Tuesday, 26 March 2013

GRACE THAT IS AMAZING: A DIFFERENT LOOK AT THE PARABLE OF THE SOWER (MATTHEW 13.1-23)



 
PENGANTAR

Perumpamaan tentang Seorang Penabur adalah salah satu perumpamaan mengenai Kerajaan Allah yang paling populer. Barangkali hampir semua orang yang menyebut dirinya Kristen pernah setidaknya sekali mendengarkan kotbah dari perumpamaan ini. Di dalam Injil Matius (demikian juga di dalam Injil Markus dan Lukas), Tuhan Yesus tidak sekedar menyampaikan kisah seorang penabur yang menaburkan benihnya ke empat jenis tanah yang berbeda, Ia bahkan memberikan arti dibalik perumpamaan tersebut. Perumpamaan dan artinya adalah sangat jelas terkupas di dalam kitab Injil. Tulisan ini menawarkan sudut pandang yang berbeda, yang sering diabaikan dan terlupakan di dalam memahami dan menelusuri perumpamaan ini.


PERSPEKTIF 1: FOKUS KEPADA SIKAP HATI MANUSIA

Pada umumnya dan memang demikianlah adanya, penafsiran terhadap perumpamaan ini dipusatkan kepada empat jenis hati manusia yang digambarkan dengan berbagai jenia tanah. Sikap hati manusia tersebut dikaitkan dengan bagaimana manusia memberikan respon terhadap firman Tuhan yang digambarkan dengan benih yang ditaburkan. Tiga jenis tanah yang pertama memberikan respon yang buruk, sedangkan jenis tanah yang terakhir memberikan respon yang baik.

Benih yang jatuh di pinggir jalan menggambarkan orang yang mendengar firman Tuhan, namun tidak memahaminya. Barangkali ada dua kemungkinan besar mengapa orang yang mendengar firman Tuhan tidak memahaminya. Kemungkinan pertama adalah karena orang tersebut memang secara intelektual tidak mampu. Kemungkinan kedua adalah karena memang orang tersebut tidak mau. Dari narasi yang dikisahkan oleh Tuhan Yesus, nampaknya kemungkinan kedualah yang lebih benar. Orang-orang ini bertelinga namun tidak mendengar, bermata namun tidak melihat, bahkan sekalipun mereka ‘melihat’ mereka tidak melihat dan sekalipun mereka ‘mendengar’ mereka tidak mendengar (Mat 13.14-15 mengutip Yes 6.9-10). Kutipan dari Perjanjian Lama ini menggambarkan kefasikan manusia yang tidak lagi mau mendengar suara Tuhan melalui nabi-nabi yang diutus-Nya. Mereka merasa benar sendiri (self righteous) dan sombong (arrogant), akibatnya mereka tidak lagi mampu menerima kebenaran firman Tuhan. Karena manusia tidak mau menerima firman Tuhan, maka iblis mengambil kesempatan untuk semakin menjauhkan benih firman Tuhan tersebut.

Benih yang jatuh ke tanah berbatu menggambarkan orang yang mendengar firman Tuhan dan menerimanya dengan gembira. Orang seperti ini menerima firman Tuhan dengan penuh semangat. Namun kegembiraan mereka hanyalah sesaat dan sebatas pada emosi saja. Orang yang seperti ini malas untuk dengan sungguh-sungguh menggali dan menerapkan firman yang didengarnya. Firman Tuhan hanya untuk menghibur (to entertain) telinga dan emosinya saja. Firman Tuhan tidak mengakar, karenanya ketika badai hidup dan tekanan melanda, matilah firman Tuhan yang sempat tumbuh sekejap saja lamanya.

Benih yang jatuh ke tanah penuh dengan semak duri menggambarkan orang yang mendengar firman Tuhan, namun kekuatiran duniawi dan keinginan akan hal-hal yang bersifat material telang menghalangi firman yang ditaburkan itu bertumbuh dan berbuah. Pada akhirnya benih tersebut juga mati hilang tak berbekas. Berbeda dengan tanah berbatu yang menggambarkan hidup manusia yang dilanda badai dan tekanan hidup (aspek eksternal), maka tanah bersemak duri menggambarkan kekuatiran dan keinginan yang diciptakan oleh dirinya sendiri (aspek internal).

Benih yang jatuh ke tanah yang subur adalah firman Tuhan yang didengarkan, dimengerti dan pada akhirnya berbuah berlipat-lipat. Tanah yang subur adalah hati manusia yang rendah hati, yang bersedia untuk mendengar firman kebenaran, memahaminya, dituntun olehnya, dan pada akhirnya hidup di dalam ketaatan akan firman-Nya.

