Sunday, 30 December 2012

THE SOUND OF CHRISTMAS (5): I HAVE COME NOT TO ABOLISH THE LAW AND THE PROPHETS, BUT TO FULFIL THEM (MATTHEW 5.17)



Ketika Tuhan Yesus menyebut Hukum Taurat dan Kitab Para Nabi, maka yang dimaksudkan adalah kitab-kitab Perjanjian Lama yang pada waktu itu diakui sebagai kitab suci bagi orang Israel. Kitab suci orang Israel setidaknya mengandung beberapa isi penting, diantaranya adalah nubuat, peraturan ibadah, tuntunan hidup dan hukum moral yang berlaku di dalam agama Yahudi. Tuhan Yesus menegaskan bahwa kedatangan-Nya adalah untuk menggenapi apa yang telah dituliskan di dalam kitab suci.

Di dalam konteks nubuat, kelahiran Tuhan Yesus menggenapi apa yang telah dinubuatkan oleh nabi-nabi Perjanjian Lama. Firman Tuhan tidak pernah gagal. Apa yang dikatakan Tuhan ditepati-Nya (Roma 9.6).

Di dalam konteks tuntunan etika kehidupan, Tuhan Yesus mengatakan bahwa kedatangan-Nya juga tidak menghapuskan apa yang telah ditetapkan di dalam Taurat dan Kitab Para Nabi. Tuhan Yesus datang untuk menggenapinya. Apa maksud kata ‘menggenapi’ tuntunan moral di dalam Perjanjian Lama. Beberapa kemungkinan dari arti kata ‘menggenapi’ adalah sebagai berikut: (1) Tuhan Yesus menyempurnakannya. Apa yang belum lengkap di dalam Perjanjian Lama disempurnakan oleh Tuhan Yesus. Di dalam dunia teologia, hal seperti ini dikenal sebagai progressive revelation. Yang lalu menjadi landasan bagi yang baru. (2) Tuhan Yesus menjelaskan arti yang sesungguhnya dibalik mentaati peraturan-peraturan Perjanjian Lama. Selama ini orang Israel melalaikan hakikat Taurat Tuhan. Mereka melakukan karena kewajiban ritual belaka. Tuhan Yesus di dalam hal ini menjelaskan the heart of the law untuk memperbaiki kekeliruan orang Israel. (3) Tuhan Yesus meneruskan tradisi yang diajarkan oleh Taurat. Tuhan Yesus tidak menentangnya, tetapi melakukan reformasi pelaksanaannya untuk dapat diaplikasikan sesuai dengan jaman pada waktu itu.

Ketiga motif di atas bisa jadi adalah arti dari kata ‘menggenapi’ yang dimaksud oleh Tuhan Yesus. Ia datang sebagai utusan Tuhan yang superior dan lebih tinggi dibanding Taurat. Namun Ia tidak sama sekali menentang Taurat. Yesus menyempurnakannya, membuatnya relevan dan menjelaskan makna sesungguhnya dibalik mentaati Taurat Tuhan.

Di akhir tahun biasanya kita melakukan evaluasi hidup dari tahun yang akan kita segera lewati. Sudahkah hidup kita mencerminkan apa yang difirmankan oleh Tuhan di dalam Alkitab? Kita perlu hidup di dalam tuntunan Tuhan untuk tahun yang baru nanti. Kita dituntut untuk mentaati firman Tuhan, membuatnya relevan dan melakukannya dengan sepenuh hati. Kiranya hidup kita boleh semakin selaras dengan yang difirmankan Tuhan.

Wednesday, 19 December 2012

THE SOUND OF CHRISTMAS (4): I HAVE COME NOT TO JUDGE THE WORLD BUT TO SAVE IT (JOHN 12.44-50)



Jarak dari Jakarta menuju Surabaya sekitar 1,000Km. Jarak antara Jakarta menuju Vancouver sekitar 13,000Km. Jarak antara bulan dan bumi sekitar 384,000Km. Seberapa jauhkan jarak dari Surga ke dunia? Sejauh manakah jarak antara Tuhan dan manusia? Jarak terjauh yang pernah terjadi di dalam sejarah umat manusia adalah jarak antara Kristus yang adalah Anak Allah menjadi bayi Yesus yang adalah Anak Manusia. Di dalam Yohanes 12.46-47, Tuhan Yesus mengatakan bahwa jarak yang sedemikian jauhnya dan sulitnya itu ditempuh karena tujuan yang jelas: menjadi terang di tengah kegelapan dan menyelamatkan dunia yang tersesat.

