Thursday, 16 August 2012

GOD'S HEART FOR THE LOST


Uang menggambarkan kekayaan materi dari pemiliknya. Selain itu, uang juga menggambarkan status atau ‘kelas’ sosial dari seseorang. Di dalam Lukas 15.8-10 diceritakan mengenai seorang perempuan yang memiliki sepuluh dirham. Dirham adalah uang yang terbuat dari logam emas atau perak. Satu dirham beratnya kira-kira 8 gram. Di tanah Palestina dua ribu tahun lalu, bukanlah suatu hal yang wajar bagi perempuan untuk memiliki dirham, apalagi jika jumlahnya sepuluh buah. Perempuan ini pastilah seorang kaya dan berkelas – atau setidaknya ia sangat beruntung. Karenanya bagi perempuan ini, dirham-dirham tersebut sangat berharga. Perumpamaan ini akan sedikit berbeda jika pemiliknya adalah laki-laki yang mengendalikan ekonomi keluarga dan terbiasa dengan uang di dompetnya.

Apa yang terjadi jika satu di antara dirham-dirham tersebut hilang? Jawabnya: perempuan tersebut akan dengan sekuat tenaga mengerahkan usahanya untuk menemukan dirham yang hilang tersebut. Injil Lukas mengatakan bahwa ia akan menyalakan pelita (using the best tool), menyapu rumah (doing the right thing) dan mencarinya dengan cermat (focus). Sampai kapan? Sampai dirham tersebut ditemukan kembali (15.8 - persistence). Sepuluh dirham yang dimiliki perempuan tersebut menggambarkan hidup manusia kepunyaan Tuhan. Hidup manusia itu sedemikian berharganya di hadapan Tuhan. Tuhan tidak menginginkan kepunyaan-Nya itu terhilang. Namun jika kepunyaan-Nya itu terhilang, Tuhan akan berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menemukannya. Gambaran tersebut menggambarkan hati Tuhan melihat manusia berdosa yang tersesat. Mereka sejatinya adalah milik Tuhan, dan Tuhan ingin supaya manusia milik-Nya itu bertobat dan kembali kepada-Nya.

Jika dirham yang terhilang tadi berhasil ditemukan, bersukacitalah perempuan itu. Ia mengalami kelepasan dan kelegaan karena apa yang dicarinya ditemukannya kembali. Tidak hanya itu, perempuan tersebut dengan bangga menyatakan sukacitanya kepada tetangga-tetangganya (15.9). Ketika manusia yang terhilang kembali kepada Tuhan; ketika yang tersesat dan berdosa bertobat, hati Tuhan meluap dengan sukacita. Sukacita yang besar ini bahkan menular kepada para malaikat di surga (15.10).

Singkatnya: (1) Tuhan terluka ketika milik kepunyaan-Nya tersesat meninggalkan-Nya. (2) Tuhan berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mencari kepunyaan-Nya yang hilang dan tersesat dengan segala usaha yang dapat dilakukan-Nya. (3) Tuhan sangat bersukacita ketika miliknya yang tersesat dan berdosa bertobat dan kembali kepada-Nya. Jika kita dapat memahami hati Tuhan yang seperti ini, sebagai gereja-Nya kita perlu bertanya: Sudahkan kita menjadi gereja atau orang percaya yang memiliki hati Tuhan? Sudahkah kita menyalakan pelita, menyapu rumah, mencari dengan cermat sampai yang berdosa dan tersesat kembali dan bertobat? (EP)