Penafsiran di atas terbukti sangat bermanfaat bagi jemaat di gereja untuk memiliki sikap hati yang benar terhadap firman Tuhan. Jemaat diingatkan bahwa meskipun firman Tuhan itu penuh kebenaran dan penuh kuasa, namun ternyata – seolah-olah – hati kita jauh lebih berkuasa. Sikap hati manusia yang sering merasa benar sendiri, yang mendengar firman Tuhan untuk sekedar memenuhi kebutuhan emosi dan yang dipenuhi oleh kekuatiran harta duniawi bahkan dapat membunuh firman Tuhan yang ditaburkan. Dengan kata lain, kita diingatkan betapa dahsyatnya dan berbahayanya hati seorang manusia. Ia sanggup membunuh firman Tuhan yang tajam bagaikan pedang bermata dua. Iblis adalah musuh yang menjauhkan firman dari hidup manusia, namun iblis tidak bekerja jika manusia tidak membuka peluang atau celah baginya. Musuh utama manusia berkaitan dengan firman Tuhan adalah menganggap dirinya sebagai yang paling benar, kesombongannya, kemalasannya, kekuatiran hidupnya dan keinginan duniawinya.


PERSPEKTIF 2: FOKUS KEPADA HASIL YANG MELIMPAH

Sikap hati yang digambarkan dengan tanah yang subur menjanjikan hasil berlipat-lipat. Jarang sekali saya mendengar seorang pengkotbah memberikan perhatian yang serius untuk mengungkap apa yang dimaksudkan Tuhan Yesus dengan buah yang berlipat-lipat ini. Untuk sebagian orang Kristen yang sangat antusias terhadap teologia kemakmuran, hasil yang berlipat-lipat dimengerti sebagai hidup yang penuh keberhasilan. Kampanye dari teologia kemakmuran adalah: ‘Jika hidupmu lekat dan taat kepada firman Tuhan, engkau akan diberkati luar dalam.’ Bagi para misionaris yang sangat bersemangat di dalam pekerjaan Injil, buah berlipat ganda menggambarkan penuaian jiwa. Kata mereka, ‘Jika hidupmu lekat dan taat kepada firman Tuhan, orang-orang yang melihat hidupmu akan datang kepada Tuhan dan gereja akan bertumbuh.’ Kita perlu berhati-hati di dalam menafsirkan bagian ini. Secara sederhana benih mangga bertumbuh menjadi pohon mangga dan berbuah mangga.  Lebih dari itu, benih mangga harum manis akan bertumbuh menjadi pohon mangga harum manis dan berbuah mangga harum manis. Jika benih yang ditaburkan adalah firman Tuhan, dan benih tersebut ditaburkan di dalam hati manusia, maka ia akan bertumbuh menjadi pohon yang disebut firman Tuhan. Semakin hari ia akan semakin besar dan berbuah dengan berlipat-lipat. Buah yang berlipat-lipat jika demikian menunjuk kepada potensi maksimum dari sebuah kehidupan yang dipimpin oleh firman Tuhan.

Benih yang kecil akan bertumbuh dan menjadi besar. Firman yang tadinya seperti benih yang kecil akan semakin hari semakin besar dan menjadi penuntun kehidupan. Jika tiga jenis tanah yang pertama menggambarkan betapa besarnya kuasa hati manusia yang bahkan sanggup membunuh firman Tuhan, maka tanah yang subur mengijinkan dan memberikan kesempatan benih yang kecil itu bertumbuh menjadi besar dan menguasai hati manusia, bahkan pada akhirnya menghasilkan buah yang banyak. Tanah yang subur menggambarkan sikap hati yang membiarkan firman Tuhan menjadi semakin besar dan berpengaruh di dalam kehidupan manusia. Buah yang melimpah jika demikian tidak lain dan tidak bukan mencerminkan kehidupan yang sesuai dengan yang dijanjikan di dalam firman Tuhan.


