PENGANTAR
Perumpamaan tentang Seorang Penabur adalah salah
satu perumpamaan mengenai Kerajaan Allah yang paling populer. Barangkali hampir
semua orang yang menyebut dirinya Kristen pernah setidaknya sekali mendengarkan
kotbah dari perumpamaan ini. Di dalam Injil Matius (demikian juga di dalam
Injil Markus dan Lukas), Tuhan Yesus tidak sekedar menyampaikan kisah seorang
penabur yang menaburkan benihnya ke empat jenis tanah yang berbeda, Ia bahkan
memberikan arti dibalik perumpamaan tersebut. Perumpamaan dan artinya adalah
sangat jelas terkupas di dalam kitab Injil. Tulisan ini menawarkan sudut
pandang yang berbeda, yang sering diabaikan dan terlupakan di dalam memahami
dan menelusuri perumpamaan ini.
PERSPEKTIF 1:
FOKUS KEPADA SIKAP HATI MANUSIA
Pada umumnya dan memang demikianlah adanya, penafsiran
terhadap perumpamaan ini dipusatkan kepada empat jenis hati manusia yang digambarkan
dengan berbagai jenia tanah. Sikap hati manusia tersebut dikaitkan dengan
bagaimana manusia memberikan respon terhadap firman Tuhan yang digambarkan dengan
benih yang ditaburkan. Tiga jenis tanah yang pertama memberikan respon yang
buruk, sedangkan jenis tanah yang terakhir memberikan respon yang baik.
Benih yang jatuh di pinggir jalan menggambarkan
orang yang mendengar firman Tuhan, namun tidak memahaminya. Barangkali ada dua
kemungkinan besar mengapa orang yang mendengar firman Tuhan tidak memahaminya.
Kemungkinan pertama adalah karena orang tersebut memang secara intelektual
tidak mampu. Kemungkinan kedua adalah karena memang orang tersebut tidak mau.
Dari narasi yang dikisahkan oleh Tuhan Yesus, nampaknya kemungkinan kedualah
yang lebih benar. Orang-orang ini bertelinga namun tidak mendengar, bermata
namun tidak melihat, bahkan sekalipun mereka ‘melihat’ mereka tidak melihat dan
sekalipun mereka ‘mendengar’ mereka tidak mendengar (Mat 13.14-15 mengutip Yes
6.9-10). Kutipan dari Perjanjian Lama ini menggambarkan kefasikan manusia yang
tidak lagi mau mendengar suara Tuhan melalui nabi-nabi yang diutus-Nya. Mereka
merasa benar sendiri (self righteous)
dan sombong (arrogant), akibatnya
mereka tidak lagi mampu menerima kebenaran firman Tuhan. Karena manusia tidak
mau menerima firman Tuhan, maka iblis mengambil kesempatan untuk semakin
menjauhkan benih firman Tuhan tersebut.
Benih yang jatuh ke tanah berbatu menggambarkan
orang yang mendengar firman Tuhan dan menerimanya dengan gembira. Orang seperti
ini menerima firman Tuhan dengan penuh semangat. Namun kegembiraan mereka
hanyalah sesaat dan sebatas pada emosi saja. Orang yang seperti ini malas untuk
dengan sungguh-sungguh menggali dan menerapkan firman yang didengarnya. Firman
Tuhan hanya untuk menghibur (to entertain)
telinga dan emosinya saja. Firman Tuhan tidak mengakar, karenanya ketika badai
hidup dan tekanan melanda, matilah firman Tuhan yang sempat tumbuh sekejap saja
lamanya.
Benih yang jatuh ke tanah penuh dengan semak duri
menggambarkan orang yang mendengar firman Tuhan, namun kekuatiran duniawi dan keinginan
akan hal-hal yang bersifat material telang menghalangi firman yang ditaburkan
itu bertumbuh dan berbuah. Pada akhirnya benih tersebut juga mati hilang tak
berbekas. Berbeda dengan tanah berbatu yang menggambarkan hidup manusia yang
dilanda badai dan tekanan hidup (aspek eksternal), maka tanah bersemak duri menggambarkan
kekuatiran dan keinginan yang diciptakan oleh dirinya sendiri (aspek internal).
Benih yang jatuh ke tanah yang subur adalah firman
Tuhan yang didengarkan, dimengerti dan pada akhirnya berbuah berlipat-lipat.
Tanah yang subur adalah hati manusia yang rendah hati, yang bersedia untuk
mendengar firman kebenaran, memahaminya, dituntun olehnya, dan pada akhirnya
hidup di dalam ketaatan akan firman-Nya.