GOD'S HEART FOR THE DESTITUTES

Kata ‘miskin’ di dalam bahasa Yunani adalah ptochos. Kata ini sebenarnya lebih tepat untuk diterjemahkan dengan arti ‘malang’ atau ‘kemalangan’ – dan tidak seharusnya diartikan dengan sempit sebagai kemiskinan finansial. Pada jaman Perjanjian Baru telah terjadi segregasi masyarakat dimana sistem agamawi dan struktur sosial telah menguntungkan sebagian orang, dan akibatnya merugikan banyak orang. Mereka yang dirugikan disebut oleh Alkitab sebagai ptochos, artinya: kaum yang malang, yang tersisih, kelas dua, yang marjinal, dan yang terpinggirkan. Mereka ini adalah secara etnis orang-orang non-Yahudi (Lk 10.25-37), secara jender kaumperempuan (Lk 7.36-50) dan para janda (Lk 20.45-21.4), secara kelompok usia adalah anak-anak (Lk 18.15-17), secara religius orang berdosa dan pemungut cukai (Lk 19.1-10), secara ekonomi kaum miskin (Lk 18.1-8), secara kondisi jasmaniah orang-orang cacat dan yang tidak tahir (Lk 18.35-43). Semua kelompok tersebut oleh penguasa politik dan pemimpin agama pada waktu itu dianggap kelompok yang terpinggirkan: mereka bukan bagian dari umat Allah, kelompok yang seharusnya tidak disentuh (the untouchables). Namun demikian, Tuhan Yesus sangat mengasihi mereka – dan tidak jarang melayani dan membela mereka.

Di balik sikap Tuhan Yesus terhadap kelompok yang malang ini adalah motif belas kasihan dan keadilan (compassion and justice). Hati Tuhan Yesus penuh dengan belas kasihan melihat mereka yang terpinggirkan. Mereka menjadi miskin/malang bukan karena kemauan mereka, tetapi karena sistem politik dan struktur sosial telah melumpuhkan mereka untuk dapat melepaskan diri dari kemalangan tersebut. Dengan kata lain, kemalangan mereka adalah akibat ketidak-adilan dan kejahatan dari kaum elit dan penguasa pada waktu itu.

Dunia dimana kita hidup hari ini jauh lebih kejam dibandingkan dunia Perjanjian Baru ketika Tuhan Yesus hidup. Ketidak-adilan dan perlakuan yang semena-mena terhadap kaum marjinal terjadi di mana-mana. Jurang di antara yang kaya dan yang miskin Nampak begitu lebar. Kita, sebagai orang Kristen terkadang perlu berkaca dan bertanya: apakah melalui sikap dan gaya hidup, kita juga telah ikut berperan di dalam mengabaikan orang-orang yang miskin dan terpinggirkan – atau seperti Tuhan Yesus, hati kita dipenuhi dengan belas kasihan untuk merangkul dan melayani mereka? (EP)

Saturday, 11 August 2012

BENDERA SETENGAH TIANG (JULI 2012)


Bulan Juli ini kami ditinggalkan oleh banyak sahabat-sahabat yang berkesan. Siang hari, tanggal 3 Juli 2012, Pa Nyono (Hadi Umaryono), mantan supir di Yayasan Compassion Indonesia meninggal dunia tanpa ada tanda-tanda yang mendahuluinya. Pa Nyono barangkali adalah sosok yang melayani paling banyak orang di kantor. Direktur ganti lima kali, supirnya tetap Pa Nyono. Entah berapa banyak manajer dan berapa puluh staff yang pernah menikmati naik mobil kantor yang dikemudikan oleh Pa Nyono. Mobil kantor juga berganti, namun supirnya bertahan sampai usia pensiun. Anak saya, Keiko, memanggilnya 'Mbah Hono.' Waktu Esther hamil dan tidak bisa makan nasi, Mbah Hono ke rumah bawa singkong. Ketika saya melamar Esther, Mbah Hono yang membawa keluarga saya menemui orangtua Esther. Salah satu jaket yang paling disukai oleh istri saya, dibelinya dari Mbah Hono - warnanya merah dan menghangatkan.