PERSPEKTIF 3: FOKUS KEPADA PELAYANAN PENABUR

Ketika saya menyelesaikan pendidikan sarjana di Institut Pertanian Bogor, beberapa mahasiswa Kristen mengatakan pada saya bahwa beberapa perumpamaan Tuhan Yesus tidak masuk akal. Salah satu perumpamaan yang tidak masuk akal adalah perumpamaan tentang seorang penabur. Kata mereka: Orang yang menabur dan mengharapkan buah adalah petani. Jika penabur di dalam perumpamaan ini adalah benar-benar seorang petani, maka apa yang dilakukannya adalah bodoh. Di dalam masa pendidikan pertanian di Bogor, mahasiswa diajarkan bagaimana menanam benih supaya tumbuh sehat dan berbuah lebat. Masa persiapan adalah penting, diantaranya: (1) tanah harus dibersihkan dari tanaman liar dan semak duri; (2) batu-batu dan kerikil harus dibuang; (3) tanah harus digemburkan; (4) tanah harus dipupuk sesuai dengan kebutuhan tanaman; (4) obat-obatan anti rayap , ulat dan semut harus disiapkan; (5) jarak tanam harus diatur dan lubang untuk benih perlu dibuat. Setelah semuanya selesai, barulah benih itu ditaruh di dalam lubang yang telah dibuat dan ditutup dengan tanah. Itupun belum selesai, masa pemeliharaan akan berlangsung terus selama tanaman tersebut aktif berproduksi.

Secara ilmu pertanian apa yang dilakukan oleh penabur di dalam perumpamaan ini memang tidak wajar. Ia petani yang ceroboh. Mengapa benih yang baik dibuang-buang dipinggir jalan? Apakah Ia lupa membersihkan semak belukar di lahan pertaniannya? Apakah ia juga lupa membersihkan lahan tersebut dari batu-batu dan kerikil? Bagaimana menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti ini? Pembaca harus mengingat bahwa ketika Tuhan Yesus mengajarkan sebuah perumpamaan, Ia ingin menyampaikan sebuah realita di balik perumpamaan tersebut. Tuhan Yesus tidak sedang mengajarkan teknik bercocok tanam yang baik dan benar. Ada suatu realita yang disembunyikan dibalik setiap perumpamaan yang diajarkan Tuhan Yesus.

Perhatikan realita yang disembunyikan tersebut – yang sering dilupakan mereka yang berkotbah dari perumpamaan ini. Pertama, siapakah penabur yang menaburkan benih firman Tuhan tersebut? Kitab Injil tidak secara terang-terangan menyebutkan bahwa penabur itu adalah Tuhan. Yang jelas, penabur tersebut adalah sumber dimana firman Tuhan itu tersedia. Ia bisa saja Tuhan. Namun ia bisa juga adalah gereja atau umat percaya pada umumnya. Di dalam bahasa sehari-hari, penabur tersebut adalah pemberita firman Tuhan. Ia bisa Tuhan sendiri, nabi-Nya, hamba-Nya, pendeta, orang Kristen yang menyaksikan firman Tuhan baik di dalam kelompok besar maupun kecil.

Kedua, apakah benih tersebut? Pertanyaan ini sudah dijawab di atas. Benih yang ditabur adalah firman Tuhan. Benih tersebut berhubungan dengan kebenaran Tuhan atau sesuatu yang terkait dengan Injil Kerajaan Allah. Apakah firman Tuhan yang ditaburkan tersebut akan menyenangkan telinga orang banyak? Nampaknya tidak. Tuhan Yesus mengatakan bahwa banyak orang yang bertelinga tidak mau mendengarnya. Banyak orang yang bermata tidak mau melihatnya (Mat 13.14-15). Intinya benih firman Tuhan yang baik dan benar tadi dianggap tidak penting dan disepelekan oleh orang banyak. Perhatikan, di dalam sejarah Alkitab dan Gereja, banyak nabi dan hamba Tuhan harus menderita dan mati karena memberitakan kebenaran. Mereka ditolak oleh orang-orang yang seharusnya membutuhkan pesan kebenaran tersebut. Puncaknya adalah kematian Tuhan Yesus di kayu salib yang kita peringati sepanjang minggu ini. Tuhan Yesus yang adalah firman sejati yang penuh kebenaran itu ternyata ditolak oleh kebanyakan orang.

Dengan permainan matematika sederhana, setidaknya jika masing-masing jenis tanah memiliki populasi yang sama: 25% untuk tanah di pinggir jalan; 25% tanah berbatu; 25% tanah bersemak duri; 25% tanah yang subur – maka 75% pendengar firman Tuhan memiliki potensi untuk menolak firman Tuhan. Pada kenyataannya mungkin lebih dari pada itu. Dengan kata lain, pelayanan atau pekerjaan menaburkan firman Tuhan itu seperti pekerjaan yang memiliki potensi keberhasilan hanya 25% saja atau kurang dari itu. Pekerjaan dan pelayanan firman Tuhan karenanya bukanlah pekerjaan yang menjanjikan keberuntungan secara ilmu matematika dan statistika.