Kebanyakan agama memandang Tuhan seperti penegak hukum yang bertugas untuk menghakimi. Itu karenanya banyak pemeluk agama berbuat baik dan amal untuk ‘menyuap’ Tuhan. Maksudnya adalah: supaya terhindar dari amarah Tuhan, maka lebih baik kita berbuat amal. Iman Kristen tidaklah demikian. Tuhan Yesus diutus oleh Bapa di Surga untuk menyelamatkan dunia ini. Kasih-Nya yang besar menawarkan keselamatan bagi umat manusia. Bagi yang menolaknya, hukuman itu akan datang. Kasih dikirimkan lebih dahulu melalui Yesus Kristus. Hukuman disediakan bagi mereka yang tidak mau menerimanya. Inisiatif keselamatan adalah dari Tuhan sendiri. Jika Tuhan hanya ingin menghakimi dan menghukum manusia, Ia tidak perlu menjadi manusia dan lahir di palungan hina.

Di dalam paragraph ini (Yohanes 12. 44-50), Tuhan Yesus menjelaskan hubungan-Nya dengan Bapa di Surga. Tuhan Yesus mengatakan bahwa percaya kepada-Nya adalah percaya kepada Bapa di Surga (bagi orang Yahudi: Yahweh). Sebaliknya, menolak Tuhan Yesus adalah menolak Dia yang mengutus-Nya. Melihat Yesus adalah melihat Bapa. Mendengar firman yang diucapkan Tuhan Yesus adalah mendengar firman Allah semesta Alam. Singkatnya, Tuhan Yesus dan Bapa di Surga terikat di dalam kesatuan. Namun perhatikan ini: Tuhan Yesus diutus untuk menyelamatkan dunia. Bagi yang menolaknya, sudah ada hakimnya, yaitu firman dari Allah Bapa.

Natal adalah sebuah sukacita, dimana Tuhan berinisiatif untuk menyatakan kasih-Nya kepada umat manusia. Sikap yang tepat di hari Natal adalah menerima kasih dan pesan keselamatan yang dibawa oleh Tuhan Yesus, serta mengucap syukur untuk segala kebaikan-Nya.

THE SOUND OF CHRISTMAS (3): I HAVE COME TO GIVE YOU LIFE AND HAVE IT ABUNDANTLY (JOHN 10.10)



Seorang gembala masuk dalam kandang domba melalui sebuah pintu. Ia tidak masuk dengan paksa atau dengan sembunyi-sembunyi. Penjaga-penjaga pintu membuka pintu baginya untuk masuk menemui domba-dombanya. Gembala menuntun domba-dombanya keluar dari kandang. Ia berjalan di depan. Domba-domba mendengarkan suara sang gembala dan mengikutinya. Tuhan Yesus bukan saja gembala yang baik, Ia juga adalah pintu. Domba-domba yang masuk melalui Tuhan Yesus akan selamat. Domba-domba yang keluar masuk kandang melalui pintu yang adalah Tuhan Yesus sendiri akan menemukan padang rumput (10.1-9).

Jika domba-domba adalah gambaran dari umat percaya, maka mereka adalah umat yang telah diselamatkan, karena mereka telah memilih untuk masuk melalui pintu yang benar, yaitu Tuhan Yesus sendiri. Pintu adalah sebuah awal dari sebuah pengalaman yang baru atau akhir dari sebuah pengalaman yang lama. Pengalaman hidup, betapapun hebatnya atau betapapun suksesnya atau betapapun kayanya, jika tidak dimulai bersama dengan Tuhan Yesus tidak akan ada artinya apa-apa dan berujung kepada kebinasaan. Bukankah Tuhan Yesus sendiri mengatakan bahwa Ia adalah pintu dan barangsiapa masuk melaluinya akan selamat.

Pengalaman lain yang juga luar biasa adalah pengalaman padang rumput. Domba-domba yang keluar dan masuk melalui pintu yang adalah Tuhan Yesus sendiri akan menemukan padang rumput. Tidaklah terlalu sulit untuk menterjemahkan padang rumput sebagai sumber makanan dan kecukupan, bahkan kelimpahan dan kemakmuran. Penafsiran akan ayat ini menimbulkan banyak perdebatan di kalangan ahli teologia. Cukup bagi kita untuk memahami bahwa Tuhan menjanjikan segala yang baik bagi mereka yang hidup percaya kepada-Nya dan di dalam kehendak-Nya. Hidup yang berkelimpahan atau penuh di dalam Yohanes 10.10 diterjemahkan sebagai berikut: (1) dikenal dan diingat oleh Tuhan Yesus; (2) dituntun dan dipimpin oleh Tuhan Yesus; (3) dicukupkan kebutuhan hidupnya oleh Tuhan Yesus; (4) dilindungi dan diselamatkan oleh Tuhan Yesus.

