Wednesday 31 October 2012

SEEK FIRST THE KINGDOM OF GOD ... (MATTHEW 6.33)




Ketika seorang ibu hendak melahirkan, terjadilah kesibukan yang luar biasa. Seluruh anggota keluarga mencari apa saja yang diperlukan untuk bayi yang akan dilahirkan. Ketika anak yang dilahirkan mencapai usia sekolah, kembali orangtua disibukkan untuk mencari sekolah yang baik bagi anak tersebut. Ketika anak tersebut tumbuh dewasa, ia dibantu orangtuanya sibuk mencari universitas untuk jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Setelah ia menyelesaikan pendidikannya, si anak yang telah menjadi pemuda/pemudi sibuk mencari penghasilan/pekerjaan dan barangkali juga mencari jodohnya. Orangtuanya sibuk mencari calon mantu yang baik dan bertanggungjawab. Di dalam pekerjaan, semua orang mengejar karir dan mencari gaji/benefit yang lebih tinggi. Setelah bertemu dengan jodohnya, mereka menikah dan berusaha untuk memiliki keturunan – maka siklus hidup di atas berputar kembali. Ketika usia pensiun tiba, orang-orang masih tetap berusaha untuk mencari kesibukan. Ada yang mengisinya dengan kerja part-time. Ada juga yang mengisinya dengan liburan panjang keliling dunia. Dan ketika Tuhan memanggil pulang, anak-anaknya sibuk mencarikan kuburan yang layak bagi orangtua mereka. 

Kisah di atas adalah realita kehidupan manusia – bukan cerita isapan jempol. Kata utama dalam kisah tersebut adalah MENCARI. Ketika kita mencari, kita berburu dan ingin mendapatkan apa yang kita cari. Keinginan tersebut melahirkan MONSTER yang kita kenal sebagai KEKUATIRAN. Karenanya salah satu perkataan Tuhan Yesus seharusnya mendasari hidup orang Kristen berbunyi:  ‘Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu’ (Matius 6.33). Hanya ketika kita MENCARI Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka segala kekuatiran akan lenyap.

Di dalam lukisan-lukisan yang dibuat oleh seniman dari China, biasanya terdapat tulisan yang berkata: Kebahagiaan, Kekayaan dan Kesehatan/umur panjang, dan pada kenyataannya itulah yang diburu oleh hampir semua manusia. Dan hal-hal itulah yang paling sering menimbulkan rasa kuatir di dalam hidup manusia. Jika ada yang sakit, seluruh anggota keluarga kuatir sekali jika penyakitnya tambah parah dan tidak dapat disembuhkan. Kadang ribuan dollar dikeluarkan untuk menghalau sebuah penyakit – dan belum tentu berhasil. Pada saat kematian sepertinya tidak dapat dihalau, seluruh anggota keluarga berharap-harap cemas supaya kematian itu dijauhkan. Jika tidak ada uang maka semua orang kuatir: makan apa besok? Bagaimana masa depan anak-anakku tanpa uang? Jarang sekali orang bertanya: Bagaimana masa depan anak-anakku tanpa Tuhan. Dan terakhir manusia mengejar hidup bahagia atau sesuatu yang menyenangkan – sesuatu yang jauh dari salib yang dipikul oleh Tuhan Yesus.

Salahkah semua itu? Tidak. Namun semua harapan-harapan itu melahirkan MONSTER KEKUATIRAN. Ketika kita mencari Tuhan sebagai yang pertama, kekuatiran diusir, dan segala yang diperlukan diberikan sesuai dengan hikmat Tuhan.

Tuesday 30 October 2012

CONTAGIOUS WORSHIP



Kata ‘menular’ biasanya berkaitan dengan penyakit. Orang yang menderita penyakit menular harus diisolasi, Jika yang menular adalah sesuatu yang positif, maka sesuatu yang menular itu justru harus disebarluaskan – atau menyebar dengan sendirinya karena naturnya yang menular. Penyembahan (worship) itu menular. Apa maksudnya?

Pertama, penyembahan menular di dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Jika kita menyembah Tuhan yang benar dengan hati yang benar dan dengan cara yang berkenan, maka hidup kita akan dipenuhi dengan sukacita. Mengapa demikian, karena di dalam menyembah Tuhan kita menemukan arti hidup yang sesungguhnya. Manusia dicipta untuk menyembah Tuhan. Tidak ada sukacita yang lebih besar selain hidup sesuai dengan maksud Tuhan, sang pencipta. Di atas dasar itulah pemazmur tidak lelah mengajak umat Israel menyembah Tuhan.