Tanggal 13 Juli 2012, sahabat 'ter'dekat istri saya Esther dan kawan keluarga kami yang sangat baik meninggalkan dunia karena stroke. Tan Phei Ling (Fifi), usianya baru 39, usia pernikahannya baru lima tahun, usia anaknya belum genap setengah tahun adalah teman sebangku ketika Esther belajar di bangku SMA di Bandung. Sebelum menikah ia beberapa kali mengunjungi kami dari rumahnya di Bandung Selatan menuju tempat tinggal kami di lereng Tangkuban Perahu. Bekalnya: sepeda motor Yamaha Mio. Keiko dan Esther beberapa kali menikmati dibonceng sepeda motor olehnya. Kerinduannya untuk menikah dikabulkan. Kerinduannya untuk memiliki keturunan juga dikabulkan setelah sekian tahun berjuang. Kami tahu betul perjuangan hidupnya yang berat. Namun dia harus meninggalkan semua kesayangannya dengan begitu cepat. Hati saya berteriak hari itu: It is not fair God!!!

Malam hari tanggal 18 Juli 2012, mantan teman sekerja saya, sesama manajer di Yayasan Compassion Indonesia berpulang setelah bertahun-tahun berjuang melawan kanker. Ibu Mary Salim biasa dipanggil oleh staff dan koleganya: 'Si Mbok.' Ibu Mary sangat friendly, senang menjalin hubungan dengan orang, spontan di dalam memberikan respon, senang becanda, tetapi juga penuh perhatian (kombinasi yang jarang). Secara berkala Ibu Mary masih berkomunikasi dengan saya melalui Blackberry. Mei lalu, seharusnya saya bertemu dengannya di Bandung. Saya sangat menyesal tidak menyempatkan waktu untuk menemuinya. Saya hanya bertemu dengan supirnya yang mengantarkan titipan untuk saya. Sebelum saya dan keluarga meninggalkan Indonesia, kami juga gagal menemuinya, karena kondisinya pada waktu itu sangat parah. Ibu Mary juga yang pertama mengabarkan kepada saya mengenai kepergian Pa Nyono. Saya amat kehilangan kehadirannya. Kombinasi kepribadian yang dimilikinya saya akui sangat langka.

Sekitar jam 7 petang tanggal 28 Juli 2012, saya mendengar kepergian salah satu anggota jemaat di gereja yang saya gembalakan. Elisabeth Maria Verbrugge. Ia adalah jemaat yang setia. Ia juga adalah jemaat yang berdoa. Tante Mary, begitu kami memanggilnya, meninggal karena serangan jantung yang ke-dua. Tante Mary adalah orang pertama di seluruh Canda yang memberikan persembahan kasih kepada saya (kami). Ia memberikannya ketika ia belum/tidak mengenal saya dengan baik. Sayapun tidak mengenalnya pada waktu itu. Tante Mary dikenal sebagai pribadi yang penuh dengan kemurahan. Sebelum berlibur ke Amerika Serikat mengunjungi kakaknya selama dua bulan lebih, ia menitipkan perpuluhannya untuk diberikan kepada gereja. Saya tercengang menerimanya. Pengenalan saya akan Tante Mary hanyalah setahun lebih - di dalamnya adalah percakapan intensif sekitar 60 jam di dalam perjalanan dari dan menuju gereja. Keiko memanggilnya Oma Mary. Elliott memanggilnya 'Amak.' Selamat jalan Tante Mary. Kami tahu kebahagiaan yang sempurna telah Tante dapati sekarang.

Selain ke-empat sahabat kami yang telah pulang kepada Sang Pencipta, pada tanggal 16 Juli 2012, Stephen Covey juga meninggal dunia. Saya tidak mengenal dia secara pribadi. Namun demikian bukunya, The Seven Habits of Higly Effective People adalah salah satu karya literatur yang paling mengubah hidup dan pelayanan saya. Cara berpikirnya berbeda dari kebanyakan orang. Meskipun Covey bukan merupakan bagian kelompok Injili pada umumnya, nilai-nilai yang diajarkannya memancarkan Injil Kristus. Ia meninggal setelah mengalami komplikasi akibat terjatuh dari sepeda beberapa bulan sebelumnya.

Kami sangat kehilangan sahabat-sahabat kami.