Di dalam kisah ini terdapat 3 oknum berkaitan dengan kehidupan domba-domba. Pertama adalah pencuri atau perampok yang masuk kandang sembunyi-sembunyi. Perampok dan pencuri mendatangkan segala yang buruk: mencuri, membunuh dan membinasakan. Kedua adalah orang upahan yang digaji untuk mengurus domba-domba. Mereka bekerja berdasarkan upah yang diberikan. Di dalam situasi yang mengancam, mereka meninggalkan domba-domba di dalam bahaya. Mereka mencari selamat sendiri. Ketiga, gembala yang baik, yang adalah Tuhan Yesus sendiri. Ia menjanjikan keselamatan dan hidup yang berkelimpahan, bukan dengan uang, emas dan berlian, tetapi melalui darah dan nyawanya sendiri (10.11-18).

Kelahiran-Nya kita rayakan pada hari ini. Kristus sudah datang untuk memberikan pengalaman yang baru bagi manusia, yaitu keselamatan kekal dan hidup di dalam segala kelimpahan di dalam rencana-Nya yang baik dan sempurna. Sudahkah kita mengalami-Nya.

Monday, 10 December 2012

THE SOUND OF CHRISTMAS (2): I HAVE COME TO CALL NOT THE RIGHTEOUS BUT SINNERS (LUKE 5.27-32)




Salah satu pertobatan yang luar biasa di dalam Perjanjian Baru adalah kisah seorang pemungut cukai yang bernama Lewi. Pemungut Cukai bertugas memungut pajak dari masyarakat. Pajak yang dikumpulkan diserahkan kepada pemerintah yang berkuasa, yaitu kekaisaran Romawi. Pemungut cukai adalah profesi yang tidak disukai oleh masyarakat Yahudi. Pemungut cukai dianggap sebagai perampok, penjilat, dan pekerja bagi penjajah. Orang Yahudi tidak anti membayar pajak, namun mereka anti membayar pajak kepada penjajah yang kafir. Karenanya, pemungut cukai dianggap sebagai orang berdosa. Mereka adalah penghianat karena bekerja untuk penjajah.

Disamping itu, pemungut cukai juga tidak disukai karena urusan pajak sering berkaitan dengan dua dosa yang merugikan. Pertama, pemungut cukai mudah terjebak dalam korupsi dan penipuan uang (band. Zakheus dalam Lukas 19.1-10). Kedua, proses memungut pajak terkadang melibatkan kekerasan. Gambaran di atas nampaknya cukup untuk menjelaskan mengapa pemungut cukai dibenci oleh masyarakat.

Pertobatan Lewi sangat sederhana. Ketika Tuhan Yesus memanggilnya, ia berdiri – ia tidak menunda. Lewi meninggalkan segala sesuatu – pertobatan selalu meninggalkan dosa dan keterikatan dengan masa lalu. Terakhir, Lewi mengikut Yesus – tindakan ini menyatakan bahwa pertobatan memberi arah hidup yang baru (ay. 27-28).

Setelah Lewi bertobat, ia mengadakan perjamuan besar untuk Tuhan Yesus. Tindakan pertama setelah pertobatan adalah mengucap syukur kepada Tuhan Yesus. Dan jangan lupa, perjamuan ini adalah perjamuan besar. Mengucap syukur dengan tulus, tentunya disertai dengan semangat untuk memberikan yang terbaik, bukan yang kurang berarti. Karena Lewi adalah pemungut cukai, maka teman-teman pergaulannya juga para pemungut cukai. Singkatnya pesta pengucapan syukur itu dipenuhi oleh pendosa yang jauh dari sucinya agama (ay. 29).

Orang Farisi yang memang sejak awalnya tidak menyukai Tuhan Yesus menemukan satu alasan lagi untuk menyalahkannya. Mereka berkata: ‘Lho rohaniwan kog bergaulnya sama pendosa? – Pasti ia bukan rohaniwan sejati.’ Dari tuduhan itulah, Tuhan mengatakan bahwa Ia datang untuk orang berdosa, bukan untuk orang benar; untuk orang sakit, bukan orang sehat (ay. 30-32). Apakah Tuhan membenci orang benar? Tidak. Tapi Tuhan Yesus melandasi perkataannya di atas 3 dasar: (1) Kritik terhadap orang Farisi yang merasa benar secara ritual, tetapi bobrok secara etika dan moral; (2) Kritik terhadap orang Farisi yang merasa benar sendiri dan selalu memandang orang rendah orang lain yang tidak sebaik dirinya; (3) Tuhan Yesus datang supaya orang-orang memperoleh keselamatan melalui pertobatan. Yang merasa benar tentu tidak memerlukan Tuhan Yesus. Yang merasa sehat, tentu tidak memerlukan dokter. Hanya yang berdosa akan mencari Tuhan Yesus, sumber keselamatan itu.

