Thursday 26 January 2012

BERJAGA-JAGA (LUKAS 17.20-37)

Tuhan Yesus pernah berkata, ‘Di mana ada mayat, di situ berkerumun burung Nasar’ (Lukas 17.37). Kata-kata bijaksana ini mengandung makna bahwa sesuatu yang terjadi itu biasanya ada tanda-tanda yang mendahuluinya. Nampaknya kata-kata ini justru bertentangan dengan pengajaran Tuhan Yesus di awal perikop yang mengatakan bahwa tidak ada tanda-tanda lahiriah yang mendahului kedatangan Kerajaan Allah (ay. 20). Jika demikian, tanda-tanda yang dimaksudkan oleh ayat ke-37 adalah tanda-tanda yang bukan lahiriah. Atau, seandainyapun tanda-tanda itu bersifat lahiriah, manusia dunia ini tidak mampu mengenalinya, karena mereka dibutakan dari melihat hal-hal yang rohani.

Contoh dari Perjanjian Lama, Nuh (ay. 26-27) dan Lot (ay. 28-33) menunjukkan adanya (1) faktor keterlambatan untuk bertobat; (2) faktor dimana orang yang bertobat ingin kembali lagi ke habitat-nya yang lama. Mengapa kedua faktor  tersebut bisa terjadi? Pertama, karena orang-orang di dunia ini menikmati hidup di dalam dosa, pesta pora dan kemabukan tanpa menyadari peringatan dan murka Tuhan. Kedua, karena orang-orang di dunia ini tidak menyadari betapa dahsyatnya murka Tuhan yang mengharuskan pertobatan yang total dan tidak setengah-setengah (perhatikan kisah istri Lot). Banyak orang bertobat karena dosa-dosa dan kesalahannya, sayangnya hanya sedikit orang yang bertobat dengan serius dan sungguh-sungguh, serta meninggalkan hidup lamanya. 

Memang tanda-tanda lahiriah tidak ada. Tidak ada pengumuman resmi tentang kapan Kerajaan Allah akan datang, kapan Tuhan akan datang kembali, dan kapan Tuhan akan menghakimi serta menghukum manusia yang berdosa. Namun sesungguhnya, Tuhan telah menyatakan peringatan-peringatan-Nya, baik itu yang tertulis di dalam firman-Nya, ataupun melalui cara-cara yang lain.

Tugas kita sebagai manusia adalah hidup waspada dan berjaga-jaga di dalam takut akan Tuhan dan ketaatan kepada firman-Nya. Tidak ada persiapan khusus yang kita dapat lakukan layaknya mempersiapkan acara pernikahan atau kelahiran seorang anak. Kewaspadaan dan sikap yang berjaga-jaga itu dituntut setiap saat, karena penghukuman dan penghakiman dapat datang kapanpun juga. Demikian juga Anak Manusia, Ia akan datang pada saat yang tidak terduga. 

Wednesday 25 January 2012

KETURUNAN YANG PERKASA MAZMUR 112.2

Generasi pendahulu kita bangga memiliki keturunan yang banyak. Kata mereka, ‘Banyak anak banyak rejeki.’ Keluarga-keluarga muda mungkin tidak lagi setuju dengan kata-kata itu. Buktinya satu atau dua anak saja repotnya setengah mati. Tidak jarang orangtua yang mengatakan bahwa rumahnya mirip ‘kapal pecah’ karena anak-anaknya yang bandel dan susah diatur.

Saya telah menyaksikan sendiri dan melakukan wawancara terstruktur dengan ibu-ibu dari orang-orang yang takut akan Tuhan dan hidupnya berhasil – dan menemukan bahwa kunci awal dari proses melahirkan pemimpin-pemimpin yang demikian adalah (1) bertekun di dalam doa, (2) memiliki tujuan dan fokus yang jelas di dalam mendidik anak, (3) memiliki komitmen untuk membayar harga sebuah pendidikan yang ilahi, dan (4) menjadikan diri sebagai teladan bagi anak cucu. Uraian di bawah ini tidak mencoba untuk menguraikan dengan rinci ke-empat kunci pendidikan anak seperti yang tertulis di atas. Namun demikian pembaca akan segera mengenali bahwa poin ke-3 dan ke-4 ditekankan di dalam artikel ini, yang mengajak pembaca untuk menyelami janji Tuhan di dalam Mazmur 112.2 mengenai keturunan yang perkasa dan diberkati Tuhan.

Perenungan ini berusaha untuk memahami (1) maksud dari janji untuk memiliki keturunan yang perkasa, dan (2) memahami syarat-syarat perjanjian supaya keturunan yang perkasa itu dapat berbuah menjadi kenyataan. Layaknya sebuah perjanjian, suatu pelanggaran akan membatalkan perjanjian yang dimaksud.

JANJI-JANJI DI DALAM MAZMUR 112

Mazmur 112 adalah sebuah nyanyian yang menceritakan mengenai orang-orang yang takut akan Tuhan dan mencintai perintah-perintah-Nya (ay. 1). Mereka ini sering disebut sebagai orang-orang benar (the righteous people).

