Sunday, 2 November 2014

MOORYATI SOEDIBYO, DIAN SASTRO DAN METAKOGNISI SUSI PUDJIASTUTI BY RHENALD KASALI


I am not trying to offer another praise to these extraordinary ladies:

 
 

 - but to share my learning process from the simple truth offered by Rhenald Kasali. Look at one of his outstanding paragraphs "Manusia itu belajar untuk membuat diri dan bangsanya tangguh, bijak mengatasi masalah, mampu mengambil keputusan, bisa membuat kehidupan kebih produktif dan penuh kedamaian. Kalau cuma bisa membuat keonaran dan adu pandai saja kita belum tuntas mengurai persepsi, baru sekedar mampu mendengar, tapi belum bisa menguji kebenaran dengan bijak dan mengembangkannya ke dalam tindakan yang produktif." Here is the link to his complete article: http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2014/11/03/054500426/Mooryati.Soedibyo.Dian.Sastro.dan.Metakognisi.Susi.Pudjiastuti?utm_source=WP&utm_medium=box&utm_campaign=Kknwp

Tuesday, 19 August 2014

ORA ET LABORA ALA SALOMO (1 RAJ. 3.5-9)



“TUHAN, berikanlah kiranya kepadaku kebijaksanaan yang kuperlukan untuk memerintah umat-Mu ini dengan adil dan untuk dapat membedakan mana yang baik dan mana yang jahat. Kalau tidak demikian, mana mungkin aku dapat memerintah umat-Mu yang besar ini?" (1 Raj. 3.9)


Beberapa hari yang lalu saya diberi kesempatan untuk belajar lebih banyak dari kehidupan raja Salomo. Kebanyakan orang mengenal Salomo sebagai raja yang besar dan tiada tandingannya. Hartanya banyak, hikmatnya luar biasa, raja-raja di sekitarnya hormat kepadanya dan istrinya banyak pula. Supaya adil, orang juga memahami bahwa pada masa akhir pemerintahannya Salomo telah jatuh ke dalam penyembahan berhala karena istri-istrinya yang berasal dari berbagai ragam kepercayaan.

Sedikit orang memperhatikan siapa Salomo sebelum menjadi raja. Dan sedikit orang memperhatikan mimpi Salomo yang direkam di dalam kitab Raja-Raja yang pertama (3.5-9). Ketika Salomo ditunjuk untuk menggantikan Daud menjadi raja terpilih (King Elect), (1) ia masih muda dan tidak berpengalaman (1 Raj 3.7); (2) tugasnya begitu berat, yaitu memimpin bangsa besar pilihan Tuhan (ay. 8); (3) ia dilahirkan bukan dari istri pertama (permaisuri) raja Daud; (4) hubungan ibu dan ayahnya dimulai dari sebuah skandal yang kejam dan "paling" memalukan sepanjang sejarah monarki Israel; (4); ia bukan putra mahkota yang sewajarnya – ia bukan orang nomor satu di dalam urutan garis suksesi kepemimpinan di dalam kerajaan Israel (almarhum Absalom yang tampan dan Adonia adalah kakak-kakaknya yang berambisi untuk menjadi raja); (5) dan beban yang paling berat yang harus ditanggung oleh Salomo adalah hidup di bawah bayang-bayang kebesaran ayahnya Daud (1 Raj 9.4). Salomo dituntut untuk hidup sesuai dengan kualitas hidup Daud. Situasi yang demikian tentunya melahirkan tekanan hebat bagi Salomo muda. Kita hanya mengenal kebesaran Salomo, tanpa peduli dengan (potensi) depresi yang dihadapinya.

