Di masa-masa
yang lampau ketika menulis surat masih merupakan budaya yang lazim, umumnya
penulis surat menjelaskan maksud suratnya di bagian awal atau di bagian akhir
tulisannya. Paragraf ini berisi penjelasan Paulus mengenai dasar-dasar dari
tulisannya kepada jemaat di Roma.
Paulus adalah
seorang rasul Kristus yang berlatar belakang Yahudi, namun ia memiliki
keyakinan bahwa Tuhan memanggilnya untuk melayani bangsa-bangsa bukan Yahudi.
Pada waktu itu, Yahudi tentunya identik dengan tanah Palestina, meskipun banyak
juga orang Yahudi yang mengadu nasib di luar Palestina (Diaspora). Pada masa
itu, Palestina ada di bawah kuasa kekaisaran Romawi. Bangsa Yahudi adalah salah satu etnik jajahan
pada masa itu. Jadi, bangsa yang bertuhan (Yahweh) dikuasai oleh bangsa yang
tidak bertuhan (kafir). Hubungan yang seperti ini tentulah tidak sederhana. Paulus
bukan seja seorang Kristen Yahudi yang terpanggil untuk melayani orang-orang
kafir, namun ia juga adalah bagian dari bangsa yang terjajah.
Roma adalah
ibukota dari kekaisaran Romawi. Kota ini secara politis, militer dan ekonomi
menjadi kota paling penting dan strategis. Roma adalah metropolis. Orang-orang
yang tinggal di Roma pada umumnya maju dan terpelajar. Tidaklah berlebihan
untuk menyimpulkan bahwa jemaat di Roma adalah juga jemaat yang maju dan
terpelajar (ay. 14). Narasi ini sedemikian menariknya karena ditulis oleh
seorang yang juga terpelajar, namun berasal dari bangsa yang terjajah, kepada
sebuah jemaat modern dan metropolis.
Pertama, Paulus mengajarkan kepada kita
bahwa sebuah pelayanan harus disertai dengan sikap yang rendah hati, apalagi
jika pelayanan tersebut ditujukan kepada orang-orang yang terhormat dan
berkelas. Apa yang dimaksud dengan rendah hati? Rendah hati itu kerelaan untuk
mengakui (acknowledging/recognizing) kelebihan-kelebihan orang lain (ay, 14).
Rendah hati itu tahu diri bahwa segala kemampuan dan keberanian yang dimiliki adalah
karunia Tuhan semata (ay. 15). Karenanya Paulus tidak sedikitpun merasa lebih
tinggi dibandingkan jemaat di Roma, meskipun ia adalah seorang rasul Kristus.
Rendah hati itu muncul di dalam sikap yang melayani dan tidak mementingkan arti
sebuah jabatan (ay. 16) – bukan sikap yang memerintah dan semena-mena. Paulus
memperkenalkan dirinya sebagai pelayan Kristus – bukan sebagai rasul Kristus.
Kedua, Paulus mengajarkan kepada kita
bahwa sebuah pelayanan harus disertai dengan tujuan yang jelas dan strategi
yang lengkap. Tujuan Tuhan di dalam memanggil Paulus adalah supaya ia
memberitakan Injil kepada bangsa-bangsa bukan Yahudi dan memimpin mereka kepada
ketaatan (ay. 16-19; cf. 1.5; 16.26). Strategi Paulus di dalam mengerjakan
tujuan tersebut adalah melalui perkataan, perbuatan dan tanda-tanda ajaib (ay.
18-19). Hamba Tuhan yang pandai mengajar dan berkotbah tetapi tidak melakukan
perbuatan baik, sekarang ini sering diolok-olok oleh jemaatnya. Sebagian
menjulukinya ‘asbun’ (asal bunyi), sebagian lainnya memanggilnya ‘NATO’ (No Action
Talk Only), dan masih ada ejekan-ejekan lainnya. Sebaliknya jika seorang hamba
Tuhan getol berbuat baik tetapi lupa menginjil, orang mengolok-ngolok yang
bersangkutan sebagai hamba Sinterklas. Masih ada lagi jenis hamba Tuhan lain
yang senang berdoa, bernubuat dan bermujizat sebagai sesuatu yang paling
penting. Toh orang juga sinis dan tidak puas: mereka mengatakan itu mistik,
sesat dan tidak alkitabiah. Paulus mengajar dan berkotbah memberitakan Injil.
Namun ia juga melakukan firman Tuhan di dalam dan melalui perbuatan-perbuatan
baik. Bukan itu saja, pelayanannya disertai dengan tanda-tanda ajaib. Kehadiran
Roh Kudus itu nyata di dalam pelayanan Paulus. Orang terkesima bukan kepada
Paulus, namun kepada Roh Kudus yang berkuasa dan ajaib.
Ketiga, Paulus mengajarkan kepada kita
bahwa sebuah pelayanan bukanlah arena untuk berkompetisi dan berebut pangsa
pasar (ay. 20-21). Jemaat di Roma sendiri sesungguhnya tidak didirikan oleh
Paulus. Terkadan ada yang menafsirkan secara naïf: berhubung di suatu kota yang
kecil sudah terdapat banyak sekali gereja, maka sebaiknya jangan memulai gereja
yang baru. Pertanyaan yang mendasar bukanlah berapa jumlah penduduk atau berapa
jumlah gereja di suatu kota, tetapi sejauh manakah nama Kristus dikenal (ay.
20). Tujuan Paulus bukan membangun gereja. Tujuan Paulus juga bukan untuk
bersaing dengan gereja yang sudah ada. Tujuan Paulus adalah memperkenalkan
Kristus kepada yang masih buta dan tuli (ay. 21). Kita sering berdalih dengan
berkata, ‘Aku mau maju di dalam pelayananku.’ Namun di balik kata-kata itu
tersirat, ‘Aku ingin lebih baik dari pelayanan yang dilakukannya.’ Paulus tidak memiliki dan
memelihara sikap seperti itu.
Sebagai pelayan Tuhan, kita sering masih
jauh dari apa yang disebut dengan rendah hati. Sebagai pelayan Tuhan, tujuan pelayanan kita juga sering dikaburkan oleh berbagai isu yang kurang penting.
Kelengkapan strategi pelayanan kitapun tidak jarang masih jauh dari cukup. Kita mungkin
bukan pesaing yang aktif, tetapi seperti yang tertulis di atas, keinginan untuk
maju sering membenarkan ambisi kita untuk melebihi orang lain. Waktunya untuk bertobat dan memperbaiki diri.
No comments:
Post a Comment