Tuesday, 27 November 2012

THE SOUND OF CHRISTMAS (1): I HAVE COME NOT TO BRING PEACE BUT A SWORD (MATTHEW 10.34-11.1)



Siapakah musuh kita? Biasanya kata ‘musuh’ dimengerti sebagai orang-orang yang menciptakan suasana tidak menyenangkan. Ada gurauan yang mengatakan bahwa musuh terbesar bagi seseorang adalah mertuanya. Atau gurauan lain mengatakan bahwa musuh dari seorang suami adalah istri yang cerewet. Atau ada yang mengatakan bahwa musuh dari karyawan adalah bos – itu sebabnya salah satu pekerjaan karyawan adalah berdemonstrasi menunjukkan rasa tidak puas. Di dalam konteks gereja, orang Kristen juga tidak jarang punya musuh lho...

Di dalam konteks yang lebih rohani, musuh orang Kristen adalah iblis. Memang benar bahwa iblis itu musuh kita. Iblis tidak menyukai apa yang baik. Iblis selalu berusaha untuk merusak dan menghancurkan orang-orang Kristen dan keluarganya. Tidak jarang iblis mengikat seseorang dengan dosa-dosa dan permasalahan. Pemahaman seperti ini menekankan pentingnya pelayanan pelepasan (deliverance).

Namun demikian kita juga perlu belajar bahwa salah satu musuh yang terbesar di dalam hidup ini adalah diri sendiri. Di dalam Matius 10.34-11.1, Tuhan Yesus menyatakan salah satu tujuan kedatangan-Nya: Ia datang untuk membawa pedang (ay. 34). Pedang itu tajam dan berfungsi untuk memisahkan satu bagian dari bagian lainnya. Sekilas, jika kita membaca ayat 35-36, nampaknya Tuhan Yesus ingin memisahkan seseorang dari orang-orang yang dicintainya. Bahkan katanya, Tuhan Yesus akan menciptakan permusuhan di dalam keluarga-keluarga. Benarkah demikian?

Perhatikanlah ayat 37a, 37b, 38, 39, 40, 41 dan 42. Semua kalimat-kalimat tersebut dimulai dengan kata ‘barangsiapa.’ Entah itu hukuman atau pahala (tidak layak bagi Tuhan, kehilangan nyawa, memperoleh nyawa, upah nabi, upah orang benar) akan dialami oleh si ‘barangsiapa’ ini. Bukan ayahnya, bukan ibunya, bukan suaminya, bukan istrinya atau anaknya. Si ‘barangsiapa’ inilah yang akan menerima berkat atau hukuman. Jadi sesungguhnya musuh dari si ‘barangsiapa’ di dalam paragraf ini adalah si ‘barangsiapa’ itu sendiri (alias dirinya sendiri). Mata manusia melihat Tuhan memisahkan dirinya dari orang-orang atau benda-benda yang dikasihinya. Namun sesungguhnya pedang yang dibawa Tuhan sedemikian tajamnya dan datang untuk memisahkan manusia dari egonya.

Di dalam kisah ini, ego muncul dalam bentuk mengasihi orang-orang terdekat di dalam keluarga lebih dari Tuhan atau untuk kepentingan pribadi (ay. 37), tidak rela untuk berkorban dan memikul salib (ay. 38), selalu ingin menyelamatkan dirinya sendiri terlebih dahulu (ay. 39), tidak rela untuk bergaul dan melayani orang yang berbeda, yang tidak menyenangkan dan lebih rendah derajatnya (ay. 40-42).

Hari ini adalah minggu pertama di bulan Desember. Kita semua menyambut Tuhan Yesus yang sudah datang. Kiranya mereka yang mengaku umat Tuhan dan setia beribadah di gereja sudah mengalami kedatangan-Nya, yaitu mengalami pedang-Nya yang tajam.

Tuesday, 20 November 2012

MORE BLESSED TO GIVE THAN TO RECEIVE (ACTS 20.35)



Kata-kata di atas diucapkan oleh Paulus sebagai nasihat perpisahan kepada para penatua jemaat di Efesus (20.17-38). Biasanya pembaca kisah ini menafsirkan ‘memberi dan menerima’ di dalam konteks benda-benda materi (uang, makanan, dan kebutuhan-kebutuhan lainnya). Penafsiran yang demikian tidaklah salah, namun apa yang diberikan oleh Paulus di dalam pelayanannya selama tiga tahun di Asia Minor (termasuk Efesus) jauh lebih besar dibandingkan sekedar pengorbanan materi saja.

