Tuesday, 19 August 2014

ORA ET LABORA ALA SALOMO (1 RAJ. 3.5-9)



“TUHAN, berikanlah kiranya kepadaku kebijaksanaan yang kuperlukan untuk memerintah umat-Mu ini dengan adil dan untuk dapat membedakan mana yang baik dan mana yang jahat. Kalau tidak demikian, mana mungkin aku dapat memerintah umat-Mu yang besar ini?" (1 Raj. 3.9)


Beberapa hari yang lalu saya diberi kesempatan untuk belajar lebih banyak dari kehidupan raja Salomo. Kebanyakan orang mengenal Salomo sebagai raja yang besar dan tiada tandingannya. Hartanya banyak, hikmatnya luar biasa, raja-raja di sekitarnya hormat kepadanya dan istrinya banyak pula. Supaya adil, orang juga memahami bahwa pada masa akhir pemerintahannya Salomo telah jatuh ke dalam penyembahan berhala karena istri-istrinya yang berasal dari berbagai ragam kepercayaan.

Sedikit orang memperhatikan siapa Salomo sebelum menjadi raja. Dan sedikit orang memperhatikan mimpi Salomo yang direkam di dalam kitab Raja-Raja yang pertama (3.5-9). Ketika Salomo ditunjuk untuk menggantikan Daud menjadi raja terpilih (King Elect), (1) ia masih muda dan tidak berpengalaman (1 Raj 3.7); (2) tugasnya begitu berat, yaitu memimpin bangsa besar pilihan Tuhan (ay. 8); (3) ia dilahirkan bukan dari istri pertama (permaisuri) raja Daud; (4) hubungan ibu dan ayahnya dimulai dari sebuah skandal yang kejam dan "paling" memalukan sepanjang sejarah monarki Israel; (4); ia bukan putra mahkota yang sewajarnya – ia bukan orang nomor satu di dalam urutan garis suksesi kepemimpinan di dalam kerajaan Israel (almarhum Absalom yang tampan dan Adonia adalah kakak-kakaknya yang berambisi untuk menjadi raja); (5) dan beban yang paling berat yang harus ditanggung oleh Salomo adalah hidup di bawah bayang-bayang kebesaran ayahnya Daud (1 Raj 9.4). Salomo dituntut untuk hidup sesuai dengan kualitas hidup Daud. Situasi yang demikian tentunya melahirkan tekanan hebat bagi Salomo muda. Kita hanya mengenal kebesaran Salomo, tanpa peduli dengan (potensi) depresi yang dihadapinya.

Percakapan Salomo dengan Tuhan di dalam 1 Raj 3.5-9 adalah sebuah pelajaran yang sangat menarik. Dalam mimpinya atau dalam doanya, Tuhan menawarkan kepada Salomo untuk meminta sesuatu dari Tuhan. Tidak banyak orang mendapatkan kesempatan emas seperti Salomo. Ia di atas angin: bayangkan Tuhan semesta alam menawarkan kepada Salomo supaya ia meminta apa yang diinginkannya (ay. 5). Mari sejenak kita membayangkan jika diri kita adalah raja Salomo. Apa yang kira-kira kita akan minta dari Tuhan? Negara yang aman? Kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat Israel? Perdamaian di antara suku-suku di Israel? Perluasan wilayah kerajaan? Kemenangan dalam perang? Atau jika ia seorang yang mementingkan diri sendiri, barangkali doanya adalah untuk kekayaan, kesehatan, kekuasaan dan umur panjang. Doa-doa semacam ini tidaklah salah. Namanya juga doa untuk keinginan. Di hadapan Tuhan keinginan tidak selalu jahat. Banyak keinginan yang mulia juga. Namun demikian tidak satupun dari pilihan-pilihan di atas yang diminta Salomo.


Saya pribadi terheran-heran ketika merenungkan ketiga ayat ini (1 Raj. 3.7-9). Salomo tidak berdoa atau meminta untuk sebuah keinginan. Salomo berdoa dan meminta untuk sebuah kebutuhan yang ia perlukan untuk mencapai keinginannya. Perbedaan yang besar bukan? Yang diminta bukan keinginan (hasil akhir), namun kebutuhan yang diperlukan untuk mencapai keinginan tersebut (proses). Untuk memudahkan, perhatikan ilustrasi di bawah ini. Seorang ayah berdoa supaya anaknya dapat menjadi pengusaha yang sukses. Ini adalah doa untuk sebuah keinginan yang baik dan mulia. Namun ada ayah lain yang berdoa supaya ia diberikan kesempatan untuk bekerja, supaya memperoleh uang untuk bisa menyekolahkan anaknya di dalam mempersiapkannya menjadi pengusaha yang sukses. Ini adalah doa untuk sebuah kebutuhan yang diperlukan di dalam mencapai keinginan yang mulia.

Contoh lain di dalam konteks gereja: banyak umat Kristen yang berdoa supaya jemaat bertambah, kursi kosong terisi, banyak petobat baru dan doa-doa sejenisnya. Semua doa itu adalah baik dan mulia adanya. Namun barangkali kita harus memikirkan doa yang lain: “Tuhan berikan aku keberanian, kekuatan dan kerelaan untuk menjangkau orang-orang yang belum mengenal-Mu, serta membimbingnya untuk memiliki komitmen terhadap gereja lokal!” Doa semacam ini adalah bukan meminta untuk sebuah keinginan, tetapi kebutuhan untuk menggapai keinginan. Inilah doa Salomo.

