ke
langit di dalam Perjanjian Baru biasanya dapat diartikan sebagai sebuah doa. Kesembuhan yang sesungguhnya dapat dengan
mudah terjadi dibuat menjadi rumit. Tuhan Yesus yang sesungguhnya penuh kuasa
dibuat seolah-olah sedikit bergantung kepada Bapa-Nya yang di Surga. Mengapa
demikian?
2. Nilai-Nilai Utama Pelayanan Tuhan Yesus
Pertama-tama, Tuhan Yesus melakukan semua
proses ini di dalam persekutuan yang sangat intim dan pribadi bersama orang
yang menderita tuli dan gagap bicara ini. Apa yang dilakukan Tuhan kepada orang
yang tuli dan gagap ini menunjukkan perhatian Tuhan Yesus yang sedemikian besar
kepadanya. Ratusan bahkan ribuan orang yang tidak cacat melihat Tuhan Yesus
dari jauh, si tuli bersekutu sangat dekat dan sangat pribadi dengan Tuhan Yesus.
Ratusan bahkan ribuan orang dikenyangkan (Mk. 8.1-10), namun si tuli merasakan
jari Tuhan Yesus sendiri di telinganya dan di lidahnya. Kalayak ramai
menyaksikan berbagai mujizat ilahi, namun si tuli-gagap mengalaminya dengan
cara yang sangat berkesan dan berbeda.
Kekurangan,
cacat dan masalah di dalam hidup ini sering dipakai Tuhan untuk menarik kita
mendekat dan menikmati Tuhan secara pribadi. Sering Tuhan tidak hanya ingin untuk
menyembuhkan penyakit kita, sekedar memberkati keuangan kita, atau menumpangkan
tangan-Nya atas kita – sering Tuhan ingin menyentuhkan jari-Nya sehingga kita
dapat merasakan persekutuan yang intim dengan-Nya. Tentunya kita tidak harus
menderita terlebih dahulu sebelum menikmati persekutuan pribadi dengan Tuhan.
Namun jika kita mengalami penderitaan dan tekanan, ingatlah bahwa Tuhan sedang
menunggu untuk memeluk dan menggendong kita.
Perikop ini
memperlihatkan betapa kalayak ramai menanti-nantikan untuk menyaksikan
keajaiban pekerjaan Tuhan – namun Tuhan menantikan hubungan pribadi yang intim
dengan anak-anak-Nya. Banyak orang mengikut Tuhan karena menyaksikan betapa
hebat dan benarnya Tuhan itu. Namun demikian ada sebagian kecil orang yang
memutuskan untuk mengikut Tuhan karena mengalami secara pribadi betapa hebat
dan benarnya Tuhan itu.
Kedua, tindakan menengadah ke langit
yang sering diartikan sebagai doa – atau setidaknya menunjukkan pegakuan Tuhan
Yesus atas Bapa yang mengutus-Nya dan memberikan kuasa kepada-Nya di dalam
pelayanan-Nya di dunia ini. Renungan singkat ini tidak bertujuan untuk berdebat
mengenai konsep Trinitas, namun secara fungsi, Anak sendiri mengakui bahwa Ia
diutus oleh dan mendapatkan mandat serta otoritas dari Bapa di Surga (Yohanes
14-17). Tentunya orang yang tuli tersebut tetap akan sembuh meskipun Tuhan
Yesus tidak menengadah ke langit. Namun insiden ini menunjukkan betapa Tuhan
Yesus sangat menyadari peran-Nya sebagai yang diutus oleh Bapa. Tuhan Yesus
dapat meninggikan diri-Nya, tetapi Ia memilih untuk merendahkan diri-Nya. Tuhan
Yesus memiliki kesempatan untuk menonjolkan diri-Nya, namun Ia memilih untuk
memuliakan Bapa-Nya. Biasanya kesombongan itu menggoda seseorang untuk menjadi
dan menobatkan dirinya sebagai satu-satunya pahlawan dan yang paling hebat.
Tuhan Yesus sebaliknya menunjukkan bahwa Ia tergantung kepada Bapa-Nya yang di
Surga.
Dosa yang
paling populer bukanlah penipuan atau perampokan atau perkosaan atau bahkan
pembunuhan – Dosa yang populer sebenarnya adalah kesombongan. Belum sempat kita
berpikir dan memutuskan untuk menjadi sombong, kita telah menjadi sombong.
Mengapa menjadi rendah hati itu sedemikian sulitnya? Jawabnya: karena untuk
menjadi sombong adalah sedemikian mudahnya – pintunya terbuka lebar.
Tuhan Yesus
tidak mengejar ketenaran dunia. Bukan itu saja, Tuhan Yesus bahkan melarang
orang-orang untuk memberitakan keajaiban yang telah diperbuat-Nya (ay. 36).