Wednesday, 8 August 2012

TRIBUTE: ELISABETH MARIA VERBRUGGE (AUGUST 7, 2012)

  
On my right hand is a Bible. I bring it with me not because I want to read some verses of it, but to let you know that this Bible is a gift from Tante Mary.

From my personal experience, one of the most exciting responsibilities of being a pastor at Surrey is to pick Tante Mary up and to drop her home to and from church services. Since July 2011, almost every week, my family and I have been given what I call a ‘golden opportunity’ to be in private and intense conversations at least one hour a week – not counting Bible Studies and our visits to her.

In those conversations we used to talk about either church issues or her family: children, grand children and great grand children. Indeed in our last visit few days before her death, she proudly mentioned to us how grateful she was to have four great grand children. We often talked and evaluated on our Sunday Services. While, my wife and I often focussed on technical issues, such as music, style of worship, sermon illustration, multi-media and others, Tante Mary had completely different interests. Tante Mary is deeply rooted in Pentecostalism. To her, the most important thing in Christian life and ministry is being filled by the Holy Spirit. Thus, Tante Mary’s evaluation on our worship services almost always fell into two categories: It is filled by the Holy Spirit or it is not filled by the Holy Spirit. We sometimes used an alternate word: anointing. One day there was a little trouble created by one of our church members. Tante Mary lightly said to me, ‘Don’t worry Pastor Ery, that person is not born again yet.’ Whether her judgments were correct or not, I do not know, but Tante Mary had taught me and the church to go to the basics: that is that the most important qualifications for God’s servants in ministry are born again, the filling of the spirit and God’s anointing – those are far more important that merely technical issues and performances.

One of my best friends, a pastor, told me that she wished to die while she is preaching. Behind that wish, we know that someone is doubly honored when he or she died on duty. Tante Mary as many of us know is a prayer woman. And she died on duty. On her last Sunday in Surrey, she was asked to pray for our teens that were going to have a Bible camp. On the previous week, I explained to her the details of the camp: the speaker, the place, the participants, the theme and everything. On Sunday before the service began, she approached me asking, ‘Pa Ery: what is the theme of the youth Bible camp?’ I answered her: ‘My life is my ministry.’ It was however unusual since she approached me four times with the same question within less than ten minutes. During the worship, she approached me again for the fifth time, but now she smiled saying, I now know the theme: My life is my ministry. That unusual incident tells me that when tante Mary prays for something, she prays for it seriously. She could have simply asked God to bless the teens and Amen. She however decided to make sure that she knew the theme of the camp, and she said it in her prayer that Sunday. That prayer was her last public ministry in Surrey – Though I am sure she remembered the camp, the theme and prayed for it up to her last day on earth. As the theme of the camp, HER LIFE IS truly HER MINISTRY. She died on duty, and therefore is extraordinarily honored.

Now, let me share my last memorable incident with Tante Mary. In November 2009, I visited Vancouver for three weeks, preaching in Vancouver three times, in Burnaby two times and in Surrey three times. Neither was a pastor nor a member of HFAN that time. And I do not think Tante Mary knew that eventually I would become her pastor. After my last service at Surrey, she approached me putting an envelope in my pocket. I want to be open with all of you. It was one hundred dollar. She is the very first person in the entire Canada and off course in the church who with generosity gave me some financial support. To all of you, what Tante Mary did to me may not be too special. To us, it was prophetic: someone who did not know me but my name – and I did not know her either but her name – an elderly and in a foreign land gave me some financial support. My family and I decided to come to Canada and to serve God in this country not because the money Tante Mary gave to me. God however has used tante Mary to be his prophet to tell my wife and I that wherever God calls us to go, God will provide our needs.

Lastly, less than a week before she died, we visited her one afternoon. I was sleepy and tired – and I openly mentioned it to her. Tante Mary again graciously served me with a cup of coffee. That afternoon coffee will always bring my memory to Tante Mary’s generosity. My family and I personally value her friendship and service.

