Narasi: Jamuan Makan Para Rohaniwan (Lukas 14.1-6)
Pada suatu hari Tuhan Yesus diundang makan oleh pemimpin dari orang-orang Farisi. Tuan rumah jamuan makan ini adalah seorang pemuka agama yang menonjol dan terkemuka. Ia bukan saja seorang Farisi, tetapi pemimpin dari orang-orang Farisi. Jika dibandingkan dengan hari ini, ia setara setidaknya dengan Ketua dari sebuah Sinode Gereja. Jamuan ini dihadiri oleh banyak orang-orang Farisi. Dengan kata lain, di dalam ruangan jamuan makan tersebut berkumpulah ahli-ahli agama dan orang-orang yang sangat ahli di bidang Taurat. Namun demikian, tamu utama yang menarik perhatian di dalam jamuan makan ini adalah Tuhan Yesus.
Meskipun Tuhan Yesus tidak berada di dalam struktur organisasi keagamaan pada waktu itu, Ia juga termasyur. Tuhan Yesus banyak menjadi bahan pembicaraan bukan saja karena pengajaran-Nya yang berkuasa dan melawan arus, tetapi juga karena Ia melakukan perkara-perkara yang ajaib yang tidak pernah dilakukan oleh tokoh-tokoh agama pada waktu itu. Pemuja Tuhan Yesus ribuan, dan kebanyakan adalah kaum proletar. Singkatnya jamuan makan ini adalah jamuan makan yang sangat terhormat. Dihadiri oleh Tuhan Yesus, yang meskipun tidak berada di dalam struktur tetapi diikuti ribuan orang, dan juga sekumpulan ahli Taurat pada waktu itu.
Wajarlah jika semua yang hadir mengamat-amati Tuhan Yesus, karena Ia pasti satu-satunya orang yang berpakaian berbeda dengan orang-orang Farisi. Wajahnya mungkin terlihat lebih kotor dan tidak terurus. Kakinya mungkin menyebarkan aroma yang tidak sedap. Pada dasarnya, Tuhan Yesus adalah satu-satunya di dalam ruangan tersebut yang secara fisik setidaknya berpenampilan berbeda (14.1).
Tiba-tiba datanglah seseorang yang menderita busung air. Badannya mengalami pembengkakan yang tidak wajar. Narator tidak memberikan informasi kepada pembaca dari mana asal orang ini. Apakah orang ini datang karena memang ia mengharapkan kesembuhan dari Tuhan Yesus yang penuh kuasa dan mujizat – atau apakah orang ini ada di sana karena scenario yang diatur oleh para orang Farisi untuk menjebak dan menyalahkan Tuhan Yesus (14.2).
Apapun alasannya, pembaca akan segera tahu bahwa si Busung Air ada di tempat dan waktu yang salah. Mengapa? Jika memang benar si busung air mengharapkan pertolongan dari Tuhan Yesus, sesungguhnya ia dapat memilih untuk menemuinya bukan di tempat jamuan makan yang terhormat seperti itu. Ia bisa menemui Tuhan Yesus secara pribadi di tempat lain. Kehadiran si Busung Air selain mengurangi selera makan para undangan, juga menyalahi aturan dan etika jamuan makan pada waktu itu. Ia bukan bagian dari kelompok yang diundang. Ia bukan rohaniwan seperti Tuhan Yesus dan orang-orang Farisi. Lebih buruk lagi, penyakitnya telah menempatkan dia sebagai kelompok yang diabaikan, dipinggirkan, diisolasi dan sangat mungkin najis. Selain berada di tempat yang salah, si Busung Air juga datang pada waktu yang salah, karena ia mengharapkan kesembuhan pada hari Sabat (14.3).
Orang yang menderita busung air itu berdiri tepat di hadapan Tuhan Yesus. Ruangan yang tadinya ramai, sontak menjadi sepi. Iringan gambus dan kecapipun senyap. Denting sendok dan garpu yang beradu juga dalam sekejap lenyap. Para hadirin berharap-harap cemas, demikian juga si penderita busung air. Degup jantung jamuan makan nampak terhenti sejenak. Orang yang sakit busung air bertanya-tanya: ‘Akankah Tuhan Yesus menyembuhkanku di sini dan saat ini?’ Orang-orang Farisi juga menanyakan hal yang sama di dalam hatinya. Bukan hanya itu, para Farisi bahkan siap siaga untuk mem-bombardir Tuhan Yesus sebagai pelanggar Taurat, jika Ia menyembuhkan orang yang sakit busung air tersebut pada hari Sabat.