Penafsiran di atas terbukti sangat bermanfaat bagi
jemaat di gereja untuk memiliki sikap hati yang benar terhadap firman Tuhan. Jemaat
diingatkan bahwa meskipun firman Tuhan itu penuh kebenaran dan penuh kuasa,
namun ternyata – seolah-olah – hati kita jauh lebih berkuasa. Sikap hati manusia
yang sering merasa benar sendiri, yang mendengar firman Tuhan untuk sekedar
memenuhi kebutuhan emosi dan yang dipenuhi oleh kekuatiran harta duniawi bahkan
dapat membunuh firman Tuhan yang ditaburkan. Dengan kata lain, kita diingatkan
betapa dahsyatnya dan berbahayanya hati seorang manusia. Ia sanggup membunuh
firman Tuhan yang tajam bagaikan pedang bermata dua. Iblis adalah musuh yang
menjauhkan firman dari hidup manusia, namun iblis tidak bekerja jika manusia
tidak membuka peluang atau celah baginya. Musuh utama manusia berkaitan dengan
firman Tuhan adalah menganggap dirinya sebagai yang paling benar,
kesombongannya, kemalasannya, kekuatiran hidupnya dan keinginan duniawinya.
PERSPEKTIF
2: FOKUS KEPADA HASIL YANG MELIMPAH
Sikap hati yang digambarkan dengan tanah yang subur
menjanjikan hasil berlipat-lipat. Jarang sekali saya mendengar seorang
pengkotbah memberikan perhatian yang serius untuk mengungkap apa yang
dimaksudkan Tuhan Yesus dengan buah yang berlipat-lipat ini. Untuk sebagian
orang Kristen yang sangat antusias terhadap teologia kemakmuran, hasil yang
berlipat-lipat dimengerti sebagai hidup yang penuh keberhasilan. Kampanye dari
teologia kemakmuran adalah: ‘Jika hidupmu lekat dan taat kepada firman Tuhan,
engkau akan diberkati luar dalam.’ Bagi para misionaris yang sangat bersemangat
di dalam pekerjaan Injil, buah berlipat ganda menggambarkan penuaian jiwa. Kata
mereka, ‘Jika hidupmu lekat dan taat kepada firman Tuhan, orang-orang yang
melihat hidupmu akan datang kepada Tuhan dan gereja akan bertumbuh.’ Kita perlu
berhati-hati di dalam menafsirkan bagian ini. Secara sederhana benih mangga
bertumbuh menjadi pohon mangga dan berbuah mangga. Lebih dari itu, benih mangga harum manis akan
bertumbuh menjadi pohon mangga harum manis dan berbuah mangga harum manis. Jika
benih yang ditaburkan adalah firman Tuhan, dan benih tersebut ditaburkan di
dalam hati manusia, maka ia akan bertumbuh menjadi pohon yang disebut firman
Tuhan. Semakin hari ia akan semakin besar dan berbuah dengan berlipat-lipat.
Buah yang berlipat-lipat jika demikian menunjuk kepada potensi maksimum dari
sebuah kehidupan yang dipimpin oleh firman Tuhan.
Benih yang kecil akan bertumbuh dan menjadi besar.
Firman yang tadinya seperti benih yang kecil akan semakin hari semakin besar
dan menjadi penuntun kehidupan. Jika tiga jenis tanah yang pertama
menggambarkan betapa besarnya kuasa hati manusia yang bahkan sanggup membunuh
firman Tuhan, maka tanah yang subur mengijinkan dan memberikan kesempatan benih
yang kecil itu bertumbuh menjadi besar dan menguasai hati manusia, bahkan pada
akhirnya menghasilkan buah yang banyak. Tanah yang subur menggambarkan sikap hati
yang membiarkan firman Tuhan menjadi semakin besar dan berpengaruh di dalam
kehidupan manusia. Buah yang melimpah jika demikian tidak lain dan tidak bukan mencerminkan
kehidupan yang sesuai dengan yang dijanjikan di dalam firman Tuhan.
