“TUHAN,
berikanlah kiranya kepadaku kebijaksanaan yang kuperlukan untuk memerintah
umat-Mu ini dengan adil dan untuk dapat membedakan mana yang baik dan mana yang
jahat. Kalau tidak demikian, mana mungkin aku dapat memerintah umat-Mu yang
besar ini?" (1 Raj. 3.9)
Beberapa
hari yang lalu saya diberi kesempatan untuk belajar lebih banyak dari kehidupan
raja Salomo. Kebanyakan orang mengenal Salomo sebagai raja yang besar dan tiada
tandingannya. Hartanya banyak, hikmatnya luar biasa, raja-raja di sekitarnya
hormat kepadanya dan istrinya banyak pula. Supaya adil, orang juga memahami
bahwa pada masa akhir pemerintahannya Salomo telah jatuh ke dalam penyembahan
berhala karena istri-istrinya yang berasal dari berbagai ragam kepercayaan.
Sedikit
orang memperhatikan siapa Salomo sebelum menjadi raja. Dan sedikit orang
memperhatikan mimpi Salomo yang direkam di dalam kitab Raja-Raja yang pertama
(3.5-9). Ketika Salomo ditunjuk untuk menggantikan Daud menjadi raja terpilih (King Elect), (1) ia masih muda dan tidak
berpengalaman (1 Raj 3.7); (2) tugasnya begitu berat, yaitu memimpin bangsa
besar pilihan Tuhan (ay. 8); (3) ia dilahirkan bukan dari istri pertama
(permaisuri) raja Daud; (4) hubungan ibu dan ayahnya dimulai dari sebuah
skandal yang kejam dan "paling" memalukan sepanjang sejarah monarki
Israel; (4); ia bukan putra mahkota yang sewajarnya – ia bukan orang nomor satu
di dalam urutan garis suksesi kepemimpinan di dalam kerajaan Israel (almarhum
Absalom yang tampan dan Adonia adalah kakak-kakaknya yang berambisi untuk
menjadi raja); (5) dan beban yang paling berat yang harus ditanggung oleh
Salomo adalah hidup di bawah bayang-bayang kebesaran ayahnya Daud (1 Raj 9.4).
Salomo dituntut untuk hidup sesuai dengan kualitas hidup Daud. Situasi yang
demikian tentunya melahirkan tekanan hebat bagi Salomo muda. Kita hanya
mengenal kebesaran Salomo, tanpa peduli dengan (potensi) depresi yang
dihadapinya.
Percakapan
Salomo dengan Tuhan di dalam 1 Raj 3.5-9 adalah sebuah pelajaran yang sangat
menarik. Dalam mimpinya atau dalam doanya, Tuhan menawarkan kepada Salomo untuk
meminta sesuatu dari Tuhan. Tidak banyak orang mendapatkan kesempatan emas
seperti Salomo. Ia di atas angin: bayangkan Tuhan semesta alam menawarkan
kepada Salomo supaya ia meminta apa yang diinginkannya (ay. 5). Mari sejenak
kita membayangkan jika diri kita adalah raja Salomo. Apa yang kira-kira kita
akan minta dari Tuhan? Negara yang aman? Kesejahteraan dan kemakmuran
masyarakat Israel? Perdamaian di antara suku-suku di Israel? Perluasan wilayah
kerajaan? Kemenangan dalam perang? Atau jika ia seorang yang mementingkan diri
sendiri, barangkali doanya adalah untuk kekayaan, kesehatan, kekuasaan dan umur
panjang. Doa-doa semacam ini tidaklah salah. Namanya juga doa untuk keinginan.
Di hadapan Tuhan keinginan tidak selalu jahat. Banyak keinginan yang mulia
juga. Namun demikian tidak satupun dari pilihan-pilihan di atas yang diminta
Salomo.
Saya
pribadi terheran-heran ketika merenungkan ketiga ayat ini (1 Raj. 3.7-9).
Salomo tidak berdoa atau meminta untuk sebuah keinginan. Salomo berdoa dan
meminta untuk sebuah kebutuhan yang ia perlukan untuk mencapai keinginannya.
Perbedaan yang besar bukan? Yang diminta bukan keinginan (hasil akhir), namun
kebutuhan yang diperlukan untuk mencapai keinginan tersebut (proses). Untuk
memudahkan, perhatikan ilustrasi di bawah ini. Seorang ayah berdoa supaya
anaknya dapat menjadi pengusaha yang sukses. Ini adalah doa untuk sebuah
keinginan yang baik dan mulia. Namun ada ayah lain yang berdoa supaya ia
diberikan kesempatan untuk bekerja, supaya memperoleh uang untuk bisa
menyekolahkan anaknya di dalam mempersiapkannya menjadi pengusaha yang sukses.
Ini adalah doa untuk sebuah kebutuhan yang diperlukan di dalam mencapai
keinginan yang mulia.
Contoh
lain di dalam konteks gereja: banyak umat Kristen yang berdoa supaya jemaat
bertambah, kursi kosong terisi, banyak petobat baru dan doa-doa sejenisnya.
Semua doa itu adalah baik dan mulia adanya. Namun barangkali kita harus
memikirkan doa yang lain: “Tuhan berikan aku keberanian, kekuatan dan kerelaan
untuk menjangkau orang-orang yang belum mengenal-Mu, serta membimbingnya untuk
memiliki komitmen terhadap gereja lokal!” Doa semacam ini adalah bukan meminta
untuk sebuah keinginan, tetapi kebutuhan untuk menggapai keinginan. Inilah doa
Salomo.
Keinginan
Salomo – layaknya pemimpin bangsa pada umumnya – adalah supaya kerajaan Israel
yang besar itu sejahtera, maju, aman dan jaya. Semua itu bisa tercapai jika ia
diberi kemampuan untuk memimpin bangsa yang tegar tengkuk ini dengan kearifan
dan keadilan – dengan hati yang bijaksana. Ia sadar, ia masih muda. Ia sadar ia
tidak berpengalaman. Ia sadar, beban hidup dan kepemimpinan yang ditanggungnya
adalah berat. Ia tahu apa yang dibutuhkannya: itulah yang dimintanya. Doa
semacam ini adalah doa yang jujur, tidak basa-basi, mendarat dan exactly right on the spot of the issues.
Doa
Salomo adalah doa yang jujur untuk sebuah kebutuhan yang riil dan mendesak. Doa
Salomo bukanlah doa yang malas – di sinilah prinsip Ora et Labora (St. Benedict) diterapkan. Salomo tidak berdoa untuk
sebuah jalan pintas atau sebuah hasil yang instant. Doa Salomo adalah
doa misionari karena ia mengijinkan dirinya untuk menjadi jawaban doa itu
sendiri. Salomo tidak mengutus orang lain – ia mengutus dirinya sendiri untuk nyemplung dalam kesulitan politik
bangsanya namun disertai dengan permohonan akan kebijaksanaan ilahi.
Sepanjang
sejarah Alkitab dan dunia, terlepas dari inisiatif pribadi dan mujizat-Nya,
Tuhan selalu bekerja sama dengan manusia. Kiranya renungan kecil ini boleh
membawa perubahan paradigma berdoa yang selama ini kita naikan. Memang tidak
ada peraturan baku di dalam doa. Doa itu relasi dengan Tuhan yang berbeda
naturnya dari satu individu kepada individu lainnya. Namun demikian Salomo
secara mendadak sontak telah menjadi guru doa bagi saya dan hopefully juga bagi segenap pembaca.