Tuhan Yesus memiliki kesempatan besar untuk menjadi selebriti, namun Ia tidak
memanfaatkan kesempatan tersebut, sebaliknya Ia menahan diri-Nya. Di dunia
dimana kita hidup sekarang ini, banyak yang berambisi untuk menjadi pahlawan.
Banyak orang ingin dianggap penting dan diperhitungkan jasanya. Persaingan
antar manusia termasuk yang di dalam gereja bukan lagi barang yang aneh. Namun
Tuhan Yesus mengajarkan nilai yang berbeda. Ia tidak memiliki ambisi untuk
menjadi yang pertama, yang paling penting dan yang paling berjasa, meskipun
sesungguhnya Ia adalah pahlawan pelaku dibalik mujizat kesembuhan bagi si tuli.
Betapa sering di dalam kehidupan kita sebagai umat percaya kita menemukan apa
yang dikenal dengan ‘pahlawan kesiangan’: ingin dikenal sebagai seorang yang
penting dan berjasa – padahal bukan dia pelakunya utamanya.
Ketiga, pelayanan Tuhan Yesus
menghasilkan sesuatu yang nyata dan baik (ay. 37) – Bagaimana dengan hidup dan
pelayanan kita? Kotbah yang hebat dan berapi-api belum tentu menggambarkan
hasil yang baik. Suara indah dan musik yang merdu juga bukan gambaran langsung
dari hasil pelayanan yang baik. Pelayanan yang baik seharusnya menghasilkan
perubahan (transformasi) karakter manusia menjadi lebih baik, kesejahteraan
hidup yang meningkat, berkurangnya kejahatan dan dosa, hubungan keluarga yang
semakin harmonis dan akibat-akibat positif lainnya. Gereja yang megah, ibadah
yang hebat serta kotbah yang dahsyat harus dibuktikan dengan perubahan umat dan
masyarakat menuju ke arah yang lebih baik. Demikianlah juga dengan orang yang
mengaku diri Kristen, haruslah ia diuji dari perubahan di dalam hidupnya
sendiri dan orang-orang di sekitarnya.
Peristiwa ini
tidak hanya menunjukkan betapa dahsyatnya kuasa Tuhan Yesus, tetapi juga
perhatian dan kasih sayang-Nya kepada orang yang dilayani-Nya (ay. 33), kerendahan-hati-Nya,
kepahlawanan-Nya dan ketergantungan-Nya kepada Bapa di Surga (ay. 36), serta
pekerjaan Tuhan yang selalu menghasilkan kebaikan (ay. 37).
Orang banyak,
demikian pula kebanyakan dari kita takjub melihat pekerjaan Tuhan Yesus (ay.
37). Salahkah itu? Sama sekali tidak. Adalah sangat baik untuk takjub melihat
pekerjaan Tuhan. Celakanya banyak sekali orang yang sudah tidak dapat lagi
merasakan betapa dahsyatnya pekerjaan Tuhan – mereka telah menjadi bebal dan
tebal hatinya. Lebih celaka lagi adalah orang-orang yang lebih suka takjub
menyaksikan pekerjaan manusia dibandingkan takjub terhadap karya Tuhan. Renungan
ini mengajak mengajak pembaca untuk takjub melihat bukan saja pekerjaan Tuhan
Yesus, tetapi juga pribadi-Nya yang tulus dan mulia.
3. Peran Kita
Jika kita
diberikan pilihan untuk memainkan peran di dalam kisah mujizat kesembuhan ini
(Mk 7.31-37), peran apakah yang kita pilih? Pertama,
kita mungkin ingin memerankan Tuhan Yesus berarti kita memiliki kerinduan untuk
hidup dan melayani seperti Tuhan Yesus. Itu adalah pilihan dan komitmen yang
terbaik dan mulia sebagai orang Kristen. Apakah mudah memiliki komitmen untuk
hidup seperti Yesus? Tentu tidak mudah! Namun demikian, itulah inti dari
pemuridan dan hidup Kristen yang sejati. Perikop ini mengajarjan Tuhan Yesus
yang penuh perhatian, yang merindukan hubungan yang mesra dengan umat-Nya, yang
rendah hati dan tidak mencuri kesempatan untuk mencari ketenaran, serta yang
pelayanannya menghasilkan hal-hal yang membawa kebaikan.
Pilihan kedua yang terbaik adalah menjadi si
tuli-gagap. Mengapa demikian? Karena ia mengalami Tuhan Yesus secara pribadi
lebih dari sekedar mujizat kesembuhan yang dialaminya. Pilihan ini tidak mudah.
Tidak ada di antara kita yang bersedia untuk menjadi tuli dan gagap atau
menderita cacat demi untuk mengalami Tuhan secara pribadi bukan? Namun
demikian, renungan ini ingin meyakinkan pembaca bahwa pilihan tersebut lebih
baik dibanding hidup yang tidak pernah mengalami Tuhan secara pribadi dan intim.