Tuhan Yesus nampaknya berada di dalam posisi yang sulit dan terjepit. Seandainya saja si Busung Air menemui-Nya di tempat tersembunyi, maka Ia akan dengan serta merta menyembuhkannya. Seandainya saja si Busung Air menemui-Nya esok hari atau lusa, maka semua persoalan yang dilematis ini tidak akan ada. Dan seandainya saja si Busung Air ini datang kepada Tuhan Yesus tidak saat Ia diundang makan oleh pemimpin orang Farisi, tentu ceritanya akan berbeda. Namun demikian kita boleh bersyukur karena Tuhan Yesus yang kita sembah bukanlah ‘Tuhan yang seandainya’– Ia adalah Tuhan yang penuh belas kasihan dan bertindak dengan derajat ketepatan yang tinggi (precision) – Tuhan tidak mungkin bersalah di dalam keputusan-Nya.
Sejenak Tuhan Yesus diam, lalu Ia bertanya kepada hadirin yang memenuhi ruang jamuan makan tadi: ‘Apakah diperbolehkan menyembuhkan orang pada hari Sabat?’ Pertanyaan Tuhan Yesus terlihat agak sedikit konyol. Pertama, karena orang-orang yang ada dalam jamuan makan tersebut adalah kaum agamawi dan ahli Taurat, dan mereka semua tentu sudah memiliki jawaban yang sama dan benar menurut sistem dan tradisi yang berlaku pada saat itu. Kedua, Tuhan Yesus juga sudah tahu jawabannya. Dengan kata lain, pertanyaan Tuhan Yesus Nampak mubazir dan tidak ada gunanya.
Namun di balik pertanyaan Tuhan Yesus, sesungguhnya ada suatu pesan yang ingin disampaikan-Nya. Tuhan Yesus tidak mengharapkan jawaban ‘Boleh’ atau ‘Tidak Boleh’ – toh Ia dan semua yang hadir sudah sama-sama tahu jawabannya. Esensi dari pertanyaan Tuhan Yesus adalah: ‘Adakah orang yang peduli dengan si Busung Air ini?’ Tuhan Yesus menantang para ahli agama yang ada di dalam jamuan makan tersebut, jika ada seseorang yang memiliki masalah seperti si Busung Air ini, adakah yang bersedia menolongnya? Kira-kira Tuhan Yesus sebenarnya sedang berteriak: ‘Adakah yang peduli dengan orang ini?’ – ‘Apa yang harus kita lakukan untuk orang ini?’
Semua diam terpaku. Tidak ada yang mengulurkan tangannya, tidak ada yang menawarkan jubahnya, tidak ada yang menghampirinya untuk menyatakan simpati. Semua ahli agama dan orang Farisi duduk diam di tempatnya masing-masing. Mungkin para elite agama ini takut najis jika menolong si Busung Air. Mungkin mereka takut dikira melanggar perintah Taurat untuk memelihara Sabat. Agama mereka telah menjadi sistem yang menghalangi mereka untuk mengasihi dan melayani sesama manusia. Agama mereka telah membekukan hati mereka dari rasa belas kasihan dan keadilan bagi orang-orang yang membutuhkan. Orang-orang Farisi terperangkap di dalam sistem agama ritualistik dan legalistik.
Sekian saat tidak ada yang bergerak, maka Tuhan Yesus mengulurkan tangan-Nya menyentuh tangan si Busung Air. Tuhan Yesus menyembuhkannya pada saat itu juga di hadapan para pemuka agama Yahudi. Lalu Ia menyuruh orang yang sudah sembuh ini pergi. Setelah orang ini pergi, barulah Tuhan Yesus membongkar kebobrokan hati para pemimpin agama Yahudi ini. Untuk orang yang tidak dikenal dan menderita mereka tidak bersedia menolong, namun untuk sanak saudara atau bahkan hewan peliharaannya yang terperosok ke dalam selokan mereka bertindak, meskipun hari itu adalah hari Sabat (14.6). Dengan kata lain, hukum yang tertinggi yang memerintah kehidupan para pemimpin agama Yahudi bukanlah Taurat, tetapi kepentingan pribadi, mementingkan diri sendiri, dan egoisme semata. Mereka menggunakan Taurat untuk menghukum orang lain, tetapi tidak pernah memeriksa pelanggaran-pelanggaran pribadi sendiri. Demikianlah para pemimpin agama Yahudi mempraktekkan sistem yang berstandar ganda.