Firman Tuhan di dalam Mazmur 112 menjanjikan bahwa orang yang demikian: dikaruniai keturunan yang perkasa (ay. 2), dikaruniai harta dan kekayaan (ay. 3), memiliki jalan keluar di dalam setiap kesulitan (ay. 4), selalu beruntung (ay. 5), kokoh dan tidak pernah goyah (ay. 6), dikaruniai keamanan, tidak takut dan kuatir akan bahaya (ay. 7), hidup berkemenangan (ay. 8), dan hidup berkelimpahan (ay. 9). Refleksi di bawah ini menyoroti janji yang pertama, ‘Keturunannya akan perkasa di bumi’ (Mazmur 112.2).

SYARAT-SYARAT PERJANJIAN: PRESTASI VS. POSISI

Mazmur 112 berbicara tentang orang yang takut akan Tuhan dan mencintai perintah-perintah-Nya. Mazmur 112 tidak berbicara mengenai pemimpin agama, pendeta, atau orang-orang Kristen yang terkemuka. Janji akan keturunan yang perkasa tidak diberikan berdasarkan posisi dan profesi yang dihargai di hadapan manusia, tetapi berdasarkan komitmen dan prestasi yang berkenan di hadapan Tuhan. Dengan kata lain, janji-janji ini memiliki syarat-syarat ilahi yang ditetapkan oleh Tuhan.  Generasi yang perkasa tidak lahir secara ajaib dan instant karena posisi dan profesi orangtuanya. Saya menyaksikan cukup banyak anak-anak pendeta yang hidupnya kurang mencerminkan profesi dan Tuhan yang disembah orangtuanya. Generasi yang perkasa sesungguhnya lahir oleh karena komitmen orangtuanya untuk hidup takut akan Tuhan dan mencintai perintah-perintah-Nya.

Pertama, hidup yang takut akan Tuhan dan mencintai perintah-perintah-Nya adalah hidup yang benar dan menjunjung tinggi kebenaran. Perhatikan bahwa kata ‘righteous,’ righteousness’ dan ‘upright’ muncul berkali-kali di dalam Mazmur 112 (NRSV: ay. 2, 3, 4, 6, 9 dan lawan katanya di ay. 10 ‘wicked’/fasik).

Hidup benar di dalam Perjanjian Lama memiliki pengertian yang sangat sederhana. Hidup benar adalah mengikuti perintah-perintah Tuhan di dalam Taurat, dan menjauhi semua yang dilarang-Nya. Hari ini pengertian tentang hidup benar belum berubah. Meskipun bagian Hukum Taurat yang membicarakan hal-hal yang bersifat tradisi, ritual dan peringatan hari-hari Raya Yahudi tidak lagi mengikat secara hurufiah, aspek moral dari perintah-perintah Tuhan di dalam Perjanjian Lama tetap berlaku hingga hari ini. Hidup benar berkaitan erat dengan nilai-nilai moral.

Salah satu ancaman yang berbahaya di dalam jaman ini adalah hilangnya aspek moralitas di dalam kehidupan umat manusia. Kepemimpinan yang paling berbahaya adalah kepemimpinan tanpa moralitas. Kepemimpinan yang demikian memiliki daya hancur yang maha dahsyat. Agama yang paling berbahaya adalah agama tanpa moralitas. Agama yang demikian berpotensi menyesatkan lebih banyak orang. Dan etika hidup yang paling berbahaya adalah etika hidup tanpa moralitas. Etika dapat saja bersifat situasional (tergantung kepada kasus apa yang sedang dihadapi), namun moralitas Kristen selalu dilandaskan kepada firman Tuhan yang tertulis di dalam Alkitab.  Moralitas tidak tergantung pada situasi. Moralitas menentukan apa yang benar dan apa yang salah secara polos dan sederhana. Hidup benar jika demikian tidak lain adalah ketaatan sepenuhnya kepada moralitas yang diajarkan oleh firman Tuhan.

Moral hidup yang benar menunjukkan bukan saja ketaatan manusia kepada Tuhan, tetapi juga hubungan antar manusia yang harmonis. Penegakan kebenaran di dalam Taurat Tuhan selalu dilandasi atas komitmen untuk taat kepada Tuhan, serta komitmen untuk mengasihi sesama manusia. Kasih kepada Tuhan (di dalam bentuk ketaatan) dan kasih kepada sesama manusia menjadi landasan hukum bagi bangsa Israel sebagai umat perjanjian (covenant community).  Pelanggaran terhadap satu aspek moral bukan saja membakar murka Tuhan, tetapi juga merusak dan melukai hubungan antar manusia. Gejala-gejala konflik antar suku bangsa, kerusuhan-kerusuhan dan tindakan-tindakan anarkis sesungguhnya adalah salah satu contoh rendahnya moral sebuah bangsa.

Kata ‘benar’ berhubungan dengan pengetahuan. Namun demikian kata ‘orang benar’ di dalam Perjanjian Lama berhubungan tidak dengan orang yang memiliki pengetahuan akan kebenaran semata, melainkan dengan orang yang melakukan kebenaran. Di dalam ungkapan Perjanjian Baru, kebenaran itu erat kaitannya dengan kesucian hidup.