Percakapan Salomo dengan Tuhan di dalam 1 Raj 3.5-9 adalah sebuah pelajaran yang sangat menarik. Dalam mimpinya atau dalam doanya, Tuhan menawarkan kepada Salomo untuk meminta sesuatu dari Tuhan. Tidak banyak orang mendapatkan kesempatan emas seperti Salomo. Ia di atas angin: bayangkan Tuhan semesta alam menawarkan kepada Salomo supaya ia meminta apa yang diinginkannya (ay. 5). Mari sejenak kita membayangkan jika diri kita adalah raja Salomo. Apa yang kira-kira kita akan minta dari Tuhan? Negara yang aman? Kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat Israel? Perdamaian di antara suku-suku di Israel? Perluasan wilayah kerajaan? Kemenangan dalam perang? Atau jika ia seorang yang mementingkan diri sendiri, barangkali doanya adalah untuk kekayaan, kesehatan, kekuasaan dan umur panjang. Doa-doa semacam ini tidaklah salah. Namanya juga doa untuk keinginan. Di hadapan Tuhan keinginan tidak selalu jahat. Banyak keinginan yang mulia juga. Namun demikian tidak satupun dari pilihan-pilihan di atas yang diminta Salomo.


Saya pribadi terheran-heran ketika merenungkan ketiga ayat ini (1 Raj. 3.7-9). Salomo tidak berdoa atau meminta untuk sebuah keinginan. Salomo berdoa dan meminta untuk sebuah kebutuhan yang ia perlukan untuk mencapai keinginannya. Perbedaan yang besar bukan? Yang diminta bukan keinginan (hasil akhir), namun kebutuhan yang diperlukan untuk mencapai keinginan tersebut (proses). Untuk memudahkan, perhatikan ilustrasi di bawah ini. Seorang ayah berdoa supaya anaknya dapat menjadi pengusaha yang sukses. Ini adalah doa untuk sebuah keinginan yang baik dan mulia. Namun ada ayah lain yang berdoa supaya ia diberikan kesempatan untuk bekerja, supaya memperoleh uang untuk bisa menyekolahkan anaknya di dalam mempersiapkannya menjadi pengusaha yang sukses. Ini adalah doa untuk sebuah kebutuhan yang diperlukan di dalam mencapai keinginan yang mulia.

Contoh lain di dalam konteks gereja: banyak umat Kristen yang berdoa supaya jemaat bertambah, kursi kosong terisi, banyak petobat baru dan doa-doa sejenisnya. Semua doa itu adalah baik dan mulia adanya. Namun barangkali kita harus memikirkan doa yang lain: “Tuhan berikan aku keberanian, kekuatan dan kerelaan untuk menjangkau orang-orang yang belum mengenal-Mu, serta membimbingnya untuk memiliki komitmen terhadap gereja lokal!” Doa semacam ini adalah bukan meminta untuk sebuah keinginan, tetapi kebutuhan untuk menggapai keinginan. Inilah doa Salomo.

Keinginan Salomo – layaknya pemimpin bangsa pada umumnya – adalah supaya kerajaan Israel yang besar itu sejahtera, maju, aman dan jaya. Semua itu bisa tercapai jika ia diberi kemampuan untuk memimpin bangsa yang tegar tengkuk ini dengan kearifan dan keadilan – dengan hati yang bijaksana. Ia sadar, ia masih muda. Ia sadar ia tidak berpengalaman. Ia sadar, beban hidup dan kepemimpinan yang ditanggungnya adalah berat. Ia tahu apa yang dibutuhkannya: itulah yang dimintanya. Doa semacam ini adalah doa yang jujur, tidak basa-basi, mendarat dan exactly right on the spot of the issues.

Doa Salomo adalah doa yang jujur untuk sebuah kebutuhan yang riil dan mendesak. Doa Salomo bukanlah doa yang malas – di sinilah prinsip Ora et Labora (St. Benedict) diterapkan. Salomo tidak berdoa untuk sebuah jalan pintas atau sebuah hasil yang instant. Doa Salomo adalah doa misionari karena ia mengijinkan dirinya untuk menjadi jawaban doa itu sendiri. Salomo tidak mengutus orang lain – ia mengutus dirinya sendiri untuk nyemplung dalam kesulitan politik bangsanya namun disertai dengan permohonan akan kebijaksanaan ilahi.