Refleksi: Gereja yang Transformatif
Saat ini, gereja kira-kira berdiri pada posisi Tuhan Yesus pada waktu itu. Seperti Tuhan Yesus yang menjadi pusat perhatian di dalam jamuan makan tersebut, gereja juga menjadi pusat perhatian dunia. Ada yang memujanya, ada yang menghormatinya, ada yang setia kepadanya, ada yang mencari penghidupan darinya, ada yang memanfaatkannya untuk keuntungan pribadi, ada yang kritis terhadapnya, ada yang pesimis melihatnya, dan ada juga yang benci kepadanya. Sampai hari inipun dunia masih memandang kepada gereja. Sebagian memandang dengan rasa optimis, bahwa institusi Kristen ini mampu membawa perubahan yang baik bagi dunia ini. Namun sebagian besar lainnya mengamat-amati gereja dengan skeptis sebagai suatu institusi yang sedang tenggelam menuju kematian. Simbol-simbol kekristenan dan gedung-gedung berarsiktektur khas pernah menjadi lambang kekuasaan yang tidak terbatas di masa lalu. Namun di dunia Barat banyak yang mengatakan kalimat ini: ‘I love Jesus, but I hate the church.’
Gereja yang membawa transformasi di dalam misinya, menjadi gereja yang mewarnai dunia dengan hal-hal yang positif: kesembuhan, kebangkitan moral, kekuatan karakter, kesejahteraan masyarakat, keadilan sosial, rekonsiliasi dan perdamaian, serta banyak hal yang lainnya. Gereja yang membawa transformasi adalah gereja yang bertumbuh yang mewartakan kabar baik Injil Kerajaan dengan penuh kuasa, seperti yang dilakukan oleh Tuhan Yesus.
Namun demikian tidak jarang juga gereja yang tidak lagi melayani Tuhan. Banyak gereja barangkali yang giat melayani agama atau dirinya sendiri. Jika ini yang terjadi maka gambaran gereja menjadi serupa dengan orang-orang Farisi dan para pemimpin agama Yahudi. Gereja yang mengutamakan ritual dan ibadah yang legalistik tidak akan menyentuhkan tangannya pada permasalahan dunia ini. Berbagai alasan dikemukakan untuk terhindar dari kenajisan dan kekotoran dunia ini. Alasan hari Sabat lah; Alasan hukum ketahiran dan kenajisan lah; Alasan mengenai tempat dan waktu yang salah lah; dan beribu alasan yang lainnya.
Kita perlu berhati-hati, karena gereja yang mengutamakan ritual di atas segalanya itu, jangan-jangan adalah gereja yang hanya memikirkan dirinya sendiri – persis seperti orang Farisi yang lembunya terperosok di selokan pada hari Sabat.
Hari ini dunia kita dipenuhi oleh penderita ‘busung air’ dalam bentuk manifestasi yang berbeda-beda. Bagaimana sikap gereja? Apakah gereja duduk diam terperangah seperti sikap para orang Farisi yang diundang di dalam jamuan makan bersama Tuhan Yesus? Apakah gereja mengulurkan tangannya kepada segala bentuk permasalahan dunia ini dan menyembuhkannya seperti sikap yang diambil Tuhan Yesus? Bagaimana sikap gereja terhadap wabah HIV-AIDS, kemiskinan, ketidak-adilan sosial, isu-isu yang berkaitan dengan lingkungan, korupsi dan kesenjangan sosial yang semakin tinggi. Belum lagi usaha-usaha untuk memberitakan Injil kepada dunia ini? Apakah gereja diam atau membawa kesembuhan dan pemulihan?