Pertama-tama secara hurufiah, Paulus memberikan hidupnya sendiri. Gara-gara pelayanan ini ia hampir mati di tangan orang-orang Yahudi yang tidak menyukainya (ay. 19, 22-24). Prinsip pelayanan Paulus adalah berjuang sampai titik darah yang terakhir. Panggilan Tuhan – bukan kenyamanan hidup – adalah tujuan Paulus di dalam seluruh hidupnya.

Kedua, Paulus memberikan pengajaran-pengajaran firman Tuhan yang memanggil pendengarnya untuk bertobat, percaya kepada Kristus dan hidup di dalam kehendak-Nya (ay. 20-21, 26-27, 31). Pelayanan Paulus tidak mengenal lelah dan memanfaatkan setiap waktu untuk memberitakan Injil dan mengajar firman Tuhan. Ia bahkan merasa yakin bahwa ia telah melakukan yang terbaik di dalam menyaksikan Injil keselamatan, bahkan kepada mereka yang menolaknya (ay. 26). Pemberitaan Injil dan kebenaran firman Tuhan bukan kegiatan sampingan, melainkan inti pelayanan Paulus.

Ketiga, Paulus juga mengorbankan emosinya. Dua kali, ia menyatakan bahwa di dalam pelayanannya, ia mencucurkan air mata (ay. 19, 32). Bukan rahasia lagi bahwa pelayanan Kristen sungguh menguras emosi lebih hebat dari sekedar menguras tenaga dan uang. Luka hati di dalam sebuah pelayanan karenanya bukanlah sesuatu yang baru dan perlu dikagetkan, karena Pauluspun telah mengalaminya. Air mata adalah saksi diam dari sebuah pengorbanan emosi.

Keempat dan terakhir, Paulus juga mengorbankan materi di dalam pelayanannya (ay. 33-35). Ia tidak membebani jemaat. Paulus bekerja keras untuk membiayai pelayanannya sendiri dan pelayanan kolega-koleganya. Bagi Paulus, membantu mereka yang lemah secara materi dan finansial adalah prinsip hidup yang tidak dapat ditawar-tawar (cf. 2 Kor 8. 13-14). Jika kita tidak atau belum rela untuk memberi dan berkorban secara material, maka akan sulit bagi kita untuk memberi dan berkorban di bidang-bidang yang lainnya. Ketika perampok bertanya: harta atau uang? Kita langsung berikan semua yang diminta perampok demi keselamatan kita. Ketika ditantang memberitakan Injil ke pedalaman atau memberikan persembahan misi di gereja saja, mayoritas umat percaya memilih memberikan uangnya ketimbang terjun di lapangan. Dan jika diminta untuk memilih luka hati atau berkorban materi, orang biasanya lebih senang berkorban secara materi. Karenanya kemurahan di dalam memberi dan berkorban adalah dasar yang menentukan bagaimana Tuhan akan memakai kita bagi kerajaan-Nya.

Monday, 19 November 2012

ESSENTIALS FOR MINISTRY (ROMANS 15.14-21)




Di masa-masa yang lampau ketika menulis surat masih merupakan budaya yang lazim, umumnya penulis surat menjelaskan maksud suratnya di bagian awal atau di bagian akhir tulisannya. Paragraf ini berisi penjelasan Paulus mengenai dasar-dasar dari tulisannya kepada jemaat di Roma.

Paulus adalah seorang rasul Kristus yang berlatar belakang Yahudi, namun ia memiliki keyakinan bahwa Tuhan memanggilnya untuk melayani bangsa-bangsa bukan Yahudi. Pada waktu itu, Yahudi tentunya identik dengan tanah Palestina, meskipun banyak juga orang Yahudi yang mengadu nasib di luar Palestina (Diaspora). Pada masa itu, Palestina ada di bawah kuasa kekaisaran Romawi.  Bangsa Yahudi adalah salah satu etnik jajahan pada masa itu. Jadi, bangsa yang bertuhan (Yahweh) dikuasai oleh bangsa yang tidak bertuhan (kafir). Hubungan yang seperti ini tentulah tidak sederhana. Paulus bukan seja seorang Kristen Yahudi yang terpanggil untuk melayani orang-orang kafir, namun ia juga adalah bagian dari bangsa yang terjajah.

