Monday 19 November 2012

ESSENTIALS FOR MINISTRY (ROMANS 15.14-21)




Di masa-masa yang lampau ketika menulis surat masih merupakan budaya yang lazim, umumnya penulis surat menjelaskan maksud suratnya di bagian awal atau di bagian akhir tulisannya. Paragraf ini berisi penjelasan Paulus mengenai dasar-dasar dari tulisannya kepada jemaat di Roma.

Paulus adalah seorang rasul Kristus yang berlatar belakang Yahudi, namun ia memiliki keyakinan bahwa Tuhan memanggilnya untuk melayani bangsa-bangsa bukan Yahudi. Pada waktu itu, Yahudi tentunya identik dengan tanah Palestina, meskipun banyak juga orang Yahudi yang mengadu nasib di luar Palestina (Diaspora). Pada masa itu, Palestina ada di bawah kuasa kekaisaran Romawi.  Bangsa Yahudi adalah salah satu etnik jajahan pada masa itu. Jadi, bangsa yang bertuhan (Yahweh) dikuasai oleh bangsa yang tidak bertuhan (kafir). Hubungan yang seperti ini tentulah tidak sederhana. Paulus bukan seja seorang Kristen Yahudi yang terpanggil untuk melayani orang-orang kafir, namun ia juga adalah bagian dari bangsa yang terjajah.

Roma adalah ibukota dari kekaisaran Romawi. Kota ini secara politis, militer dan ekonomi menjadi kota paling penting dan strategis. Roma adalah metropolis. Orang-orang yang tinggal di Roma pada umumnya maju dan terpelajar. Tidaklah berlebihan untuk menyimpulkan bahwa jemaat di Roma adalah juga jemaat yang maju dan terpelajar (ay. 14). Narasi ini sedemikian menariknya karena ditulis oleh seorang yang juga terpelajar, namun berasal dari bangsa yang terjajah, kepada sebuah jemaat modern dan metropolis.

Pertama, Paulus mengajarkan kepada kita bahwa sebuah pelayanan harus disertai dengan sikap yang rendah hati, apalagi jika pelayanan tersebut ditujukan kepada orang-orang yang terhormat dan berkelas. Apa yang dimaksud dengan rendah hati? Rendah hati itu kerelaan untuk mengakui (acknowledging/recognizing) kelebihan-kelebihan orang lain (ay, 14). Rendah hati itu tahu diri bahwa segala kemampuan dan keberanian yang dimiliki adalah karunia Tuhan semata (ay. 15). Karenanya Paulus tidak sedikitpun merasa lebih tinggi dibandingkan jemaat di Roma, meskipun ia adalah seorang rasul Kristus. Rendah hati itu muncul di dalam sikap yang melayani dan tidak mementingkan arti sebuah jabatan (ay. 16) – bukan sikap yang memerintah dan semena-mena. Paulus memperkenalkan dirinya sebagai pelayan Kristus – bukan sebagai rasul Kristus.

Kedua, Paulus mengajarkan kepada kita bahwa sebuah pelayanan harus disertai dengan tujuan yang jelas dan strategi yang lengkap. Tujuan Tuhan di dalam memanggil Paulus adalah supaya ia memberitakan Injil kepada bangsa-bangsa bukan Yahudi dan memimpin mereka kepada ketaatan (ay. 16-19; cf. 1.5; 16.26). Strategi Paulus di dalam mengerjakan tujuan tersebut adalah melalui perkataan, perbuatan dan tanda-tanda ajaib (ay. 18-19). Hamba Tuhan yang pandai mengajar dan berkotbah tetapi tidak melakukan perbuatan baik, sekarang ini sering diolok-olok oleh jemaatnya. Sebagian menjulukinya ‘asbun’ (asal bunyi), sebagian lainnya memanggilnya ‘NATO’ (No Action Talk Only), dan masih ada ejekan-ejekan lainnya. Sebaliknya jika seorang hamba Tuhan getol berbuat baik tetapi lupa menginjil, orang mengolok-ngolok yang bersangkutan sebagai hamba Sinterklas. Masih ada lagi jenis hamba Tuhan lain yang senang berdoa, bernubuat dan bermujizat sebagai sesuatu yang paling penting. Toh orang juga sinis dan tidak puas: mereka mengatakan itu mistik, sesat dan tidak alkitabiah. Paulus mengajar dan berkotbah memberitakan Injil. Namun ia juga melakukan firman Tuhan di dalam dan melalui perbuatan-perbuatan baik. Bukan itu saja, pelayanannya disertai dengan tanda-tanda ajaib. Kehadiran Roh Kudus itu nyata di dalam pelayanan Paulus. Orang terkesima bukan kepada Paulus, namun kepada Roh Kudus yang berkuasa dan ajaib.

Ketiga, Paulus mengajarkan kepada kita bahwa sebuah pelayanan bukanlah arena untuk berkompetisi dan berebut pangsa pasar (ay. 20-21). Jemaat di Roma sendiri sesungguhnya tidak didirikan oleh Paulus. Terkadan ada yang menafsirkan secara naïf: berhubung di suatu kota yang kecil sudah terdapat banyak sekali gereja, maka sebaiknya jangan memulai gereja yang baru. Pertanyaan yang mendasar bukanlah berapa jumlah penduduk atau berapa jumlah gereja di suatu kota, tetapi sejauh manakah nama Kristus dikenal (ay. 20). Tujuan Paulus bukan membangun gereja. Tujuan Paulus juga bukan untuk bersaing dengan gereja yang sudah ada. Tujuan Paulus adalah memperkenalkan Kristus kepada yang masih buta dan tuli (ay. 21). Kita sering berdalih dengan berkata, ‘Aku mau maju di dalam pelayananku.’ Namun di balik kata-kata itu tersirat, ‘Aku ingin lebih baik dari pelayanan yang dilakukannya.’ Paulus tidak memiliki dan memelihara sikap seperti itu.

Sebagai pelayan Tuhan, kita sering masih jauh dari apa yang disebut dengan rendah hati. Sebagai pelayan Tuhan, tujuan pelayanan kita juga sering dikaburkan oleh berbagai isu yang kurang penting. Kelengkapan strategi pelayanan kitapun tidak jarang masih jauh dari cukup. Kita mungkin bukan pesaing yang aktif, tetapi seperti yang tertulis di atas, keinginan untuk maju sering membenarkan ambisi kita untuk melebihi orang lain. Waktunya untuk bertobat dan memperbaiki diri.

No comments:

Post a Comment