Postlude 1: Komitmen Gereja Transformatif
Untuk menjadi gereja yang menyembuhkan, memulihkan dan membawa perubahan positif (transformatif) diperlukan beberapa syarat, yaitu:
Keberanian: Tuhan Yesus ada di dalam tempat dan waktu yang membahayakan diri-Nya. Ia diamat-amati oleh sekelompok ahli Taurat pada suatu hari Sabat di dalam perjamuan makan yang mulia. Jika Tuhan menyembuhkan orang yang sakit busung air ini, Ia bisa langsung disalahkan, ditangkap dan dihukum. Namun demikian Ia tidak takut untuk mengambil tindakan yang lahir dari hati nurani yang penuh dengan belas kasihan. Tantangan kehidupan gereja di Indonesia tidaklah mudah. Salah satu nilai yang sulit ditemui adalah keberanian untuk turut serta menjadi bagian dari agen yang turut membawa perubahan positif di dalam kehidupan bermasyarakat. Kiranya kata-kata bijaksana yang dituliskan oleh Benjamin Disraeli (mantan Perdana Menteri Inggris 1874-1880) dapat membangunkan gereja dan umat percaya yang sedang tertidur: ‘You will find as you grow older that courage is the rarest of all qualities to be found in public life.’
Kerelaan: Tuhan Yesus barangkali tergoda untuk berpikir seperti orang Farisi: ‘Urusanku adalah urusan rohani semata; Hidupku adalah di Bait Allah semata; Bacaanku adalah Taurat semata; Kepentinganku adalah diriku sendiri.’ Ternyata Tuhan Yesus berbeda: Ia adalah seorang rohaniwan yang tidak hanya pandai mengajar dan berkotbah, Ia merelakan dirinya menyentuh, mengurus dan menyembuhkan mereka yang tersingkirkan dan najis. Penghargaan-penghargaan internasional di bidang humanitarian/kemanusiaan termasuk hadiah Nobel, biasanya diberikan kepada orang-orang hebat yang tidak pandai mengajar dan berkotbah saja, tetapi yang kehadirannya dirasakan membawa perubahan positif di dalam kehidupan manusia. Mother Teresa dari Kalkuta adalah sebuah contoh yang legendaris di dalam pelayanan kepada kaum yang terabaikan. Kotbah Mother Teresa tidaklah terlalu mengesankan, namun hatinya yang rela dan tindakannya yang berani untuk menolong mereka yang terbuang memaksa dunia untuk menghormatinya.
Belas kasihan: Berbeda dengan orang Farisi yang mementingkan dirinya sendiri, Tuhan Yesus tergerak oleh belas kasihan bagi si Busung Air. Gereja yang transformatif adalah gereja yang tidak hanya memikirkan sebagus apa gedung gerejanya atau seberapa banyak jemaat yang hadir setiap minggunya atau seberapa bagus tim musiknya. Gereja yang transformatif adalah gereja yang menangis bagi persoalan-persoalan dunia ini dan kemudian mengambil sikap untuk menyembuhkannya, Pendiri pelayanan World Vision, Bob Pierce pernah mengatakan: ‘Let my heart be broken by the things that break the heart of God.’ Gereja dipanggil untuk menangisi hal-hal yang membuat hati Tuhan menangis. Gereja yang terlalu memikirkan dirinya sendiri adalah gereja yang sedang membangun menara Babel. Gereja yang transformatif, memberkati dan membangun masyarakat serta peradabannya. Gereja yang demikian adalah gambaran dari Tuhan Yesus yang berinkarnasi menjadi manusia dan diam di antara manusia untuk menegakkan kebenaran dan keadilan yang berbasis pada kasih dan kerelaan.
Siap sedia: Pelayanan gereja tidak harus menunggu waktu dan tempat yang baik. Gereja dipanggil untuk selalu siap di dalam menyaksikan kabar baik Injil Kerajaan, baik itu melalui perbuatan, maupun melalui perkataan. Tuhan Yesus tidak menunda untuk menyembuhkan penyakit si Busung Air, padahal penyakitnya tidak mematikan. Meskipun si Busung Air datang di tempat dan waktu yang salah, Tuhan Yesus tetap menyembuhkannya. Menunda pelayanan karena menunggu waktu yang baik bisa saja terjadi karena hikmat, tetapi lebih sering terjadi karena takut, kemalasan dan keengganan untuk lelah dan berkorban.