Kedua, takut akan Tuhan dan mencintai perintah-perintah-Nya adalah hidup yang menunjukkan kebaikan, keadilan, kemurahan dan belas kasihan kepada orang lain, khususnya bagi mereka yang lemah dan membutuhkan. Perhatikan kata ‘gracious,’ ‘merciful,’ ‘generous,’ ‘justice’ dan ‘they have given to the poor’ (NRSV: ay. 4, 5, 9). Di dalam Perjanjian Lama, relasi vertikal dengan Yahweh sangat erat hubungannya dengan relasi horisontal dengan sesama manusia. Yahweh di dalam Perjanjian Lama dan demikian pula Tuhan Yesus di dalam Injil sangat mengasihi mereka yang miskin dan lemah. Murka Tuhan terhadap Israel dan bangsa-bangsa lain sering terjadi karena sikap yang mengabaikan kaum lemah dan melupakan keadilan sosial.

Hidup takut akan Tuhan dan mencintai perintah-perintah-Nya bukanlah sekedar secara pasif menjaga kesucian dan kekudusan supaya hidup terlihat seperti salju yang putih bersih. Mencintai perintah-perintah Tuhan adalah juga secara aktif merelakan diri menjadi kotor (bukan berkompromi dan menjadi berdosa!)  untuk menolong mereka yang lemah, miskin dan terpinggirkan (band. 1 Korintus 9.22). Di dalam bahasa modern, kepedulian terhadap kaum yang lemah ini dikenal sebagai ‘kesalehan sosial.’ Kesucian hidup yang tidak disertai dengan kesalehan sosial adalah kemunafikan ala Farisi. Sebaliknya kesalehan sosial yang tidak disertai kesucian hidup adalah kebaikan yang diselimuti dosa.

Saat ini banyak orang Kristen terlibat di dalam bentuk pelayanan sosial di bawah panji-panji lembaga Kristen atau gereja. Yang sangat perlu ditanyakan bukanlah apa tujuan pelayanan tersebut, melainkan apa motif dibalik pelayanan tersebut. Pelayanan kepada kaum lemah menjadi benar dan dibenarkan jika pelayanan itu lahir dari hati yang dipenuhi oleh rasa belas kasihan (bukan sekedar bersifat programatik dan artifisial), disertai dengan kemurahan hati (bukan karena terpaksa dan sungut-sungut), dan dilandasi atas dasar penegakan keadilan (karena mereka yang miskin dan terabaikan adalah kaum yang tertindas).

Langkah praktis di dalam menunjukkan kemurahan, belas kasihan dan keadilan adalah tidak berlaku semena-mena kepada orang lain, membangun solidaritas sosial (saling mengasihi) yang kokoh, dan mempopulerkan hidup berbagi (the culture of sharing) baik itu di tengah-tengah keluarga maupun lingkungan kerja.

Di dalam skala yang lebih besar, penegakan keadilan dapat dilakukan dengan bekerja sama dengan berbagai elemen masyarakat, misalnya di dalam menegakkan moral bangsa, memberantas korupsi, menumpas terorisme dan lain sebagainya. Pembaca mungkin bertanya, ‘Apa yang saya bisa lakukan untuk memberantas terorisme? – saya kan bukan polisi anggota DENSUS 88.’ Tahukah kita bahwa mendidik anak-anak untuk tidak membalas dendam adalah tindakan memberantas terorisme? Tahukan kita bahwa mendidik anak-anak untuk tidak membeda-bedakan martabat manusia berdasarkan agama, suku dan golongan juga sebuah tindakan yang menghancurkan terorisme? – setidaknya untuk generasi berikutnya.

MELAHIRKAN KETURUNAN YANG PERKASA

Apakah kesucian hidup (righteous living) dan kesalehan sosial (justice and mercy) akan secara otomatis melahirkan keturunan-keturunan yang perkasa? Jika kita membaca Mazmur 112 sebagai suatu janji, maka jawabnya pasti ‘ya dan amin.’ Hanya saja, seperti yang telah dituliskan di atas, sebuah janji memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi. Mazmur 112.2 memang dapat dibaca sebagai sebuah janji, namun demikian ayat yang sama juga dapat dibaca sebagai kalimat berita yang mengindikasikan adanya pengaruh aktif dan positif dari orangtua kepada keturunannya. Pengaruh aktif dan positif ini lahir dari keteladanan hidup dan komitmen orangtua untuk mendidik anak-anak di dalam takut akan Tuhan. Beberapa pembaca akan segera menangkap pesan bahwa di dalam konteks Perjanjian Lama, orangtua yang takut akan Tuhan pasti akan mengajarkan perintah-perintah Tuhan kepada anak-anak mereka (band. Ulangan 6.1-9).  

Jika demikian Mazmur 112 sesungguhnya ingin mengatakan bahwa syarat perjanjian yang pertama adalah orangtua yang hidup takut akan Tuhan dan mencintai perintah-perintah-Nya. Orangtua yang seperti ini menjadi teladan dan panutan bagi anak-anak dan keturunannya. Syarat yang kedua adalah komitmen orangtua di dalam mendidik anak-anak untuk hidup benar di dalam terang firman Tuhan. Jika kedua syarat ini dipenuhi, maka kita dapat yakin bahwa generasi yang perkasa sedang dilahirkan, dibentuk, dan dibangun.