Kedua, penyembahan sering menjadi pintu bagi mujizat-mujizat Tuhan. Penyembahan tidak berhenti hanya pada penyembahan itu sendiri. Penyembahan juga bukan menyuap Tuhan. Namun demikian, di dalam banyak kesempatan, pekerjaan Tuhan yang dahsyat dilakukan setelah umat-Nya menyembah. Contoh yang sederhana adalah mujizat di dalam Kisah Rasul 16 yang diawali oleh pujian dan penyembahan.

Ketiga, penyembahan yang benar mendorong orang lain untuk menyembah. Secara ilmu sosial, hidup manusia dipengaruhi oleh orang lain, dan ini merupakan faktor yang serius. Jika kita banyak bergaul dengan orang tidak jujur, kita berpotensi menjadi tidak jujur. Jika kita bergaul dengan orang yang suka mengeluh, maka kita berpotensi menjadi orang yang mengeluh. Jika kita bergaul dengan orang yang menyembah Tuhan, maka kitapun akan gemar menyembah Tuhan. Ingatlah bahwa orang benar menurut pemazmur (penyembah) adalah yang tidak duduk di antara pencemooh (1.1b), dan ingat juga bahwa pergaulan yang buruk merusak kebiasaan yang baik (1 Kor 15.33).

Keempat, menyembah Tuhan dengan ketulusan dan kejujuran menyempurnakan karakter. Semakin kita menyembah Tuhan, semakin kita melihat Tuhan sebagai yang terutama di dalam hidup kita. Yohanes 3.30 adalah inti penyembahan yang benar, Yesus makin besar dan aku makin kecil.

Kelima, penyembahan membawa kita kepada pengenalan akan Tuhan yang semakin akurat. Sepasang muda mudi yang berpacaran perlu belajar untuk menyenangkan pasangannya. Demikian juga suami istri atau hubungan antar sahabat. Menyembah Tuhan adalah belajar mengenal Tuhan, pribadi-Nya dan juga selera-Nya. Jangan menyembah Tuhan dengan tanpa bertanya, ‘Tuhan inikah yang Engkau inginkan?’ (2 Kor 5.9-10). 

Sunday 14 October 2012

WORSHIP GOD IN SPIRIT AND IN TRUTH (JOHN 4.23-24)




Biasanya ‘menyembah di dalam roh dan kebenaran’ dipakai untuk menunjukkan kontras antara pengalaman rohani yang penuh ekstasi dengan logika manusia. ‘Di dalam roh’ sering dimengerti sebagai bentuk penyembahan yang tidak dipahami oleh logika manusia. Sebaliknya ‘di dalam kebenaran’ mewakili akal sehat manusia. Beberapa orang menafsirkan ungkapan ini bahkan lebih jauh lagi, misalnya ‘di dalam roh’ adalah menyembah dengan bahasa roh, sedangkan ‘di dalam kebenaran’ berarti menyembah di dalam bahasa manusia.

Menurut ayat ke-23 dan ke-24, menyembah di dalam roh dan menyembah di dalam kebenaran bukanlah suatu pilihan. Mari kita perhatikan beberapa bagian penting dari teks ini: (1) Allah itu Roh (ay. 24); (2) penyembah yang dikehendaki adalah penyembah yang benar (ay. 23); (3) Cara menyembah yang dikehendaki adalah ‘di dalam roh dan kebenaran’ (ay. 24). Di dalam bahasa Yunani, kata ‘dan’ (kai) bisa menunjukkan dua hal yang berbeda (misalnya: mangga dan jambu). Namun kata tersebut dapat juga berfungsi untuk menekankan dua hal yang sama (misalnya: enak dan lezat). Karenanya kita bisa membaca ‘roh’ dan ‘kebenaran’ sebagai dua hal yang berbeda – atau sebagai dua hal yang sama. Jika roh dan kebenaran adalah dua hal yang sama, maka menyembah di dalam roh adalah menyembah di dalam kebenaran. Pemahaman ini nampaknya lebih tepat. Mengapa?

Allah adalah Roh (ay. 24). Bukankah Allah adalah juga kebenaran? Namun Injil Yohanes tidak merasa perlu untuk mengatakannya. Atribut yang dilekatkan pada penyembah (manusia) adalah ‘penyembah-penyembah benar’ (ay. 23). Bukankah manusia juga sesungguhnya makhluk rohani? Namun Injil Yohanes tidak merasa perlu untuk mengatakannya. Singkatnya, renungan ini mengajak pembaca memahami bahwa menyembah di dalam roh (apapun itu artinya) adalah menyembah di dalam kebenaran (apapun itu artinya). Keduanya mengungkapkan sesuatu yang sama.