Keinginan Salomo – layaknya pemimpin bangsa pada umumnya – adalah supaya kerajaan Israel yang besar itu sejahtera, maju, aman dan jaya. Semua itu bisa tercapai jika ia diberi kemampuan untuk memimpin bangsa yang tegar tengkuk ini dengan kearifan dan keadilan – dengan hati yang bijaksana. Ia sadar, ia masih muda. Ia sadar ia tidak berpengalaman. Ia sadar, beban hidup dan kepemimpinan yang ditanggungnya adalah berat. Ia tahu apa yang dibutuhkannya: itulah yang dimintanya. Doa semacam ini adalah doa yang jujur, tidak basa-basi, mendarat dan exactly right on the spot of the issues.

Doa Salomo adalah doa yang jujur untuk sebuah kebutuhan yang riil dan mendesak. Doa Salomo bukanlah doa yang malas – di sinilah prinsip Ora et Labora (St. Benedict) diterapkan. Salomo tidak berdoa untuk sebuah jalan pintas atau sebuah hasil yang instant. Doa Salomo adalah doa misionari karena ia mengijinkan dirinya untuk menjadi jawaban doa itu sendiri. Salomo tidak mengutus orang lain – ia mengutus dirinya sendiri untuk nyemplung dalam kesulitan politik bangsanya namun disertai dengan permohonan akan kebijaksanaan ilahi.

Sepanjang sejarah Alkitab dan dunia, terlepas dari inisiatif pribadi dan mujizat-Nya, Tuhan selalu bekerja sama dengan manusia. Kiranya renungan kecil ini boleh membawa perubahan paradigma berdoa yang selama ini kita naikan. Memang tidak ada peraturan baku di dalam doa. Doa itu relasi dengan Tuhan yang berbeda naturnya dari satu individu kepada individu lainnya. Namun demikian Salomo secara mendadak sontak telah menjadi guru doa bagi saya dan hopefully juga bagi segenap pembaca.

Sunday, 17 August 2014

TERJATUH DI KAMAR MANDI



Tanggal 5 Agustus yang lalu kira-kira jam 11 pagi saya terjatuh di kamar mandi. Sebetulnya jatuh di kamar mandi bukanlah suatu cerita yang menarik untuk dibaca. Tapi bagi saya peristiwa ini menarik. Saya tidak tahu persis apa yang Tuhan ingin utarakan melalui peristiwa ini, tetapi saya merasa ada yang ingin disampaikan-Nya. Mengapa?

Peristiwa ini aneh bagi saya, karena waktu yang dibutuhkan sejak saat saya mulai merasa saya akan jatuh sampai dengan saya “touch downon the ground kog sepertinya lama sekali – layaknya slow-motion dalam sebuah film. Dan inilah yang muncul di pikiran saya selama melayang-layang sebelum mendarat: Pertama ketika saya sadar saya akan jatuh, saya langsung berpikir: “Apakah saya terserang stroke?” Saat itu langsung muncul di otak saya wajah Kak Jer (alm.). Akankah saya meninggal sama seperti beliau? Apakah ini hari terakhir saya hidup? Saya sadar saya ada di dalam bath-tub, dan jika terjatuh ke lantai, kepala saya dan isinya bisa tergoncang. Saya mencoba untuk menggapai apa yang saya bisa gapai, tetapi semuanya licin. Tangan saya penuh sabun dan dinding kamar mandi terbuat dari bahan dengan permukaan yang licin. Pada waktu itu saya juga teringat Esther sedang bekerja, dan anak-anak kami sedang nonton TV di living room. Saya sempat bertanya-tanya dalam hati: apakah Keiko sudah pernah dilatih di sekolahnya untuk telefon 911? Dan apakah dia bisa menemukan dan menggunakan telefon genggam saya? Dan bagaimana mereka tahu saya jatuh jika saya pingsan atau worse than that? Karena anak-anak kalau sudah nonton TV lupa segalanya. Saya heran mengapa begitu banyak pikiran yang sempat mampir ke otak saya.

Akhirnya saya mendarat juga. Tirai bath-tub beserta tiang penyangganya lepas dari dinding menimpa saya. Ajaibnya, saya terjatuh duduk di tepi bath-tub. Seharusnya tubuh saya terjatuh ke lantai – namun ternyata posisi saya ada disamping toilet yang menahan saya dari hal yang lebih buruk. Seperti efek jatuh pada umumnya, tubuh saya gemetar. Meski tidak ada luka yang mengeluarkan darah, tangan saya lumayan sakit menahan berat badan saya beradu dengan dinding bath-tub. Setelah sadar bahwa saya masih sadar dan hidup, saya cepat-cepat lanjutkan mandinya dengan menyandarkan tubuh saya pada dinding. Keluar dari kamar mandi, langsung sibuk menjadi bapak rumah tangga: taking care of the kids.

Malamnya ketika bekerja, sambil mengemudikan mobil, saya bertanya kepada diri sendiri dan kepada Tuhan: “Apa tujuan hidup saya?” Mungkin Anda tahu jawabnya???