KETURUNAN YANG PERKASA

Keturunan yang perkasa adalah salah satu dari delapan janji yang disediakan bagi orang-orang yang takut akan Tuhan dan mencintai perintah-perintah-Nya. Kata ‘perkasa’ berarti kuat, memiliki pengaruh, memimpin atau berdampak. Betapa hebatnya firman Tuhan di dalam Mazmur 112 ini. Keturunan orang-orang yang takut akan Tuhan adalah orang-orang yang perkasa, yang berpengaruh, yang memimpin dan yang berdampak bukan hanya untuk dirinya sendiri atau keluarganya, tetapi juga untuk orang-orang lain di dalam generasinya. Jika demikian, mendidik dan menularkan gaya hidup benar kepada anak-anak melalui keteladanan tidak saja menyelamatkan mereka dari kehancuran, tetapi juga mengubah, memberikan masa depan dan memberkati sebuah generasi yang baru dari suatu bangsa. Tuhan tidak menjanjikan bahwa semua orang di dalam satu generasi akan diselamatkan, namun Tuhan menjanjikan suatu generasi baru akan lahir dan diberkati, yaitu suatu generasi yang dipimpin oleh orang-orang yang perkasa yang dilahirkan dan dididik oleh orangtua yang berkomitmen untuk hidup takut akan Tuhan.

Pembaca mungkin tidak percaya akan kesimpulan di atas. Tetapi itulah yang sebenarnya ingin disampaikan oleh Pemazmur. Di dalam Perjanjian Lama, tidak perlu dua Musa untuk membebaskan Israel dari Mesir – satu Musa sudah cukup; tidak perlu dua Gideon untuk membebaskan Israel dari kepungan bangsa Midian – satu Gideon sudah cukup. Tidak perlu dua Esther untuk mengubah nasib bangsa Israel yang nyaris punah – satu Esther sudah cukup.

Kota Bandung yang kita cintai dan tanah air Indonesia yang kita banggakan akan memiliki masa depan yang cerah karena lahirnya keturunan yang perkasa yang dimulai dari orangtua-orangtua yang takut akan Tuhan dan mencintai perintah-perintah-Nya, yaitu mereka yang menjunjung tinggi kesucian, keadilan dan belas kasihan – dan yang memiliki komitmen untuk menularkan nilai-nilai tersebut kepada anak-anaknya melalui keteladanan dan pendidikan.

NATAL: PERMULAAN DARI SEBUAH GENERASI YANG BARU

Secara manusia, peristiwa kelahiran Tuhan Yesus sebenarnya adalah sesuatu yang biasa saja. Ia lahir di sebuah kandang yang hina dan tidak banyak orang yang tahu. Meskipun Malaikat Tuhan menampakkan diri kepada Yusuf, Maria dan para gembala di padang, dan meskipun orang-orang Majus serta Herodes mengetahui bahwa seorang Raja telah lahir, namun mayoritas orang di Yudea-Palestina pada waktu itu tidak merasakan apa-apa pada malam itu. Tidak ada breaking news di media lokal, tidak ada berita di surat kabar keesokan harinya dan tidak ada pengumuman-pengumuman yang mengatakan bahwa seorang Raja telah lahir.

Tidak seperti kebanyakan anak-anak hasil ‘kecelakaan’ yang diabaikan orangtuanya dan bertumbuh dengan cacat emosi, Tuhan Yesus – yang kehadirannya di dalam rahim Maria juga tidak direncanakan – justru mendapat kasih sayang yang sedemikian rupa, baik dari orangtuanya, orang lain dan Tuhan sendiri (Lukas 2.52). Lihat bagaimana Yesus bertumbuh dengan amat sangat sehat (Lukas 2.40, 52), bukan saja secara jasmani, tetapi juga secara intelektual, emosional dan sosial. Yusuf adalah seorang yang tulus hati (Matius 1.18 NRSV: righteous) dan taat kepada Tuhan (Matius 1.24; 2.14, 21). Maria adalah seorang yang menghamba, rendah hati dan taat (Lukas 1.38) dan takut akan Tuhan (Lukas 1.50). Kedua orangtua yang saleh inilah yang telah merawat dan mengasuh Yesus seperti orangtua-orangtua lain layaknya (Lukas 2.51).

Mungkin apa yang saya tulis ini diterima oleh pembaca sebagai sebuah asumsi, namun sesungguhnya saya menuliskan sesuatu yang lebih dari sekedar asumsi. Seperti yang disaksikan oleh Injil Lukas, kedua orangtua Yesus merawat, mendidik dan mengasuhnya (2.51). Ibu Yesus adalah salah satu wanita yang setia di dalam mengikuti kehidupan dan pelayanan Tuhan Yesus (mis. Matius 12.46; Yohanes 2.1-11), bahkan sampai matinya di kayu salib (Yohanes 19.25-27). Hampir semua ibu merawati dan dekat dengan anak yang dilahirkannya sampai usia-usia tertentu, namun hanya sedikit sekali ibu yang menemani anaknya hingga akhir hayatnya. Kenyataan ini cukup bagi saya untuk mengatakan bahwa Tuhan telah memilih orangtua yang sangat berdedikasi di dalam mengasuh, mendidik dan menyayangi Yesus.