Natal telah tiba. Tuhan Yesus sudah datang. Sudahkan kita mengalami kedatangan-Nya dengan bertobat dan memulai hidup yang baru? Semua proses pertobatan dimulai dari pengakuan yang jujur akan kejahatan dan dosa-dosa kita.

Tuesday, 27 November 2012

THE SOUND OF CHRISTMAS (1): I HAVE COME NOT TO BRING PEACE BUT A SWORD (MATTHEW 10.34-11.1)



Siapakah musuh kita? Biasanya kata ‘musuh’ dimengerti sebagai orang-orang yang menciptakan suasana tidak menyenangkan. Ada gurauan yang mengatakan bahwa musuh terbesar bagi seseorang adalah mertuanya. Atau gurauan lain mengatakan bahwa musuh dari seorang suami adalah istri yang cerewet. Atau ada yang mengatakan bahwa musuh dari karyawan adalah bos – itu sebabnya salah satu pekerjaan karyawan adalah berdemonstrasi menunjukkan rasa tidak puas. Di dalam konteks gereja, orang Kristen juga tidak jarang punya musuh lho...

Di dalam konteks yang lebih rohani, musuh orang Kristen adalah iblis. Memang benar bahwa iblis itu musuh kita. Iblis tidak menyukai apa yang baik. Iblis selalu berusaha untuk merusak dan menghancurkan orang-orang Kristen dan keluarganya. Tidak jarang iblis mengikat seseorang dengan dosa-dosa dan permasalahan. Pemahaman seperti ini menekankan pentingnya pelayanan pelepasan (deliverance).

Namun demikian kita juga perlu belajar bahwa salah satu musuh yang terbesar di dalam hidup ini adalah diri sendiri. Di dalam Matius 10.34-11.1, Tuhan Yesus menyatakan salah satu tujuan kedatangan-Nya: Ia datang untuk membawa pedang (ay. 34). Pedang itu tajam dan berfungsi untuk memisahkan satu bagian dari bagian lainnya. Sekilas, jika kita membaca ayat 35-36, nampaknya Tuhan Yesus ingin memisahkan seseorang dari orang-orang yang dicintainya. Bahkan katanya, Tuhan Yesus akan menciptakan permusuhan di dalam keluarga-keluarga. Benarkah demikian?

Perhatikanlah ayat 37a, 37b, 38, 39, 40, 41 dan 42. Semua kalimat-kalimat tersebut dimulai dengan kata ‘barangsiapa.’ Entah itu hukuman atau pahala (tidak layak bagi Tuhan, kehilangan nyawa, memperoleh nyawa, upah nabi, upah orang benar) akan dialami oleh si ‘barangsiapa’ ini. Bukan ayahnya, bukan ibunya, bukan suaminya, bukan istrinya atau anaknya. Si ‘barangsiapa’ inilah yang akan menerima berkat atau hukuman. Jadi sesungguhnya musuh dari si ‘barangsiapa’ di dalam paragraf ini adalah si ‘barangsiapa’ itu sendiri (alias dirinya sendiri). Mata manusia melihat Tuhan memisahkan dirinya dari orang-orang atau benda-benda yang dikasihinya. Namun sesungguhnya pedang yang dibawa Tuhan sedemikian tajamnya dan datang untuk memisahkan manusia dari egonya.

Di dalam kisah ini, ego muncul dalam bentuk mengasihi orang-orang terdekat di dalam keluarga lebih dari Tuhan atau untuk kepentingan pribadi (ay. 37), tidak rela untuk berkorban dan memikul salib (ay. 38), selalu ingin menyelamatkan dirinya sendiri terlebih dahulu (ay. 39), tidak rela untuk bergaul dan melayani orang yang berbeda, yang tidak menyenangkan dan lebih rendah derajatnya (ay. 40-42).

Hari ini adalah minggu pertama di bulan Desember. Kita semua menyambut Tuhan Yesus yang sudah datang. Kiranya mereka yang mengaku umat Tuhan dan setia beribadah di gereja sudah mengalami kedatangan-Nya, yaitu mengalami pedang-Nya yang tajam.