Seperti yang telah dituliskan di atas, perumpamaan merupakan suatu cerita yang mewakili sebuah realita. Meskipun apa yang dilakukan si penabur tidak masuk akal bagi seorang ahli ilmu pertanian, namun apa yang dilakukannya di dalam perumpamaan ini mewakili sebuah realita di dalam ekonomi Kerajaan Allah. Di dalam pandangan Tuhan Yesus dan yang nyata dari sejarah Perjanjian Lama, kebenaran harus diberitakan kepada semua orang. Firman Tuhan seharusnya tidak hanya diberitakan kepada orang-orang yang memiliki hati seperti tanah yang subur saja. Firman Tuhan juga harus diberitakan kepada manusia yang memiliki hati seperti tanah di pinggir jalan, tanah berbatu dan tanah bersemak duri. Mengapa demikian? Inilah alasannya: 

1.  Kita menabur benih – kita tidak menilai orang lain. Sebagai pemberita firman kebenaran, kita tidak pernah tahu siapa yang memiliki hati seperti tanah yang subur atau tanah yang buruk. Kita mungkin berpikir untuk apa memberitakan firman Tuhan kepada orang-orang yang nampaknya akan menolak. Bukankah kegiatan semacam itu hanya membuang-buang tenaga dan waktu saja? Jika kita memilah-milah pendengar firman Tuhan yang kita taburkan, kita telah menghakimi orang lain tanpa bukti-bukti yang sah. Di dalam memberitakan firman Tuhan, azas praduga tak bersalah harus diterapkan.

2.  Kita menabur benih – kita tidak menentukan waktu menuai. Selain itu kita sering mendengarkan kesaksian orang bertobat dan percaya kepada Tuhan Yesus karena mendengarkan kotbah yang menyentuh hati. Orang lain bertobat karena Tuhan menyembuhkan penyakitnya. Yang lain lagi bertobat karena lolos dari jerat hutang. Jarang kita mendengar kesaksian seseorang menjadi percaya kepada Tuhan karena tujuh belas kali mendengar firman Tuhan atau setelah lima puluh delapan kali hadir di dalam ibadah di gereja atau setelah selama sepuluh tahun rutin membaca Alkitab. Intinya firman yang ditabur hari ini bisa saja ditolak, tapi siapa tahu minggu depan diterima. Tahun ini ditolak, siapa tahu enam tahun lagi diterima. Hari ini sikap hati masih seperti tanah berbatu, siapa tahu seminggu sebelum wafat menjadi tanah yang subur? Tugas gereja dan umat-Nya adalah menabur. Waktu menuai hanya Tuhan yang tahu. Dunia yang gelap ini sesungguhnya membutuhkan dan menantikan penabur firman kebenaran.

3.  Kita menabur benih – kita tidak mengejar keuntungan. Perumpamaan ini mengingatkan kita, walaupun persentase kesuksesan mungkin hanya 25%, firman Tuhan tetap harus disaksikan kepada semua orang. Memberitakan firman Tuhan tidak sama dengan berdagang barang kelontong. Seorang pedagang menjual barang di tempat-tempat yang menguntungkan. Pemberita firman Tuhan seharusnya menyaksikan firman kebenaran bahkan di tempat-tempat dimana orang tidak rela untuk menyentuhnya. Beberapa tahun yang lalu, ketika saya mulai belajar mengenai ilmu kepemimpinan, saya dilatih untuk menerapkan prinsip 80-20. Prinsip tersebut mengajarkan saya untuk memberikan 80% dari waktu saya untuk 20% orang yang paling berpotensi yang berada di dalam kepemimpinan saya. Sisa waktu yang 20% diberikan bagi 80% orang yang kurang berpotensi di dalam kepemimpinan saya. Prinsip 80-20 tidaklah selalu salah di dalam sebuah proses pengembangan kepemimpinan, namun di dalam urusan menabur firman Tuhan, prinsip ini tidak berlaku. Ekonomi kerajaan Allah di dalam menyaksikan kebenaran Tuhan nampaknya tidak sama dengan ekonomi pengembangan kepemimpinan pada umumnya. Realita kerajaan Allah yang ingin digambarkan oleh perumpamaan ini adalah kenyataan bahwa firman Tuhan telah dan akan ditaburkan di tempat-tempat yang tidak menguntungkan secara ilmu ekonomi. Firman Tuhan harus disaksikan bahkan kepada mereka yang kemungkinan besar akan menolaknya. Firman Tuhan harus disaksikan kepada orang-orang yang jahat sekalipun, yang nampaknya tidak akan pernah akan bersedia untuk mendengar dan mentaatinya. Penabur di dalam perumpamaan ini menggambarkan seseorang yang melayani Tuhan dengan tidak memperhitungkan untung rugi seperti pelaku bisnis pada umumnya.