PERSPEKTIF
3: FOKUS KEPADA PELAYANAN PENABUR
Ketika saya menyelesaikan pendidikan sarjana di
Institut Pertanian Bogor, beberapa mahasiswa Kristen mengatakan pada saya bahwa
beberapa perumpamaan Tuhan Yesus tidak masuk akal. Salah satu perumpamaan yang
tidak masuk akal adalah perumpamaan tentang seorang penabur. Kata mereka: Orang
yang menabur dan mengharapkan buah adalah petani. Jika penabur di dalam
perumpamaan ini adalah benar-benar seorang petani, maka apa yang dilakukannya
adalah bodoh. Di dalam masa pendidikan pertanian di Bogor, mahasiswa diajarkan
bagaimana menanam benih supaya tumbuh sehat dan berbuah lebat. Masa persiapan
adalah penting, diantaranya: (1) tanah harus dibersihkan dari tanaman liar dan
semak duri; (2) batu-batu dan kerikil harus dibuang; (3) tanah harus
digemburkan; (4) tanah harus dipupuk sesuai dengan kebutuhan tanaman; (4)
obat-obatan anti rayap , ulat dan semut harus disiapkan; (5) jarak tanam harus
diatur dan lubang untuk benih perlu dibuat. Setelah semuanya selesai, barulah
benih itu ditaruh di dalam lubang yang telah dibuat dan ditutup dengan tanah.
Itupun belum selesai, masa pemeliharaan akan berlangsung terus selama tanaman
tersebut aktif berproduksi.
Secara ilmu pertanian apa yang dilakukan oleh
penabur di dalam perumpamaan ini memang tidak wajar. Ia petani yang ceroboh.
Mengapa benih yang baik dibuang-buang dipinggir jalan? Apakah Ia lupa
membersihkan semak belukar di lahan pertaniannya? Apakah ia juga lupa
membersihkan lahan tersebut dari batu-batu dan kerikil? Bagaimana menjawab pertanyaan-pertanyaan
seperti ini? Pembaca harus mengingat bahwa ketika Tuhan Yesus mengajarkan
sebuah perumpamaan, Ia ingin menyampaikan sebuah realita di balik perumpamaan
tersebut. Tuhan Yesus tidak sedang mengajarkan teknik bercocok tanam yang baik
dan benar. Ada suatu realita yang disembunyikan dibalik setiap perumpamaan yang
diajarkan Tuhan Yesus.
Perhatikan realita yang disembunyikan tersebut –
yang sering dilupakan mereka yang berkotbah dari perumpamaan ini. Pertama, siapakah penabur yang
menaburkan benih firman Tuhan tersebut? Kitab Injil tidak secara
terang-terangan menyebutkan bahwa penabur itu adalah Tuhan. Yang jelas, penabur
tersebut adalah sumber dimana firman Tuhan itu tersedia. Ia bisa saja Tuhan.
Namun ia bisa juga adalah gereja atau umat percaya pada umumnya. Di dalam
bahasa sehari-hari, penabur tersebut adalah pemberita firman Tuhan. Ia bisa
Tuhan sendiri, nabi-Nya, hamba-Nya, pendeta, orang Kristen yang menyaksikan
firman Tuhan baik di dalam kelompok besar maupun kecil.
Kedua,
apakah benih tersebut? Pertanyaan ini sudah dijawab di atas. Benih yang ditabur
adalah firman Tuhan. Benih tersebut berhubungan dengan kebenaran Tuhan atau
sesuatu yang terkait dengan Injil Kerajaan Allah. Apakah firman Tuhan yang
ditaburkan tersebut akan menyenangkan telinga orang banyak? Nampaknya tidak.
Tuhan Yesus mengatakan bahwa banyak orang yang bertelinga tidak mau
mendengarnya. Banyak orang yang bermata tidak mau melihatnya (Mat 13.14-15).
Intinya benih firman Tuhan yang baik dan benar tadi dianggap tidak penting dan
disepelekan oleh orang banyak. Perhatikan, di dalam sejarah Alkitab dan Gereja,
banyak nabi dan hamba Tuhan harus menderita dan mati karena memberitakan
kebenaran. Mereka ditolak oleh orang-orang yang seharusnya membutuhkan pesan
kebenaran tersebut. Puncaknya adalah kematian Tuhan Yesus di kayu salib yang
kita peringati sepanjang minggu ini. Tuhan Yesus yang adalah firman sejati yang
penuh kebenaran itu ternyata ditolak oleh kebanyakan orang.
Dengan permainan matematika sederhana, setidaknya
jika masing-masing jenis tanah memiliki populasi yang sama: 25% untuk tanah di
pinggir jalan; 25% tanah berbatu; 25% tanah bersemak duri; 25% tanah yang subur
– maka 75% pendengar firman Tuhan memiliki potensi untuk menolak firman Tuhan. Pada
kenyataannya mungkin lebih dari pada itu. Dengan kata lain, pelayanan atau
pekerjaan menaburkan firman Tuhan itu seperti pekerjaan yang memiliki potensi
keberhasilan hanya 25% saja atau kurang dari itu. Pekerjaan dan pelayanan
firman Tuhan karenanya bukanlah pekerjaan yang menjanjikan keberuntungan secara
ilmu matematika dan statistika.