Sepanjang sejarah Alkitab dan dunia, terlepas dari inisiatif pribadi dan mujizat-Nya, Tuhan selalu bekerja sama dengan manusia. Kiranya renungan kecil ini boleh membawa perubahan paradigma berdoa yang selama ini kita naikan. Memang tidak ada peraturan baku di dalam doa. Doa itu relasi dengan Tuhan yang berbeda naturnya dari satu individu kepada individu lainnya. Namun demikian Salomo secara mendadak sontak telah menjadi guru doa bagi saya dan hopefully juga bagi segenap pembaca.

Sunday, 17 August 2014

TERJATUH DI KAMAR MANDI



Tanggal 5 Agustus yang lalu kira-kira jam 11 pagi saya terjatuh di kamar mandi. Sebetulnya jatuh di kamar mandi bukanlah suatu cerita yang menarik untuk dibaca. Tapi bagi saya peristiwa ini menarik. Saya tidak tahu persis apa yang Tuhan ingin utarakan melalui peristiwa ini, tetapi saya merasa ada yang ingin disampaikan-Nya. Mengapa?

Peristiwa ini aneh bagi saya, karena waktu yang dibutuhkan sejak saat saya mulai merasa saya akan jatuh sampai dengan saya “touch downon the ground kog sepertinya lama sekali – layaknya slow-motion dalam sebuah film. Dan inilah yang muncul di pikiran saya selama melayang-layang sebelum mendarat: Pertama ketika saya sadar saya akan jatuh, saya langsung berpikir: “Apakah saya terserang stroke?” Saat itu langsung muncul di otak saya wajah Kak Jer (alm.). Akankah saya meninggal sama seperti beliau? Apakah ini hari terakhir saya hidup? Saya sadar saya ada di dalam bath-tub, dan jika terjatuh ke lantai, kepala saya dan isinya bisa tergoncang. Saya mencoba untuk menggapai apa yang saya bisa gapai, tetapi semuanya licin. Tangan saya penuh sabun dan dinding kamar mandi terbuat dari bahan dengan permukaan yang licin. Pada waktu itu saya juga teringat Esther sedang bekerja, dan anak-anak kami sedang nonton TV di living room. Saya sempat bertanya-tanya dalam hati: apakah Keiko sudah pernah dilatih di sekolahnya untuk telefon 911? Dan apakah dia bisa menemukan dan menggunakan telefon genggam saya? Dan bagaimana mereka tahu saya jatuh jika saya pingsan atau worse than that? Karena anak-anak kalau sudah nonton TV lupa segalanya. Saya heran mengapa begitu banyak pikiran yang sempat mampir ke otak saya.

Akhirnya saya mendarat juga. Tirai bath-tub beserta tiang penyangganya lepas dari dinding menimpa saya. Ajaibnya, saya terjatuh duduk di tepi bath-tub. Seharusnya tubuh saya terjatuh ke lantai – namun ternyata posisi saya ada disamping toilet yang menahan saya dari hal yang lebih buruk. Seperti efek jatuh pada umumnya, tubuh saya gemetar. Meski tidak ada luka yang mengeluarkan darah, tangan saya lumayan sakit menahan berat badan saya beradu dengan dinding bath-tub. Setelah sadar bahwa saya masih sadar dan hidup, saya cepat-cepat lanjutkan mandinya dengan menyandarkan tubuh saya pada dinding. Keluar dari kamar mandi, langsung sibuk menjadi bapak rumah tangga: taking care of the kids.

Malamnya ketika bekerja, sambil mengemudikan mobil, saya bertanya kepada diri sendiri dan kepada Tuhan: “Apa tujuan hidup saya?” Mungkin Anda tahu jawabnya???