Sebagai kesimpulan yang sederhana: Pertama, Allah adalah Roh, karenanya menyembah di dalam roh menunjukkan bahwa tindakan menyembah Tuhan adalah suatu usaha untuk memenuhi standar ilahi (apa yang disyaratkan oleh Tuhan). Menyembah bukanlah tindakan yang memuaskan penyembah, tetapi tindakan yang memuaskan Allah. Bukan perasaan manusia yang menjadi batu penguji, tetapi perasaan Tuhan yang menjadi standar. Kedua, kata ‘kebenaran’ menjelaskan syarat atau standar yang diminta Tuhan. Penyembah yang benar sudah seharusnya hidup benar dan di dalam kebenaran. Memang benar tidak ada manusia yang sempurna. Tapi adalah benar juga bahwa tidak sembarang orang dapat menghampiri hadirat Tuhan yang maha suci. Di dalam kedua ayat inilah (Yohanes 4.23-24), Tuhan Yesus menjelaskan tiga hal mendasar di dalam menyembah Tuhan: (1) fokus penyembahan adalah Tuhan; (2) standar penyembahan ditentukan oleh Allah; (3) syarat penyembahan yang benar adalah penyembah-penyembah yang hidup di dalam kebenaran.

THE LIFE OF A NAZIRITE: TRUE WORSHIPPER





Nazirite (Nazir Tuhan) adalah seseorang yang hidupnya didedikasikan untuk Tuhan. Biasanya disertai dengan sebuah nazar oleh orangtuanya atau oleh yang bersangkutan. Di dalam Perjanjian Lama, Samson (Hak 13-16) dan Samuel (1 Sam 1-3) adalah contoh dari Nazir Tuhan. Seorang Nazir Tuhan menjaga kehidupannya dengan beberapa karakteristik. Pertama, ia atau orangtuanya tidak menyentuh anggur (minuman yang memabukkan; Hak 13.4, 7, 14; 1 Sam 1.15). Kedua, ia atau orangtuanya tidak menyentuh sesuatu yang kotor/haram/najis, misalnya binatang yang telah mati (Hak 13.4, 7, 14; 1 Sam 1.15 di dalam hal ini Samson sesungguhnya juga gagal – dan Alkitab menceritakannya dengan terinci) . Ketiga, ia tidak mencukur rambutnya (Hak 13.5; 1 Sam 1.11; atau tindakan lain yang dinazarkan di hadapan Tuhan).


Bagi kebanyakan kita minum anggur bukanlah sesuatu yang luar biasa. Di dalam Perjanjian Lama, anggur melambangkan dua kepentingan. Di satu sisi, anggur adalah minuman yang memabukkan. Tapi pada saat yang sama, anggur melambangkan darah anak domba yang dikorbankan oleh Abraham, dan ditorehkan di setiap pintu rumah orang Israel pada jaman Musa. Seorang Nazir menghindari minum anggur yang memabukkan, tetapi sebaliknya memiliki kehausan kepada ‘anggur’ yang menyucikan. Seorang nazir Tuhan haus bukan kepada hal-hal duniawi, tetapi kepada Tuhan sendiri atau sesuatu yang kekal dan rohani yang berasal dari Tuhan.

Di dalam Taurat Musa, menyentuh sesuatu yang najis adalah menajiskan. Orang sakit kusta dianggap najis, demikian juga wanita yang habis melahirkan. Masih banyak lagi peraturan tentang apa yang najis dan apa yang tidak najis. Apa yang kudus dan apa yang tidak kudus. Nazir Tuhan adalah seseorang yang dipanggil secara khusus oleh Tuhan, dan karenanya dipisahkan untuk memiliki hidup yang kudus dan tidak berkompromi.

Terakhir, seorang Nazir Tuhan terikat pada nazarnya. Samson dan Samuel dinazarkan untuk tidak mencukur rambutnya. Tidak mencukur rambut satu atau dua bulan masih dapat diterima. Mungkin tidak potong rambut sampai enam bulan masih dapat ditoleransi. Namun jika tidak memotong rambut hingga lebih dari tiga puluh tahun, pasti tidak nyaman rasanya. Bagi si empunya rambut, tentu dirasakan sebagai suatu siksaan yang tidak masuk akal. Bagi orang lain yang memandangnya, tentu dirasakan sebagai suatu keanehan/ketidakwajaran. Diperlukan kerendahan hati untuk menjadi seorang Nazir Tuhan.

Sesungguhnya kehidupan seorang Nazir Tuhan menggambarkan kehidupan yang menyembah Tuhan. Di dalam sebuah penyembahan yang sejati dan di dalam diri seorang penyembah yang sejati diperlukan kehausan akan Tuhan, kekudusan hidup dan kerendahan hati yang mutlak di hadapan kehendak Tuhan yang sempurna (inspired by a short statement of Ps. Jerome Ocampo – Oct 5, 2012).