Seperti yang telah dituliskan di atas, perumpamaan
merupakan suatu cerita yang mewakili sebuah realita. Meskipun apa yang
dilakukan si penabur tidak masuk akal bagi seorang ahli ilmu pertanian, namun
apa yang dilakukannya di dalam perumpamaan ini mewakili sebuah realita di dalam
ekonomi Kerajaan Allah. Di dalam pandangan Tuhan Yesus dan yang nyata dari
sejarah Perjanjian Lama, kebenaran harus diberitakan kepada semua orang. Firman
Tuhan seharusnya tidak hanya diberitakan kepada orang-orang yang memiliki hati
seperti tanah yang subur saja. Firman Tuhan juga harus diberitakan kepada
manusia yang memiliki hati seperti tanah di pinggir jalan, tanah berbatu dan
tanah bersemak duri. Mengapa demikian? Inilah alasannya:
1. Kita menabur benih – kita tidak menilai orang
lain. Sebagai pemberita firman kebenaran, kita tidak pernah tahu siapa yang
memiliki hati seperti tanah yang subur atau tanah yang buruk. Kita mungkin
berpikir untuk apa memberitakan firman Tuhan kepada orang-orang yang nampaknya
akan menolak. Bukankah kegiatan semacam itu hanya membuang-buang tenaga dan
waktu saja? Jika kita memilah-milah pendengar firman Tuhan yang kita taburkan,
kita telah menghakimi orang lain tanpa bukti-bukti yang sah. Di dalam
memberitakan firman Tuhan, azas praduga tak bersalah harus diterapkan.
2. Kita menabur benih – kita tidak menentukan waktu
menuai. Selain itu kita sering mendengarkan kesaksian orang bertobat dan
percaya kepada Tuhan Yesus karena mendengarkan kotbah yang menyentuh hati.
Orang lain bertobat karena Tuhan menyembuhkan penyakitnya. Yang lain lagi
bertobat karena lolos dari jerat hutang. Jarang kita mendengar kesaksian
seseorang menjadi percaya kepada Tuhan karena tujuh belas kali mendengar firman
Tuhan atau setelah lima puluh delapan kali hadir di dalam ibadah di gereja atau
setelah selama sepuluh tahun rutin membaca Alkitab. Intinya firman yang ditabur
hari ini bisa saja ditolak, tapi siapa tahu minggu depan diterima. Tahun ini
ditolak, siapa tahu enam tahun lagi diterima. Hari ini sikap hati masih seperti
tanah berbatu, siapa tahu seminggu sebelum wafat menjadi tanah yang subur?
Tugas gereja dan umat-Nya adalah menabur. Waktu menuai hanya Tuhan yang tahu.
Dunia yang gelap ini sesungguhnya membutuhkan dan menantikan penabur firman
kebenaran.
3. Kita menabur benih – kita tidak mengejar
keuntungan. Perumpamaan ini mengingatkan kita, walaupun persentase kesuksesan
mungkin hanya 25%, firman Tuhan tetap harus disaksikan kepada semua orang.
Memberitakan firman Tuhan tidak sama dengan berdagang barang kelontong. Seorang
pedagang menjual barang di tempat-tempat yang menguntungkan. Pemberita firman
Tuhan seharusnya menyaksikan firman kebenaran bahkan di tempat-tempat dimana
orang tidak rela untuk menyentuhnya. Beberapa tahun yang lalu, ketika saya
mulai belajar mengenai ilmu kepemimpinan, saya dilatih untuk menerapkan prinsip
80-20. Prinsip tersebut mengajarkan saya untuk memberikan 80% dari waktu saya
untuk 20% orang yang paling berpotensi yang berada di dalam kepemimpinan saya.
Sisa waktu yang 20% diberikan bagi 80% orang yang kurang berpotensi di dalam
kepemimpinan saya. Prinsip 80-20 tidaklah selalu salah di dalam sebuah proses
pengembangan kepemimpinan, namun di dalam urusan menabur firman Tuhan, prinsip
ini tidak berlaku. Ekonomi kerajaan Allah di dalam menyaksikan kebenaran Tuhan
nampaknya tidak sama dengan ekonomi pengembangan kepemimpinan pada umumnya.