Roma adalah ibukota dari kekaisaran Romawi. Kota ini secara politis, militer dan ekonomi menjadi kota paling penting dan strategis. Roma adalah metropolis. Orang-orang yang tinggal di Roma pada umumnya maju dan terpelajar. Tidaklah berlebihan untuk menyimpulkan bahwa jemaat di Roma adalah juga jemaat yang maju dan terpelajar (ay. 14). Narasi ini sedemikian menariknya karena ditulis oleh seorang yang juga terpelajar, namun berasal dari bangsa yang terjajah, kepada sebuah jemaat modern dan metropolis.

Pertama, Paulus mengajarkan kepada kita bahwa sebuah pelayanan harus disertai dengan sikap yang rendah hati, apalagi jika pelayanan tersebut ditujukan kepada orang-orang yang terhormat dan berkelas. Apa yang dimaksud dengan rendah hati? Rendah hati itu kerelaan untuk mengakui (acknowledging/recognizing) kelebihan-kelebihan orang lain (ay, 14). Rendah hati itu tahu diri bahwa segala kemampuan dan keberanian yang dimiliki adalah karunia Tuhan semata (ay. 15). Karenanya Paulus tidak sedikitpun merasa lebih tinggi dibandingkan jemaat di Roma, meskipun ia adalah seorang rasul Kristus. Rendah hati itu muncul di dalam sikap yang melayani dan tidak mementingkan arti sebuah jabatan (ay. 16) – bukan sikap yang memerintah dan semena-mena. Paulus memperkenalkan dirinya sebagai pelayan Kristus – bukan sebagai rasul Kristus.

Kedua, Paulus mengajarkan kepada kita bahwa sebuah pelayanan harus disertai dengan tujuan yang jelas dan strategi yang lengkap. Tujuan Tuhan di dalam memanggil Paulus adalah supaya ia memberitakan Injil kepada bangsa-bangsa bukan Yahudi dan memimpin mereka kepada ketaatan (ay. 16-19; cf. 1.5; 16.26). Strategi Paulus di dalam mengerjakan tujuan tersebut adalah melalui perkataan, perbuatan dan tanda-tanda ajaib (ay. 18-19). Hamba Tuhan yang pandai mengajar dan berkotbah tetapi tidak melakukan perbuatan baik, sekarang ini sering diolok-olok oleh jemaatnya. Sebagian menjulukinya ‘asbun’ (asal bunyi), sebagian lainnya memanggilnya ‘NATO’ (No Action Talk Only), dan masih ada ejekan-ejekan lainnya. Sebaliknya jika seorang hamba Tuhan getol berbuat baik tetapi lupa menginjil, orang mengolok-ngolok yang bersangkutan sebagai hamba Sinterklas. Masih ada lagi jenis hamba Tuhan lain yang senang berdoa, bernubuat dan bermujizat sebagai sesuatu yang paling penting. Toh orang juga sinis dan tidak puas: mereka mengatakan itu mistik, sesat dan tidak alkitabiah. Paulus mengajar dan berkotbah memberitakan Injil. Namun ia juga melakukan firman Tuhan di dalam dan melalui perbuatan-perbuatan baik. Bukan itu saja, pelayanannya disertai dengan tanda-tanda ajaib. Kehadiran Roh Kudus itu nyata di dalam pelayanan Paulus. Orang terkesima bukan kepada Paulus, namun kepada Roh Kudus yang berkuasa dan ajaib.

Ketiga, Paulus mengajarkan kepada kita bahwa sebuah pelayanan bukanlah arena untuk berkompetisi dan berebut pangsa pasar (ay. 20-21). Jemaat di Roma sendiri sesungguhnya tidak didirikan oleh Paulus. Terkadan ada yang menafsirkan secara naïf: berhubung di suatu kota yang kecil sudah terdapat banyak sekali gereja, maka sebaiknya jangan memulai gereja yang baru. Pertanyaan yang mendasar bukanlah berapa jumlah penduduk atau berapa jumlah gereja di suatu kota, tetapi sejauh manakah nama Kristus dikenal (ay. 20). Tujuan Paulus bukan membangun gereja. Tujuan Paulus juga bukan untuk bersaing dengan gereja yang sudah ada. Tujuan Paulus adalah memperkenalkan Kristus kepada yang masih buta dan tuli (ay. 21). Kita sering berdalih dengan berkata, ‘Aku mau maju di dalam pelayananku.’ Namun di balik kata-kata itu tersirat, ‘Aku ingin lebih baik dari pelayanan yang dilakukannya.’ Paulus tidak memiliki dan memelihara sikap seperti itu.