THE SPIRITUALITY OF WORSHIP (MZ 33.1; YES 29.13; LK 4.11; WHY 4.11)



Penyembahan (worship) adalah kata yang melukiskan tanggung jawab utama dan mendasar dari manusia di dalam hubungan dengan Tuhan. Meskipun penyembahan merupakan sebuah tanggung jawab tidak berarti hubungan antara manusia dan Tuhan kehilangan keintiman dan kemesraannya. Tanggung jawab di dalam menyembah Tuhan diikat oleh kasih dan kemurahan Tuhan yang tidak terbatas dan tanpa syarat. Kata ‘menyembah’ dalam konteks ini bukan suatu aktifitas sesaat, tetapi menyangkut seluruh kehidupan manusia. Karenanya, hidup orang Kristen sesungguhnya adalah hidup yang menyembah.

Perilaku manusia dapat dibagi menjadi beberapa bagian: (1) Tingkah Laku; (2) Nilai Hidup; (3) Kepercayaan/Iman; (4) Worldview/Cara Pandang. Tingkah laku adalah apa yang kita ekspresikan melalui wajah, perkataan, perbuatan dan ekspresi-ekspresi lainnya yang dapat dikenali orang lain. Nilai hidup adalah apa yang kita anggap sebagai sesuatu yang baik. Kepercayaan/Iman adalah apa yang kita anggap benar. Worldview adalah realita/kenyataan. Manusia yang konsisten, memiliki kehidupan yang harmonis dari realita, iman, nilai hidup dan tingkah laku. Manusia yang tidak konsisten (kadang-kadang disebut munafik atau fasik), mengalami disharmoni di antara ke-empat unsure di atas.

Ketika kita berbicara mengenai penyembahan, biasanya otak kita langsung tertuju kepada kegiatan menyembah Tuhan di gereja ibadah. Karenanya, mari kita menggunakan penyembahan di dalam ibadah gereja sebagai contoh kasus. Menyanyi, menari, angkat tangan, tepuk tangan, memejamkan mata, berteriak Amin Haleluya adalah contoh-contoh dari perilaku. Orang lain dapat melihatnya. Yang perlu kita pertanyakan adalah (1) apakah semua tindak tanduk yang kita lakukan sesuai dengan nilai-nilai di dalam hidup kita sebagai orang Kristen? Jika jawabnya ‘Ya’ – mari kita bertanya: Bagaimana kita menerapkan nilai-nilai tersebut di luar konteks gereja? (2) Apakah nilai hidup kita berakar dari iman kita? Paulus membedakan antara baik dan benar (Rm 5.7). Banyak manusia mendewakan sesuatu (menganggap hal tersebut sebagai suatu kebaikan) yang dilarang oleh imannya. Yang lebih berbahaya lagi adalah manusia yang mendewakan sesuatu yang tidak bertentangan dengan imannya, namun tidak berakar dari imannya. Kenyataan menyedihkan ini kita sebut iman yang tidak berbuah – atau buah yang baik dari halaman tetangga. (3) Bagaimana dengan realita hidup yang kita pahami? Sadarkah kita bahwa hidup kita sesungguhnya adalah hidup yang menyembah Tuhan – tidak peduli apapun yang kita percayai dan apapun yang kita pandang baik. Ketika kita menempatkan Tuhan sebagai sosok utama dan satu-satunya di dalam hidup kita, maka kita akan menjadi bukan sekedar manusia yang menyembah (to worship) Tuhan, tetapi kita adalah penyembah-penyembah Tuhan (true worshipper). Hanya dalam kenyataan inilah, penyembahan kita memiliki nilai rohani yang kekal.

Hari ini kita merayakan Canadian Thanksgiving Day. Kita diingatkan untuk mengucap syukur kepada Tuhan akan segala yang diperbuatnya, dan akan siapa Tuhan sesungguhnya. Mengucap syukur bukanlah acara setahun sekali atau seminggu sekali. Mengucap syukur tidak identik dengan persembahan atau perpuluhan atau pelayanan. Mengucap syukur adalah a lifetime act of worship. Ijinkan saya menantang kita semua untuk mengucap syukur bukan hanya di mulut dan perbuatan saja, namun membangun akarnya sampai ke aliran darah dan detak jantung kita. Sama dengan penyataan di atas, ketika pengucapan syukur kita berakar kuat pada nilai hidup, iman dan realita yang benar, maka ucapan syukur tersebut bernilai rohani dan kekal. 

Akhirnya, perilaku menyembah menunjukkan sikap rendah hati. Nilai hidup yang baik menunjukkan kekudusan hidup. Iman menunjukkan kebenaran yang kita percayai. Worldview menunjukkan dasar mengenai keberadaan kita dan segala keputusan kita – yang sesungguhnya adalah kasih karunia Tuhan semata. Penyembahan adalah respon kita terhadap kasih karunia Tuhan di dalam bentuk kerendahan hati, kekudusan hidup dan percaya teguh kepada kebenaran iman Kristen.