4.  Kita dipanggil menjadi terang bagi dunia ini – kita tidak dipanggil menjadi terang di dalam tembok gereja. Tuhan mengasihi dunia yang diciptakan-Nya. Tuhan Yesus mati bagi dunia ini supaya barangsiapa yang percaya kepada-Nya tidak binasa. Gereja dipanggil untuk menjadi saksi bagi dunia ini. Kita tidak dipanggil untuk melayani orang-orang yang baik saja. Setiap individu yang hidup di dunia ini perlu mendapat kesempatan untuk mendengarkan firman Tuhan supaya mereka dapat memutuskan untuk mempercayainya atau menolaknya. Karenanya, memberitakan firman Tuhan kepada manusia yang hatinya seperti tanah yang di pinggir jalan, tanah berbatu dan tanah bersemak duri adalah sebuah pelayanan yang menyatakan ungkapan kasih Tuhan yang paling dalam bagi dunia yang dikasihi-Nya. Perumpamaan ini lebih dari sekedar menggambarkan sebuah realita yang sudah dan akan terjadi – Perumpamaan ini melukiskan sebuah mandat ilahi pemberitaan firman kebenaran. 

Gereja perlu merenungkan kembali apa yang menjadi misi utamanya. Apakah kita sedang membangun gereja yang lebih baik? Ataukah kita sedang membangun dunia yang lebih baik? Saya tidak ingin membangun tembok pemisah yang ekstrim di antara keduanya. Namun demikian, jika firman Tuhan diberitakan hanya kepada orang-orang yang hatinya seperti tanah yang subur saja, maka firman Tuhan tidak akan pernah keluar dari gedung gereja. Orientasi misi gereja akan terpusat ke dalam (internal). Sesungguhnya gereja tidak memiliki misi yang berdiri sendiri. Hanya Tuhanlah yang memiliki misi akan dunia yang diciptakan-Nya (Missio Dei). Misi Gereja yang benar dan satu-satunya adalah turut berpartisipasi di dalam misi Tuhan tersebut. Tuhan memiliki misi, gereja adalah pelaku misi tersebut. Perumpamaan Penabur mengajar dan mengajak kita untuk menjadi gereja yang menaburkan firman bukan saja di dalam tembok gereja, namun ke tempat-tempat sulit dan penuh dengan penolakan. Jika umat percaya membutuhkan firman Tuhan, apalagi dunia yang masih gelap ini? Jika benih firman perlu ditabur di dalam gereja, betapa lebih perlunya benih firman ditabur di luar gereja?


PENUTUP: KEAJAIBAN ANUGERAH

Di dalam pemahaman itulah kita memahami keajaiban anugerah Tuhan. Ia datang ke dalam dunia ini untuk menyelamatkan dunia yang dikasihi-Nya – namun dunia justru menolak-Nya. Ia tidak memilih tempat yang baik dan menguntungkan, namun bergaul bersama pemungut cukai, perempuan berdosa, orang miskin, cacat dan tertolak. Ia meninggalkan kenyaman surgawi, lahir di dunia yang mengabaikan, menyepelekan, menolak dan menyalibkan-Nya. Namun demikian Ia setia mati di kayu salib supaya barangsiapa yang percaya di dalam nama-Nya tidak binasa melainkan beroleh hidup yang kekal. Kematian Tuhan Yesus di salib Golgota adalah puncak penolakan terhadap benih firman kebenaran yang ditaburkan. Karena Tuhan Yesus sejatinya adalah firman yang menjadi manusia. Kematiaan-Nya adalah keajaiban anugerah bagi dunia yang diciptakan dan dikasihi-Nya.

Selamat Paskah. Hari ini kita merayakan kebangkitan firman Tuhan yang telah menjadi manusia, yang ditaburkan di dunia gelap kelam, yang ditolak, dihina, disepelekan dan akhirnya mati disalibkan.  Firman itu telah bangkit dan menang! Kiranya kebangkitan-Nya menjadi api semangat yang mendorong gereja-Nya di dalam memberitakan terang kebenaran kepada dunia yang gelap ini – seperti yang telah dicontohkan oleh sang Penabur.