Friday, 11 July 2014

BISUL DI PANTAT DAN BANGKU IKEA


Beberapa hari yang lalu saya bermain dengan anak-anak saya di halaman belakang rumah. Ketika lelah saya lalu duduk di bangku plastik buatan IKEA, tapi ada sesuatu yang membuat pantat saya terasa sakit sekali. Saya berteriak: Aduhhhh! Saya katakan pada istri saya, "Pasti ada yang salah dengan bangku ini." Mungkin ada bagian yang rusak atau sobek dan menyakiti pantat saya. Namun ketika saya periksa ternyata tidak ada yang salah dengan bangku tersebut. Kalau begitu mungkin tadi ada batu atau benda keras di atas bangku tersebut. Maka duduklah saya kembali, tetapi ... Aduh!!!! Sakit itu menyerang pantat saya sekali lagi. Setelah diselidiki dengan seksama ternyata ada bisul di pantat saya yang tidak saya sadari. Bangku itu tidak bersalah. Ini kisah nyata: saya tuliskan karena terinspirasi oleh status saudara saya Eko Kusumowijoyo di FB: "Kenapa yang jujur, selalu hanya aku dan kami. Kenapa yang curang, selalu dia dan mereka. Tanya kenapa."

Saya pernah mendengar: "Berbuat salah itu manusiawi; Berbuat salah tetapi tidak mau mengakuinya itu lebih manusiawi; Berbuat salah, tidak mengakui kesalahannya dan kemudian menyalahkan orang lain itu sangat-sangat manusiawi"

Meskipun status FB Saudara Eko Kusumowijoyo mungkin saja erat kaitannya dengan masa hangat pemilihan presiden di Indonesia, his statement and my narrative are actually timeless truth.

Wednesday, 21 May 2014

RETHINKING ON WHAT PEOPLE SAY ABOUT POLITICAL PUPPET


Since few months ago, Mr. Joko Widodo, one of the candidates for the next president of Indonesia has been accused to be merely a political ‘puppet’ of former Indonesian president and general chairman of Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Mrs. Megawati Soekarnoputri. This accusation has been launched and popularized by his political oppositions. In political vocabulary, the word ‘puppet’ may not be too positive. That word tells us that such individual does not have independence to make his own decision. Someone else, the more powerful one plays him or her. This short reflective thought invites us to look at some important lessons from the above incident.


  

First, a puppet is dead. It normally represents a living being, animals or humans. Puppets are ‘alive’ only when people play them. Thus, in order for the puppet to perform well and to bring positive impacts in his or her role, there are two basic requirements. One, the people (person) who play behind the puppet has to be a good puppet player. If the player plays the puppet well, the audience who view the puppet show will be happy. Two, a particular puppet will be praised if his or her role is positive and heroic. On the other hand, he or she will be condemned if his or her role is evil and destructive. Though I never ever agree with the thesis that Mr. Joko Widodo is Mrs’ Megawati Soekarnoputri’s puppet, however even if that thesis is true – being Mrs Megawati Soekarnoputri’s puppet is not necessarily a negative reality. If Mrs. Megawati Soekarnoputri is a good puppet player and is able to find positive and constructive roles for Mr. Joko Widodo, then this puppet show will be beautiful and beneficial for the whole country – don’t you think? Being a puppet is not necessarily wrong. It is wrong when a puppet is in the hand of an evil player; it is wrong if that puppet, though in the hand of a gifted player, is given a destructive and evil roles.



Second, at some degree we are actually all puppet of someone else. We often mirror others. Our lifestyle is by no means original; we simply follow our ‘idols’ or predecessors (or ancestors). If we like our leader (father, mother, teacher, pastor, etc.), we start to speak, to act and to think like the way she or he speaks, acts and thinks. Some other have been even easily trapped in a celebrity life-style simply because of the spirit: ‘I want to be like him or her’ or ‘I want to be his or her puppet’ so to speak.



Third, believe it or not, we all like, not only to be a puppet of someone else, but also to have puppets. A political puppet is created often to do things in favor of the real player behind it. And to be honest, we all are happy when people do things in favor of us voluntarily or involuntarily. My point is a simple question: Why does it (if it is true that Mr. Joko Widodo is merely Mrs. Megawati Soekarnoputri’s puppet) bother us? We blame other people based on their actions, but we ourselves love to do those actions. Isn’t that hypocrisy?