Postlude 2: Gereja Transformatif dan Penyangkalan Diri (Lukas 14.7-24)
Setelah narasi jamuan makan terhormat antara orang-orang Farisi dan Tuhan Yesus, penulis Injil Lukas menceritakan bagaimana Tuhan mengajarkan tiga perumpamaan yang berbeda mengenai perjamuan makan, yang sesungguhnya adalah kritik sosial bagi pemimpin agama Yahudi dan orang-orang Farisi. Besar kemungkinan perumpamaan-perumpamaan tersebut disampaikannya di dalam perjamuan makan terhormat tersebut.
Di dalam Lukas 14.7-11, Tuhan mengutuk kesombongan orang-orang Farisi. Mereka menginginkan posisi yang baik dan terhormat, namun tidak bersedia untuk menyentuh penderita busung air yang menderita. Mereka mengejar penghargaan tanpa kerelaan untuk mengeluarkan keringat dan membiarkan tangannya tercemari kotoran. Selanjutnya di dalam Lukas 14.12-14, Tuhan Yesus dengan jeli menyerang egoisme orang-orang Farisi yang bergaul hanya dengan orang-orang yang kaya dan sederajat saja. Mereka sangat eksklusif, dan akibatnya membeda-bedakan manusia menurut status sosial dan ekonominya. Jangankan menolong yang susah, menemuinya dan mengundangnya saja tidak sudi. Di dalam Lukas 14.15-24, Tuhan Yesus menegur orang-orang Farisi yang pusing dengan urusannya, pekerjaannya dan keluarganya sendiri tanpa mempedulikan panggilan Tuhan dalam hidupnya. Orang Farisi sibuk dengan ritual-ritual keagamaan dan aturan-aturan yang bersifat legalistik, tetapi melupakan panggilan Tuhan untuk melayani dunia ini (Lukas 4.18-19).
Bagaimana dengan gereja hari ini? Apakah kita adalah institusi keagamaan yang mengejar nama dan tempat terhormat, tetapi mengabaikan yang lemah dan tersingkir? Apakah kita menjadi institusi yang mencari keuntungan pribadi semata tanpa mempedulikan orang lain yang membutuhkan pertolongan? Apakah kita menjadi institusi yang sibuk dengan berjuta kegiatan, tanpa mengerti kehendak Tuhan bagi dunia ini? Transformasi harus dimulai dengan penyangkalan diri yang menghancurkan tembok-tembok kesombongan, egoisme, eksklusivitas dan kesibukan memikirkan diri sendiri saja.
Gereja hari ini ada di dalam sebuah perjamuan makan yang besar – dan kemungkinan pada hari Sabat. Umat manusia menyaksikan dengan harap-harap cemas: ‘Apa yang akan dilakukan oleh Gereja untuk menjadikan dunia ciptaan Tuhan ini menjadi lebih baik?’ ‘Masihkah keberadaan gereja diperlukan di atas muka bumi ini?’ Awal dari sebuah proses transformasi adalah sebuah pertanyaan sederhana: Do we care?
Salib dan Paskah: Titik Tolak Gereja yang Transformatif
Di sepanjang sejarah dunia, tidak ada peristiwa yang memiliki kuasa untuk mengubah kehidupan manusia yang lebih besar dibandingkan Salib Golgota dan kebangkitan Tuhan Yesus dari antara orang mati. Salib dan Paskah adalah sebuah paket kasih Tuhan dan kuasa Tuhan yang ajaib yang dianugerahkan kepada umat manusia.
Dua ribu tahun yang lalu, Tuhan Yesus bukan saja menjadi pusat perhatian dari sebuah jamuan makan yang terhormat, Ia juga menjadi tontonan ribuan orang di sepanjang via dolorosa. Tergantung di kayu salib, kerumunan manusia mengolok-ngolok dan mempermalukan-Nya. Di atas kayu salib, Tuhan Yesus Nampak begitu berat dan menderita. Ia dibuat najis dan kotor karena menanggung segala cela dan dosa dunia ini. Peristiwa salib sesungguhnya sejajar dengan kerelaan Tuhan Yesus untuk menyentuh si Busung Air yang najis itu. Namun demikian kebangkitan-Nya menyaksikan Tuhan Yesus yang cemerlang dan menang atas dosa. Kebangkitan-Nya menyembuhkan dan mengubah (transformatif). Nasib dunia dan umat manusia yang tidak menentu, suram dan menuju kebinasaan, sekejap berubah. Salib dan Paskah menjanjikan sebuah pengharapan yang hidup akan masa depan yang cerah.
Ery Prasadja (Easter 2012)