Now to the whole family of Tante Mary (the children, the grand children and the four great grand children whom she is proud of), I on behalf of the whole HFAN Surrey congregation want to let you know how lovely and adorable she had been with us. We love her and we deeply honor her. We pray that this moment of grief may unite the whole family in peace. Amen.

Friday, 3 August 2012

MISSIO DEI: GOD'S MISSION

Kebanyakan orang memahami kata ‘misi’ sebagai kegiatan pengutusan ke tempat-tempat terterntu untuk keperluan pemberitaan Injil. Sebagian orang lainnya memahami kata ‘misi’ di dalam konteks yang lebih luas sebagai kegiatan gereja untuk menjadi terang dan berkat bagi dunia ini. Kata ‘misi’ yang sering terdengar sekarang ini sebenarnya berasal dari bahasa Latin yang pada awalnya selalu dilekatkan dengan Tuhan (Missio Dei).

Missio Dei sebenarnya menjelaskan bagaimana Bapa di Surga mengutus anak-Nya yang Tunggal Yesus Kristus ke dalam dunia ini (Yoh 17.20-24) – dan bagaimana Bapa dan Anak mengutus Roh Kudus (Yoh 14.15; 25-31; 15.26). Missio Dei dijelaskan di dalam Injil Yohanes 14-17. Di dalam ke-empat pasal tersebut, kita diajak untuk mengenali beberapa pokok-pokok penting:

Pertama, baik Yesus Kristus dan Roh Kudus diutus untuk menyatakan kemuliaan Tuhan dan kebenaran-Nya. Kedua, pengutusan Yesus Kristus dan Roh Kudus tidak dapat dipisahkan dari rencana keselamatan bagi dunia. Ketiga, pengutusan Yesus Kristus dan Roh Kudus adalah tanda penyertaan Tuhan terhadap umat-Nya dan dunia ciptaan-Nya. Keempat, ada indikasi bahwa dunia ciptaan-Nya sendiri sesungguhnya menolak Dia.

Karena-Nya, pekerjaan misi yang dilakukan oleh gereja-Nya haruslah pertama-pertama memuliakan Tuhan. Kegiatan gereja yang tidak memberitakan kemuliaan dan kebenaran Tuhan tidak dapat disebut sebagai kegiatan misi. Kedua, karena misi berhubungan dengan rencana keselamatan ilahi, maka pesan misi adalah pesan pertobatan. Kegiatan misi gereja – apapun itu – mengundang dunia untuk bertobat. Undangan untuk bertobat dilandasi oleh karena kasih Tuhan akan dunia ini (Yoh 3.16) - dan juga kenyataan bahwa dunia telah hilang harapan dan jatuh ke dalam dosa. Pelayanan misi bukanlah kegiatan yang netral dan tidak menuntut apa-apa, sebaliknya ia mengundang dunia untuk bertobat. Ketiga, pekerjaan misi seharusnya menyatakan perbuatan kasih, kebaikan dan berkat bagi dunia ini. Kehadiran Tuhan (baik itu melalui Tuhan Yesus maupun Roh Kudus) itu selalu nyata di dalam membawa kebaikan bagi umat-Nya. Kehadiran Tuhan menunjukkan komitmen dan kesetiaan Tuhan di dalam memelihara umat-Nya. Yang terakhir, sebagai umat Kristen kita tidak seharusnya kaget, jika menemui hambatan di dalam pelayanan misi. Injil Yohanes mengindikasikan bahwa dunia tidak mengenal Bapa – mereka juga menolak Yesus sebagai yang diutus-Nya. Penolakan dunia terhadap pelayanan misi gereja karenanya bukanlah sesuatu hal yang terlalu mengejutkan.

Sepanjang bulan ini, kita akan belajar mengenai misi Tuhan melalui gereja-Nya. Kita semua diundang untuk merenungkan kembali mengenai peran dan keberadaan kita di dunia ini: Sudahkah kita merefleksikan kemuliaan, kasih dan kehadiran bagi dunia yang terhilang ini?