Pilihan ketiga adalah menjadi penyambung lidah
atau pengantara (ay. 36). Orang-orang yang mengambil pilihan ini memberitakan
pekerjaan Tuhan yang dahsyat. Apa motivasinya? (1) Barangkali sebagian pemberita
ingin menumpang ketenaran Tuhan. Dengan mengatakan bahwa ia menyaksikan Tuhan
Yesus yang ajaib dengan mata kepalanya sendiri, maka ia menjadi lebih
diperhitungkan. Kita kan bangga jika bisa bertemu atau bersalaman dengan orang
terkenal bukan? Demikian juga orang-orang yang menyaksikan pekerjaan Tuhan pada
waktu itu. (2) Sebagian yang lainnya memang punya bakat gossip dan talkative terutama setelah melihat
peristiwa yang memang benar-benar di luar akal manusia. Jadi wajar saja jika
mulut, lidah dan bibir mereka tidak lagi bisa ditahan untuk berbicara. Kelompok
ini kita kenal sebagai kelompok penggembira. (3) Yang lainnya mungkin menjadi
juru bicara karena semangat untuk menyaksikan Tuhan kepada orang-orang lain –
motifnya untuk mengajak orang lain percaya kepada Tuhan Yesus (motif
penginjilan). Pemahaman saya akan perikop ini mengatakan bahwa motif yang
ketiga ini nampaknya bukanlah yang ingin disampaikan oleh penulis Injil Markus.
Laginya kalayak ramai di Dekapolis adalah sebagian besar kafir.
Pilihan keempat adalah menjadi penonton (1) yang
takjub terhadap pekerjaan Tuhan Yesus – dan selesai; atau (2) yang tidak suka
terhadap pekerjaan Tuhan Yesus dan akhirnya berusaha untuk membunuhnya. Untuk
sebagian pemimpin agama Yahudi pada waktu itu, Tuhan Yesus dinilai sebagai
pesaing yang pengajarannya dianggap melenceng. Untuk pemimpin agama Yunani
Kuno, Tuhan Yesus juga dianggap sebagai dewa pesaing yang merugikan. Penonton
selalu datang dengan penilaian: pujian atau celaan. Penonton pemuja berhenti
dengan kekaguman. Penonton pencela berhenti pada kebencian dan penolakan.
Penonton yang sejati tidak membawa manfaat positif bagi pekerjaan Tuhan – ia
diam atau menghancurkan.
Siapakah kita
yang sesungguhnya .....?
4. Efata: Terbukalah!
Tidak dapat
dipungkiri bahwa kata efata adalah
kata kunci di dalam narasi ini. Penulis Injil Markus membiarkan kata tersebut
muncul dalam bahasa aslinya untuk menambahkan penekanan bahwa Tuhan Yesus
sungguh-sungguh mengucapkannya, dan karenanya kata tersebut adalah sangat
penting (ay 34). Bagi si tuli, efata
jelas berarti terbukanya penghalang yang selama ini menutupi telinganya dari
mendengarkan suara. Dan karena si tuli juga gagap, maka efata juga berarti terbukanya ikatan-ikatan yang melilit lidahnya
(ay. 35).
Bagaimana
dengan kalayak ramai yang menjadi saksi mata dari apa yang dikatakan dan
diperbuat oleh Tuhan Yesus. Apakah arti kata efata bagi mereka? Kalayak ramai terkagum-kagum terhadap mujizat
Tuhan Yesus. Bagi mereka Tuhan Yesus layaknya seperti David Copperfield dengan
pertunjukkan hebatnya. Sayangnya telinga, mata dan hati mereka belum sungguh
terbuka kepada pribadi Tuhan Yesus sendiri. Seandainya kalayak ramai tersebut
adalah orang Kristen, mereka adalah Kristen yang menyaksikan, tetapi tidak
mengenal dan mengalami Tuhan. Bagi orang Kristen yang demikian, Tuhan Yesus
berdoa: efata!
Bagaimana
dengan murid-murid Tuhan Yesus yang selalu ada di sekitar-Nya? Meskipun episode
ini tidak mengungkapkannya, perlakuan Tuhan Yesus yang direkam oleh Injil
Markus terhadap murid-murid-Nya adalah cukup kasar. Tidak jarang murid-murid
gagal memahami isi hati Tuhan yang sesungguhnya. Jika diumpamakan dengan orang
Kristen, murid-murid Tuhan sepertinya menggambarkan orang Kristen yang kaya
dengan pengetahuan dan aktif di dalam pelayanan gereja, namun miskin di dalam
mengalami pribadi Tuhan Yesus. Bagi orang Kristen yang demikian, Tuhan Yesus
juga berdoa: efata!
Kiranya
artikel ini membawa kita untuk mengalami dan menikmati Tuhan Yesus dengan lebih
intim lagi. Efata!