Mungkin pembaca berpikir, ‘Oh,...Yesus kan Tuhan, jadi Dia pasti sempurna!’ Pemikiran yang demikian tidak sepenuhnya salah. Namun pembaca juga tidak boleh lupa bahwa Yesus adalah Tuhan yang sempurna yang mengambil keputusan untuk menjadi manusia yang utuh pula. Ia merasakan kelelahan tubuh dan emosi, Ia merasakan lapar dan sanggup menangis, Ia juga dapat menderita bukan saja secara badani, tetapi juga secara jiwani dan rohani. Kita tidak memiliki banyak data bagaimana Maria dan Yusuf merawat Yesus. Namun setidaknya, Maria memberikan air susunya untuk bayi Yesus; setidaknya hasil kerja keras Yusuf sebagai tukang kayu disisihkan untuk membeli pakaian yang dikenakan Yesus dalam masa kanak-kanak dan remajanya; setidaknya Maria menyiapkan makanan setiap hari untuk seluruh anggota keluarganya, termasuk Yesus; dan jika benar bahwa Yusuf dan Maria adalah keluarga Yahudi yang saleh, maka mereka pasti tidak henti-hentinya mendoakan Yesus si sulung, dan tentu tidak lupa mengajarkan Taurat Tuhan kepada-Nya, membawanya ke rumah Tuhan untuk beribadah (Lukas 2.21-40; 41-52), serta mengajar-Nya untuk setia kepada perintah-perintah Tuhan.

Yesus adalah contoh dan bukti yang sempurna dari keturunan yang perkasa. Ia pemimpin, Ia berpengaruh, hidup-Nya berdampak bukan hanya untuk generasi ketika Ia hidup, tapi bahkan untuk seluruh umat manusia sampai hari ini. Apakah Yesus perkasa karena peran Maria dan Yusuf? Tanpa Maria dan Yusuf, Yesus tetap perkasa. Namun demikian, kita juga tidak dapat memungkiri bahwa Maria dan Yusuf telah menjadi orangtua yang baik, mengasihi dan bertanggung jawab di dalam mengasuh dan membesarkan Yesus.

Hari ini kita merayakan Natal yang mengingatkan kita pada kelahiran Tuhan Yesus, keturunan yang perkasa yang mengubah nasib generasi-Nya dan generasi-generasi berikutnya di atas muka bumi ini. Kiranya Natal tahun ini juga memanggil kita untuk mengambil komitmen hidup takut akan Tuhan dan mencintai perintah-perintah-Nya, serta untuk mengambil tanggung jawab pengasuhan (parenting responsibilities) seperti yang telah dicontohkan oleh Maria dan Yusuf – dan yang telah dinyanyikan oleh pemimpin biduan di dalam Mazmur 112 sebagai sebuah janji akan suatu generasi baru yang perkasa dan yang memiliki masa depan yang cerah.

Thursday 19 January 2012

DARI JAUH MENJADI DEKAT – DARI NAJIS MENJADI TAHIR (LUKAS 17.11-19)

Perbatasan adalah tempat dimana biasanya terjadi pembauran antara dua kelompok manusia dengan identitas dan asal usul yang berbeda. Pada suatu hari Tuhan Yesus bertemu dengan sekelompok (sepuluh) orang sakit kusta. Kalayak ramai mengenal mereka sebagai orang najis – tidak peduli dari mana asalnya: Galilea atau Samaria. Yang nampak di tubuh mereka bukanlah identitas etnik, melainkan  luka-luka dan cacat karena kusta. Orang-orang ini datang kepada Tuhan Yesus meminta tolong (kesembuhan; ay. 12-13). Dan Tuhan menyembuhkannya.

Ketika mereka sembuh, seorang kembali kepada Tuhan Yesus, tersungkur di kaki-Nya, memuliakan Tuhan dan bersyukur. Orang ini adalah orang Samaria (orang asing; ay. 16-18). Penulis Injil Lukas berasumsi bahwa sembilan orang lainnya adalah orang Galilea yang adalah bagian dari Israel yang sejati. Mengapa orang-orang yang seharusnya lebih beragama dan lebih mengenal Tuhan justru lupa di dalam mengucap syukur dan memuliakan Tuhan? Mengapa orang asing dan kafir yang justru kembali untuk menyembah, bersyukur dan memuliakan Tuhan? Sindiran semacam ini bukan untuk orang lain, tetapi juga untuk kita yang kental dengan atribut Kristen dan kegiatan gereja. Masihkah relasi yang khusus dengan Tuhan terawat dengan baik? Masihkan ucapan syukur dan penyembahan kita naikan ke hadapan Tuhan dengan kejujuran dan ketulusan?

Kisah ini juga menunjukkan bahwa Injil keselamatan tersedia bagi semua orang, bukan hanya untuk orang-orang Yahudi saja, atau orang-orang berkebangsaan dan bersatus sosial tertentu saja. Injil keselamatan tersedia bahkan bagi orang sakit kusta (najis) yang berasal dari bangsa asing (kafir) yang juga najis. Karenanya kita dipanggil untuk mengasihi orang-orang, bahkan yang menurut pandangan mata kita dianggap sebagai ‘najis’ dan tidak layak untuk dikasihi. Tuhan Yesus membuat yang najis dan tersingkirkan menjadi tahir dan diterima oleh publik (band. ay. 12 dan ay. 16; dari jauh menjadi dekat). Jika kita tidak memulai membuka diri untuk menerima orang-orang ‘najis’ seperti penderita kusta di jaman Tuhan Yesus, maka dunia juga tidak akan pernah terbuka untuk mereka. Maukah kita memulainya? 