Realita kerajaan Allah yang ingin digambarkan oleh perumpamaan ini adalah
kenyataan bahwa firman Tuhan telah dan akan ditaburkan di tempat-tempat yang
tidak menguntungkan secara ilmu ekonomi. Firman Tuhan harus disaksikan bahkan
kepada mereka yang kemungkinan besar akan menolaknya. Firman Tuhan harus
disaksikan kepada orang-orang yang jahat sekalipun, yang nampaknya tidak akan
pernah akan bersedia untuk mendengar dan mentaatinya. Penabur di dalam
perumpamaan ini menggambarkan seseorang yang melayani Tuhan dengan tidak
memperhitungkan untung rugi seperti pelaku bisnis pada umumnya.
4. Kita dipanggil menjadi terang bagi dunia ini –
kita tidak dipanggil menjadi terang di dalam tembok gereja. Tuhan mengasihi
dunia yang diciptakan-Nya. Tuhan Yesus mati bagi dunia ini supaya barangsiapa
yang percaya kepada-Nya tidak binasa. Gereja dipanggil untuk menjadi saksi bagi
dunia ini. Kita tidak dipanggil untuk melayani orang-orang yang baik saja.
Setiap individu yang hidup di dunia ini perlu mendapat kesempatan untuk
mendengarkan firman Tuhan supaya mereka dapat memutuskan untuk mempercayainya
atau menolaknya. Karenanya, memberitakan firman Tuhan kepada manusia yang
hatinya seperti tanah yang di pinggir jalan, tanah berbatu dan tanah bersemak
duri adalah sebuah pelayanan yang menyatakan ungkapan kasih Tuhan yang paling
dalam bagi dunia yang dikasihi-Nya. Perumpamaan ini lebih dari sekedar
menggambarkan sebuah realita yang sudah dan akan terjadi – Perumpamaan ini
melukiskan sebuah mandat ilahi pemberitaan firman kebenaran.
Gereja perlu merenungkan kembali apa
yang menjadi misi utamanya. Apakah kita sedang membangun gereja yang lebih
baik? Ataukah kita sedang membangun dunia yang lebih baik? Saya tidak ingin
membangun tembok pemisah yang ekstrim di antara keduanya. Namun demikian, jika
firman Tuhan diberitakan hanya kepada orang-orang yang hatinya seperti tanah
yang subur saja, maka firman Tuhan tidak akan pernah keluar dari gedung gereja.
Orientasi misi gereja akan terpusat ke dalam (internal). Sesungguhnya gereja tidak memiliki misi yang berdiri
sendiri. Hanya Tuhanlah yang memiliki misi akan dunia yang diciptakan-Nya (Missio Dei). Misi Gereja yang benar dan
satu-satunya adalah turut berpartisipasi di dalam misi Tuhan tersebut. Tuhan
memiliki misi, gereja adalah pelaku misi tersebut. Perumpamaan Penabur mengajar
dan mengajak kita untuk menjadi gereja yang menaburkan firman bukan saja di
dalam tembok gereja, namun ke tempat-tempat sulit dan penuh dengan penolakan.
Jika umat percaya membutuhkan firman Tuhan, apalagi dunia yang masih gelap ini?
Jika benih firman perlu ditabur di dalam gereja, betapa lebih perlunya benih
firman ditabur di luar gereja?
PENUTUP:
KEAJAIBAN ANUGERAH
Di dalam pemahaman itulah kita memahami keajaiban
anugerah Tuhan. Ia datang ke dalam dunia ini untuk menyelamatkan dunia yang
dikasihi-Nya – namun dunia justru menolak-Nya. Ia tidak memilih tempat yang
baik dan menguntungkan, namun bergaul bersama pemungut cukai, perempuan
berdosa, orang miskin, cacat dan tertolak. Ia meninggalkan kenyaman surgawi, lahir
di dunia yang mengabaikan, menyepelekan, menolak dan menyalibkan-Nya. Namun
demikian Ia setia mati di kayu salib supaya barangsiapa yang percaya di dalam
nama-Nya tidak binasa melainkan beroleh hidup yang kekal. Kematian Tuhan Yesus
di salib Golgota adalah puncak penolakan terhadap benih firman kebenaran yang
ditaburkan. Karena Tuhan Yesus sejatinya adalah firman yang menjadi manusia.
Kematiaan-Nya adalah keajaiban anugerah bagi dunia yang diciptakan dan
dikasihi-Nya.
Selamat Paskah. Hari ini kita merayakan kebangkitan
firman Tuhan yang telah menjadi manusia, yang ditaburkan di dunia gelap kelam,
yang ditolak, dihina, disepelekan dan akhirnya mati disalibkan. Firman itu telah bangkit dan menang! Kiranya
kebangkitan-Nya menjadi api semangat yang mendorong gereja-Nya di dalam
memberitakan terang kebenaran kepada dunia yang gelap ini – seperti yang telah
dicontohkan oleh sang Penabur.