Sebagai pelayan Tuhan, kita sering masih jauh dari apa yang disebut dengan rendah hati. Sebagai pelayan Tuhan, tujuan pelayanan kita juga sering dikaburkan oleh berbagai isu yang kurang penting. Kelengkapan strategi pelayanan kitapun tidak jarang masih jauh dari cukup. Kita mungkin bukan pesaing yang aktif, tetapi seperti yang tertulis di atas, keinginan untuk maju sering membenarkan ambisi kita untuk melebihi orang lain. Waktunya untuk bertobat dan memperbaiki diri.

Friday, 9 November 2012

GENEROSITY 1: HE WAS RICH, YET FOR YOUR SAKE HE BECAME POOR (2 CORINTHIANS 8-9)




Tidak banyak orang mengenal jemaat Makedonia. Alkitab tidak mencatat bahwa Petrus atau Paulus pernah menuliskan surat kepada jemaat Makedonia. Korintus, sebaliknya adalah wilayah yang sangat terkenal. Korintus adalah pusat lalu lintas perdagangan Asia-Eropa. Kota ini sangat kaya, semarak dan metropolis. Orang dari berbagai kepercayaan dan suku bangsa hidup di Korintus. Ahli-ahli filsafat Yunani mencari uang juga di Korintus. Singkatnya Korintus adalah salah satu kota teramai pada waktu itu. Jemaat Makedonia adalah jemaat yang miskin dan berkekurangan, namun mereka terkenal karena kemurahannya (2 Kor 8.2). 2 Korintus 8-9 dituliskan untuk menegur jemaat Korintus yang kaya akan segalanya (1 Kor 1. 4-9; 2 Kor 8.7) untuk belajar memberi seperti yang diteladankan oleh jemaat Makedonia yang berkekurangan (2 Kor 8.2).

Pertama, memberi yang benar adalah disertai dengan sukacita (ay. 2). Orang miskin bisa memberi dengan benar. Orang sakit dapat menjadi murah hati. Orang yang menderita dapat memberi dengan limpah. Kemiskinan, penyakit dan penderitaan bukan penghalang untuk memberi dengan sukacita. Yang menjadi penghalang adalah sikap yang mementingkan diri sendiri dan tidak peduli kepada yang lainnya. Orang pelit juga dapat memberi banyak – namun tanpa disertai dengan sukacita, sebaliknya dengan menggerutu dan disertai perasaan terpaksa. Ketika kita memberi, yakinkan bahwa ada sukacita meluap di dalamnya karena kasih Tuhan sudah terlalu besar bagi kita (ay. 1).

Kedua, murah hati adalah mengikuti teladan Tuhan Yesus. Kemurahan bukan sekedar nilai positif yang dikenal oleh agama-agama atau iman Kristen. Kemurahan adalah contoh hidup Tuhan Yesus. Bagi Tuhan Yesus kemurahan itu memiskinkan diri dan memperkaya orang lain. Jika seseorang memiliki 100 Miliar dan memberikan 100 juta diantaranya untuk pembangunan gereja, itu belum setara dengan yang diteladankan Tuhan Yesus. Ia mati supaya kita beroleh hidup. Ia menjadi miskin supaya kita kaya. Jadi memberi mengandung pengorbanan yang signifikan bagi si pemberi (ay. 8-9).

Ketiga, sebuah nazar untuk memberi harus dipenuhi (ayat 10-12). Bagian ini bukan dimaksudkan untuk membuat kita takut berjanji kepada Tuhan. Bagian ini sebaliknya mendorong kita untuk memiliki tekad di dalam memberi, tetapi juga menyelesaikan tekad tersebut hingga tuntas.

Keempat, Paulus memandang pentingnya jemaat untuk maju bersama (ay. 13-15). Beberapa orang memandang ayat-ayat ini adalah dasar dari paham sosialis. Paulus bukan seorang sosialis, tetapi baginya tubuh Kristus yang sehat (1 Kor 12-14) adalah tubuh Kristus yang bertumbuh bersama. Jangan sampai tangan terlalu panjang, tetapi telinganya tuli. Dan jangan sampai otak sedemikian cemerlang, tetapi hatinya tumpul. Disinilah dasar argumen yang penting mengapa sebagai anggota tubuh Kristus, yaitu jemaatnya, kita perlu bermurah hati.

Kelima, kerelaan memberi tidak dapat diajarkan melalui kotbah atau bible study. Kerelaan untuk memberi ditularkan melalui keteladanan. Itu sebabnya Paulus meminta jemaat Korintus untuk meneladani jemaat Makedonia. Paulus tidak sedang mengajar teologia memberi, ia hanya meminta jemaat Korintus untuk meneladani apa yang dilakukan oleh jemaat Makedonia.