Sunday 15 January 2012

MEMBANDINGKAN (ROMA 11.11-24)

Hidup manusia tidak dapat dihindarkan dari tindakan ‘membandingkan.’ Mie Goreng Nyonya Tuty lebih enak dibandingkan dengan buatan Tante Murni. Rumah Tuan Robert lebih besar dibandingkan milik Bapak Hendra. Kotbah Pastor Joni lebih mengena dibandingkan dengan Pendeta Baskoro. Perbandingan-perbandingan seperti itu sah-sah saja. Yang menjadi masalah adalah ketika kita membandingkan sesuatu yang kita miliki atau bahkan diri kita sendiri, dan menganggapnya lebih baik dibandingkan milik orang lain atau orang lain itu sendiri, ..... dan karenanya menjadikan kita sombong dan bermegah di dalam kekuatan kita sendiri.

Di dalam Roma 11.11-24 terbaca ada tanda-tanda dimana orang-orang Kristen non-Yahudi sedang tergoda untuk bermegah di dalam kekuatannya sendiri dan menjadi sombong, karena membandingkan keselamatan yang dianugerahkan kepada mereka dengan penolakan orang-orang Yahudi (ay. 18, 20). Ada kecenderungan bahwa orang-orang Kristen non-Yahudi ini merasa menjadi kelompok yang lebih baik dibandingkan dengan orang-orang Yahudi. Di dalam polemik seperti ini, Paulus menekankan beberapa poin penting:

Pertama, keselamatan bergantung kepada dua hal: anugerah kemurahan Tuhan dan iman kepercayaan manusia. Karenanya hukuman (penolakan) juga bergantung kepada dua hal: pelanggaran manusia dan kekerasan (baca: ketegasan/disiplin) Tuhan (ay. 11-12; 22-24). Keselamatan dan penolakan di dalam konteks ini menjadi urusan pribadi antara manusia dengan Tuhan. Dengan kata lain, keselamatan dan hukuman tidak seharusnya mendorong manusia untuk membandingkan dirinya dengan manusia lain.

Kedua, karena keselamatan adalah kemurahan anugerah Tuhan, maka respon yang tepat dari orang yang diselamatkan adalah bersyukur – bukan menjadi sombong! Dan karena penolakan adalah bagian dari murka Tuhan, maka respon yang tepat dari orang yang melawan Tuhan adalah bertobat – bukan menjadi rendah diri. Paulus mengindikasikan kemungkinan orang Yahudi untuk bertobat, dan orang Kristen non-Yahudi untuk berbalik melawan Tuhan (ay. 22-24). Dari kedua kasus di atas, Paulus nampaknya tidak memanggil pendengarnya untuk membanding-bandingkan satu sama lainnya. Respon yang diharapkan adalah bersyukur atau bertobat!

Ketiga, orang Kristen dipanggil untuk hidup takut .....! (ay. 20). Tidaklah sulit untuk ditebak: kita dipanggil untuk hidup takut akan Tuhan. Karena Tuhanlah yang menilai hidup manusia. Salah satu kesalahan paling besar di dalam hidup manusia, khususnya kaum agamawi, adalah kecenderungan untuk menilai manusia lainnya. Di dalam bahasa yang lebih vulgar, menilai itu sama dengan menghakimi – dan melalui proses yang kita kenal sebagai ‘membandingkan.’ Dengan cara demikian, kita mengundang orang untuk hidup takut akan kita, takut akan pendeta, takut akan gereja – bukan takut akan Tuhan.

Keempat, janganlah kuatir terhadap penilaian Tuhan. Tuhan itu seimbang dan adil. Ia penuh dengan kemurahan dan kekerasan (ketegasan) (ay. 22). Perbandingan, penilaian dan penghakiman manusia sangat mungkin salah, tetapi Tuhan itu adil. Penghakiman Tuhan tidak bergantung kepada ‘bahan baku’ – tetapi kepada keputusan manusia untuk percaya atau menolak anugerah-Nya (ay. 22-24). Manusia dari suku manapun, Yahudi atau non-Yahudi dapat diselamatkan dan dapat dihukum. Kita ‘senang’ untuk menilai manusia berdasarkan sukuisme, status sosial ekonomi, tingginya pendidikan, serta pangkat dan jabatan – tapi bukan untuk itu kita dipanggil. Tuhan tidak menilai kita berdasarkan semua status tersebut.

Kelima, ada indikasi bahwa Paulus juga tergoda untuk membandingkan orang Yahudi dengan orang non-Yahudi. Orang Yahudi disebutnya cabang-cabang pohon Zaitun yang asli (ay. 21), sedangkan orang non-Yahudi disebut sebagai cabang-cabang dari pohon Zaitun liar (ay. 24). Orang Yahudi juga disebut Paulus sebagai roti sulung (ay. 16). Bagaimanakah kita menjelaskan hal ini?

(a) Perbandingan yang disampaikan oleh Paulus sejatinya tidak bertujuan untuk mengatakan kelompok mana yang lebih baik. Orang Yahudi disebut sebagai roti sulung dan cabang asli karena kenyataan bahwa pada mulanya Yahweh mengikat perjanjian dengan umat-Nya Israel secara darah (biologis). Jadi kata ‘sulung’ atau ‘asli’ menunjukkan originalitas dari perjanjian Tuhan dengan Israel.