Fourth, last and the most important point: Mr. Joko Widodo has not actually been the victim of being Mrs. Megawati Soekarnoputri’s puppet. Mr. Joko Widodo has actually been the victim of being his own fans’ puppet. When his choice of vice president is announced few days ago, some of Mr. Joko Widodo’s faithful fans suddenly were not happy. Some of them expressed their unhappiness frontally in social media. Interestingly enough, these people (previously biggest fans of Mr. Joko Widodo – you can tell from their facebook’s timeline status) started to say that they will not choose Mr. Joko Widodo for the president because of his choice of the vice president. To me – I am so sorry – these people’s dream is to play Mr. Joko Widodo to do things in favor of them. In other words, they want Mr. Joko Widodo to be their political puppet. Or still in other word, these people want to play what they accused Mrs. Megawati Soekarnoputri plays. Are we better off and more experienced than Mrs. Megawati Soekarnoputri in providing leadership for a big country with complex challenges such as Indonesia? Isn’t it also hypocrisy?



The purpose of this reflection is not to support or to justify the idea of political puppet. Nor is it a campaign for Mr. Joko Widodo. The purpose of this article is to assist readers to pause for a while and to do careful reflection on what he or she thinks about political puppet, especially in relation with Mr. Joko Widodo as one candidate for the next Indonesia’s president.

Monday, 19 May 2014

INDONESIA`S NEXT PRESIDENT AND GOD`S MIGHTY HANDS: A PRAYER INVITATION


I was invited to preach in a local Indonesian congregation in Vancouver at the end of April 2014. I love this church especially when it come to the area of worship and prayer. I mentioned to members of this church that every time I sing praise and worship in this church somehow my heart is so excited, my relationship with God is refreshed, and my spirit is uplifted. After I finished sharing the sermon, a young lady stood up, moved forward and led the congregation in intercessory prayers. She prayed for four items. First, she led the congregation to pray for me (as a guest speaker) and my family. Then she and the congregation continued to pray for their pastor and his family. Third, she prayed for Indonesia. Then finally, she prayed for Canada.

When she prayed for Indonesia, I felt something different. This young lady was crying and lamenting for the nation. I remember she spent time considerably crying out to God for leaders and future leaders of Indonesia. I assume she understood that Indonesians have been in the midst of general and presidential election these days. I was aware of the issue, and with her also cried out to God for his protection and blessing for this country. 

Few days before the incident, I mentioned to a good friend of mine that I had been feeling strange lately, especially when I pray for Indonesia. My hands and my body often were trembling, and tears voluntarily dropped. My heart is far from peace.

Yet, as I prayed in that church, it seemed that God revealed to me some encouraging messages. First of all, not only me, but many people are crying out to God for Indonesia. In this church, the young lady is the example. I remember some twenty years ago facilitating hundreds of young students to repent and to pray for Indonesia. They prayed extraordinarily: crying, kneeling, fasting, worshiping God in an unexplainable way. I knew the Holy Spirit was there - it was not human made. We were all young and inexperience, but God moved among us. Second, who the next leader of the country is is not the most crucial issue. From which party she or he is is also less significant. Religion, gender, ethnic and academic backgrounds are again not the foremost concerns. The primary and ultimate question is Gods victorious and mighty hands. If God`s hand is with this person, then she or he will do God`s will for Indonesia - and that is more than enough.

One of the presidential candidates is told to be too young, `ndeso` and inexperience. Well, God`s hands are powerful enough to guide the inexperience young people to accomplish God`s will. At the same time, his rival is told to be actively involved in kidnapping and killing pro-democracy activists in the past. People however often forget that God`s hands are powerful enough to change people. Were we better than him when Jesus died for us? (See: Rome 5.1-11). Thus it is less important to me who (name or party) will be the next leader of Indonesia. I believe in the mighty hands of God and trust my country into those powerful hands. God has elected his servant to lead the country, and God`s hand will be with his chosen one.