(b) Pada kenyataannya, meskipun umat Israel sering gagal, mereka adalah tetap satu-satunya bangsa yang menyembah Yahweh dan hidup diatur oleh Taurat-Nya. Karenanya kata ‘liar’ yang dihubungkan dengan orang-orang non-Yahudi bersifat descriptive (menjelaskan), bukan comparative (membandingkan). Orang-orang non-Yahudi (baca: kafir) memang hidup di luar tuntunan Taurat Tuhan, dan karenanya liar.

(c) Jika seandainyapun ayat-ayat 12, 15, 16, 21, 24 tetap dipaksakan untuk ditafsirkan sebagai sesuatu perbandingan bahwa orang Yahudi lebih baik dari orang non-Yahudi, maka hal tersebut adalah bagian dari retorika Paulus untuk meredam kesombongan orang-orang Kristen non-Yahudi yang cenderung untuk bermegah di dalam kekuatannya sendiri. Setidaknya air mendidih perlu es batu supaya cepat menjadi hangat – tidak dengan maksud membandingkan, tetapi menyeimbangkan pemahaman yang salah dan ekstrim.

Tuesday 10 January 2012

ENAKNYA MENJADI TUAN DAN SUSAHNYA MENJADI HAMBA (LUKAS 17.7-10)


Barangkali sebagian dari kita pernah merasakan menjadi pemimpin yang memiliki beberapa bawahan, atau menjadi bos atas beberapa karyawan, atau menjadi manajer atas beberapa pegawai. Sebagai pemimpin kita memiliki otoritas terhadap bawahan. Mereka menerima gaji untuk mengerjakan tanggung jawabnya. Dan salah satu tanggung jawab utama mereka adalah patuh kepada pimpinan. Di dalam Lukas 17.7-10, Tuhan Yesus melukiskan hubungan antara seorang tuan dengan hamba (baca: budak). Seorang budak bukanlah seseorang yang menerima gaji, tetapi seseorang yang telah dibeli oleh tuannya dengan harga lunas; seorang budak adalah milik tuannya: kewajibannya tidak lain dan tidak bukan adalah taat kepada perintah tuannya.

Di dalam ayat ke7-9, Tuhan Yesus memberikan perumpamaan, seandainya murid-murid menjadi tuan yang memiliki seorang hamba. Wah..... Perumpamaan yang cukup aneh, mengingat kebanyakan murid-murid Tuhan Yesus berasal dari kelompok proletar (miskin). Kalaupun ada yang sebelumnya kaya, mengikut Tuhan Yesus identik dengan meninggalkan segala sesuatu dan menjadi miskin. Bagaimana mungkin sekelompok kecil murid yang miskin diumpamakan sebagai tuan yang memiliki hamba? 

Menariknya, meskipun secara manusia mereka tidak mungkin menjadi tuan (menjadi orang kaya), mereka memiliki naluri dan benih sikap untuk menjadi seorang tuan. Ayat 7 misalnya mengharapkan respon serempak dari murid-murid: ‘TIDAK ADA!’ tidak ada tuan yang mengajak makan hambanya setelah hamba tersebut selesai bekerja di ladang. Ayat 8 mengharapkan respon serempak dari murid-murid Tuhan: ‘YES!’ Tentu sebagai tuan, ia harus makan dan dilayani terlebih dahulu, baru kemudian nanti setelah selesai, hambanya boleh makan. Demikian pula ayat ke-9, respon murid-murid adalah ‘NO!’ Tidak perlu kita mengucapkan terima kasih kepada hamba yang bekerja untuk kita – itu kan memang sudah seharusnya. Menariknya, pada ayat ke-10, Tuhan menggantikan peran murid-murid yang tadinya menjadi tuan, sekarang menjadi hamba. Dan nampaknya suasana menjadi sunyi senyap: semua mulut terkatup, karena demikian beratnya menjadi seorang hamba.

Hubungan kita dengan Tuhan dapat dilukiskan seperti hubungan antara hamba dan tuan. Pertama, kita dipanggil untuk taat sepenuhnya kepada Tuhan dan mengerjakan tanggung jawab kita. Kedua, kita tidak seharusnya merasa perlu untuk menerima ucapan terima kasih dari Tuhan, karena kasih Tuhan terlebih besar dari segala yang kita lakukan untuk-Nya. Upah terbesar yang kita terima sebagai orang Kristen yang melayani Tuhan adalah kenyataan bahwa Tuhan melayakkan kita untuk menjadi hamba-Nya. Ketiga, kita tidak seharusnya merasa menjadi pahlawan di dalam pelayanan Tuhan. Seorang hamba merendahkan diri dan tidak mencari pujian bagi dirinya sendiri. Tuhan adalah satu-satunya pahlawan di dalam ladang pelayanan dan kehidupan umat-Nya.

Sunday 8 January 2012

HUKUMAN DAN PENGAMPUNAN (LUKAS 17.1-6)

Mungkinkah dunia ini berjalan tanpa dosa? Jawabnya: ‘Tidak mungkin!’ Tetapi celakalah orang yang melakukan perbuatan dosa! Demikianlah kira-kira kata-kata Tuhan Yesus di dalam Lukas 17.1-2. Dosa memang seolah-olah tidak dapat lepas dari kehidupan manusia di dunia ini, namun demikian sikap Tuhan Yesus terhadap pendosa dan penyesat adalah jelas: mereka harus dihukum. Dan ketika Tuhan Yesus berbicara mengenai hukuman, Ia menyampaikannya dengan keras dan serius: si penyesat atau pembuat dosa harus dilenyapkan dari muka bumi (ay. 1-2). Dengan kata lain, Tuhan Yesus melihat betapa bahayanya membiarkan seseorang yang di dalam hidupnya menyesatkan dan membuat banyak orang berbuat dosa.

Namun demikian, Tuhan Yesus bukanlah sosok yang ‘gila’ menghukum orang lain. Ia menasihatkan kita untuk menegur orang yang berbuat dosa dan menyesatkan orang lain. Dengan kata lain, sebelum vonis dan hukuman dijatuhkan, teguran harus diberikan terlebih dahulu (ay. 3-4). Orang Kristen dipanggil untuk berani berkonfrontasi dengan dosa, dan tidak membiarkannya tumbuh begitu saja di tengah keluarga, jemaat dan masyarakat. Dosa sekecil apapun yang didiamkan akan menghanguskan dan menghancurkan seluruh bangunan yang kuat dan besar sekalipun.

Dan jika orang yang ditegur itu bertobat, maka kita bertanggung jawab untuk memberikan pengampunan yang tidak terbatas kepadanya. Bahkan jika ia kembali berbuat dosa dan kembali bertobat sampai tujuh kali dalam hari yang sama, kita bertanggung jawab untuk melepaskan pengampunan bagi orang tersebut. Oh..... Betapa beratnya hidup orang Kristen! Tidak boleh berbuat dosa sudah berat. Menegur orang yang berbuat dosa lebih berat lagi. Nah sekarang mengampuni dengan tanpa batas orang yang bertobat karena dosa-dosanya rasanya sudah di luar batas kemampuan kita.

Murid-murid Tuhan Yesus berkata, ‘Tuhan, kami tidak mampu! Tambahkan iman kepada kami!’ Tapi jawaban Tuhan atas permintaan ini aneh. Ia tidak serta merta menambahkan iman kepada murid-murid-Nya. Sebaliknya Tuhan Yesus mengatakan bahwa iman mereka sebenarnya sudah cukup (ay. 5-6). Yang diperlukan oleh murid-murid Tuhan Yesus (dan kita sebagai orang Kristen) bukanlah iman yang ajaib dan instant, tetapi tekad dan kemauan untuk berhenti berbuat dosa, berani menegur orang yang berdosa dan rela untuk melepaskan pengampunan tanpa batas kepada orang yang bertobat.

Kata-kata ini mungkin sangat tepat di dalam menutup renungan kali ini: 'Many of us believe forgiveness has a price, but not forgiving cost us much more' (anon - modified).

Monday 2 January 2012

‘AMNESIA’ KRISTEN: MEMIKIRKAN FILIPI 3.13B-14

Bertahun-tahun saya membaca ayat terkenal Filipi 3.14 dan membayangkan Paulus berlari-lari kecil di sebuah track jogging sambil mendengarkan musik di telinganya, ditiup angin sepoi-sepoi. Ah mungkin itu gambaran yang keterlaluan, tapi sejujurnya itulah dampak dari sebuah ekspresi bahasa (linguistic expression).  Atau kadang saya membayangkan Paulus sedang berlari kencang di dalam sebuah track balapan, bagaikan seorang sprinter.

Pemahaman saya terhadap konteks Paulus pada waktu itu dan teks di dalam Filipi 3.14 ternyata mengarah kepada kesimpulan yang berbeda. Filipi 3.14 tidak berbicara mengenai ‘lari,’ tetapi tindakan memaksa diri untuk bergerak maju ke depan. Mengapa Paulus merasa perlu dipaksa? Karena manusia pada dasarnya memiliki kecenderungan untuk kembali ke belakang atau diam di tempat. Di dalam konteks Paulus, saat itu ia sedang menderita dipenjara karena Kristus (1.13).  Paulus punya beribu alasan untuk mundur meninggalkan Tuhan Yesus demi kebebasannya. Di dalam konteks yang berat itulah, Paulus mengambil sebuah keputusan yang bulat untuk tetap melangkah maju, seberat apapun yang harus dihadapinya. Keputusan ini disebut sebagai determinasi untuk tidak pernah mundur dan meninggalkan iman Kristen karena penderitaan yang seburuk apapun juga. Kita harus tetap maju di dalam menyempurnakan panggilan Tuhan di dalam hidup kita.

Segala sesuatu yang berusaha menarik kita kembali ke belakang harus ditinggalkan dan dilupakan (3.13b) – No turning back. Perjumpaan dengan Kristus itu sedemikian mulia dan menyilaukannya sehingga seolah-olah kita hilang ingatan dan lupa akan segala kebodohan dan kejayaan masa lalu kita. Bahkan Paulus menganggap semuanya itu sampah belaka (3.8). Betapapun berat jalannya, perjumpaan dengan Kristus telah membuat Paulus memaksa diri untuk maju dan melangkah ke depan. Bagaimana dengan kita?